Mengakhiri hubungan memang perkara yang sangat sulit dilakukan. Meski demikian, mengetahui cara mengakhiri, dapat membantu masa peralihan agar tidak menyakitkan dua belah pihak.
Ketika kita sedang jatuh cinta, kita berpikir bahwa itu akan selamanya sampai maut menjemput. Kita mengira bahwa ini adalah yang terakhir, satu satunya, dan tak ada alasan untuk mengakhirinya.
Merujuk pada data BPS tahun 2014-2016 jumlah prosentase perceraian dibanding dengan angka pernikahan berturut-turut adalah 16,31%; 17,73%; 19,9%. Singkat cerita, di Indonesia kita memiliki kesempatan yang terus meningkat dari tahun ke tahun soal mengakhiri sebuah hubungan.
Kenapa dan bagaimana akhir sebuah hubungan terjadi?
Kebanyakan suatu hubungan diawali dengan ketidaksiapan akan kemungkinan untuk berpisah, terutama pada pernikahan yang mereka berpikir hanya kematian yang memisahkan mereka berdua.
Akhir suatu hubungan sebagian disebabkan karena perbedaan karakter, kurangnya waktu bersama, ketidaksetiaan, kurangnya interaksi positif, dan rendahnya kebahagiaan dalam hubungan.
Mengakhiri suatu hubungan memang suatu hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Meskipun demikian, mengetahui bagaimana cara mengakhiri dapat membantu masa peralihan agar lebih tidak menyakitkan pada kedua belah pihak.
Cara mengakhiri dengan baik
Cara yang baik memang sangat relatif dan dalam kenyataannya tidak ada mana yang lebih baik dan mana yang terbaik. Setiap hubungan mempunyai ciri dan kondisi yang beragam, serta dengan berbekal dari pengetahuan karakter satu sama lain ketika memiliki hubungan setidaknya dapat menjadi modal yang sangat diperlukan untuk mencari jalan yang terbaik untuk mengakhiri suatu hubungan.
Menyadari pasti ada rasa sakit. Kita semua berharap bahwa kita bisa mengakhiri suatu hubungan dengan tanpa luka atau sakit. Bagaimanapun akhir suatu hubungan selalu menyisakan luka pada kedua belah pihak. Ketika kita menyadari itu akan terjadi, kita dapat memitigasi risiko yang diakibatkan oleh luka yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut.
Percakapan langsung. Jika punya kesempatan untuk memutus hubungan dengan bertatap muka, hendaknya lakukan dengan cara tersebut. Meskipun terdengar cukup sederhana, pasangan kita layak mendapatkannya untuk yang terakhir kalinya. Setidaknya dengan cara bertatap muka, kita dapat mengenali secara langsung mimik serta emosi yang timbul darinya, sehingga dapat mengatur nada bicara dan kalimat yang tepat untuk memulai suatu percakapan yang serius dan menyakitkan.
Berkatalah jujur. Secara umum, setiap orang menginginkan alasan yang jelas ketika pasangannya ingin mengakhiri sebuah hubungan. Kamu jelek, kamu terlalu egois, kamu bodoh. Terdengar jujur namun itu tidak pantas diucapkan dan terkesan merendahkan harga diri seseorang. Berkatalah dengan cara yang baik dan santun, misalnya “kita sepertinya memiliki perbedaan yang tidak mampu kita toleransi, sepertinya tujuan kita dalam memanajemen hidup sepertinya tidak sejalan dan jika kita tetap meneruskannya aku khawatir akan berdampak buruk bagi kita berdua”. Terdengar normatif, namun perlu diucapkan untuk memberikan ketenangan.
Jangan balikan dulu. Keputusan untuk mengakhiri suatu hubungan bagi sebagian orang merupakan suatu kejutan. Mereka mungkin akan protes, meminta penjelasannya kenapa, dan atau meminta untuk mengulang hubungan sekali lagi. Jika kita sudah jatuh pada pertimbangan untuk mengakhiri dengan matang dan siap menanggung segala bentuk risiko, seharusnya kita tidak perlu mundur dari keputusan itu. Menundanya akan membuat yang tertunda tak terhindarkan.
Bagikan kisah emosional. Mengakhiri hubungan selalu menyakitkan, untuk mengurangi rasa sakit itu kita bisa saling berbagi hal-hal baik pasca hubungan. Seperti “kamu mengajariku banyak hal tentang berbahasa Inggris, sekarang TOEFL-ku 500”. Atau hal lain seperti “Aku berharap kita bisa tumbuh bersama selamanya, namun aku sedih itu tidak dapat terjadi saat ini, namun jika memang kita ditakdirkan bersama, kita akan dipersatukan kembali”. Merasakan empati pada mantan pasangan merupakan hal yang baik untuk mempercepat penyembuhan diri kedua belah pihak.
Hindari bad guy labelling. Tidak ada manusia yang sempurna, kita semua pernah berbuat salah pada orang lain termasuk mantan kita. Mencari pembenaran untuk diri sendiri sehingga menciptakan peran antagonis pada mantan akan sangat memperkeruh keadaan. Mungkin mereka memiliki banyak kekurangan, namun mengubah cara pandang kita lebih baik daripada mencantumkan label antagonis pada mantan pasangan.
Menangislah. Selalu ada duka, sakit hati, kesedihan, dan luka di setiap perpisahan terhadap orang yang dulu pernah kita cintai. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar dialami oleh kita manusia. Cobalah situasi baru, lakukan apa yang membuat kita senang dan pastikan kita berada di sekeliling orang yang selalu mendukung dan mencintai kita sehingga dapat sembuh lebih cepat.
Menjadi independen
Beri waktu yang cukup untuk menyembuhkan diri dengan pikiran yang jernih sehingga kita dapat menilai sesuatu lebih objektif. Hindari dulu orang-orang yang berusaha mencari celah untuk membuat komitmen sebelum kita dapat menjadi seorang yang independen dan dapat memupuk kembali nilai-nilai untuk menjalin hubungan ke depan. Sebab kondisi seperti ini adalah momen kerentanan untuk terjebak dalam suatu hubungan sebagai pelampiasan pelipur lara yang mana penilaian kita cenderung bias terhadap orang-orang itu karena sebenarnya kita hanya butuh tempat pelampiasan, bukan pasangan.
Di sisi lain sangat mudah untuk melupakan perasaan orang lain ketika kita merasa semua tentang diri kita sehingga tak perlu memikirkan perasaan orang lain. Menjadi orang yang baik dan menjaga perasaan mungkin adalah jalan yang terbaik menuju pendewasaan dalam mengakhiri suatu hubungan.
Saling menyindir di sosial media atau berpamer ria dengan pasangan baru dalam waktu dekat pasca berakhirnya suatu hubungan memang bukanlah suatu yang salah atau buruk. Namun kebijaksanaan dalam menjaga perasaan orang yang pernah dicintai juga sama besarnya kita menjaga perasaan kita.