Balik Kucing merupakan ungkapan yang agak susah dicari arti leksikalnya pada KBBI. Namun, ia sangat mudah dimengerti kala dijalani.
Sebuah idiom yang berati sebuah kegiatan yang telah direncanakan, disiapkan, kemudian dilaksanakan, akan tetapi tiba-tiba dibatalkan, tidak diteruskan karena adanya suatu permasalahan.
Hal ini bisa saja terjadi pada pribadi atau perseorangan, organisasi atau perusahaan, bahkan bisa saja terjadi pada pemerintahan, dalam hal ini lebih sering terkait dengan sebuah kebijakan.
Dalam bidang pendidikan pernah terjadi yakni Kurikulum 2013 yang telah direncanakan dan digodok jauh-jauh hari, kemudian diterapkan lalu dihentikan pemberlakuannya beberpa waktu, yang kemudian diterapkan kembali setelah melalui beberapa revisi.
Patut kiranya kita renungkan bahwa kurikulum merupakan alat kunci dalam proses pendidikan formal. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat, akan sulit mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan.
Sehingga tidaklah mengherankan bila kurikulum itu selalu dirombak atau ditinjau kembali untuk mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan zaman.
Karenanya kurikulum harus selalu berkembang /dinamis.
Sementara itu, mengembangkan kurikulum bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana, sebab selain banyak melibatkan berbagai pihak juga banyak hal yang harus dipertimbangkan secara matang.
Hal-hal yang menyangkut asas kurikulum, komponen kurikulum, fungsi kurikulum dan hal-hal yang berkenaan dengan prinsip atau konsep dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum yang harus melandasi upaya ini.
Dengan demikian diperlukan bekal dan penguasaan terhadap kompleksitas kurikulum, yang melahirkan kecakapan mengelola, menata, dan melaksanakannya sebagai piranti vital dalam pelaksanaan pendidikan.
Dengan kata lain, kurikulum dengan diiringi tata laksana yang baik, tepat dan cermat akan menghasilkan buah yang baik, yaitu tercapainya tujuan pendidikan secara maksimal.
Harus dimengerti pula bahwa mengubah kurikulum berarti turut mengubah manusia, yaitu guru, pembina pendidikan, dan mereka yang mengasuh atau mengelola pendidikan. Itulah sebabnya perubahan kurikulum dianggap sebagai perubahan sosial, social change.
Perubahan kurikulum yang juga disebut pembaharuan atau inovasi kurikulum, tentunya dimaksudkan untuk mencapai perbaikan, sekalipun perubahan itu tidak dengan sendirinya membawa perbaikan.
Perbaikan yang diperoleh mungkin membawa hasil sampingan yang kurang baik menurut penilaian pihak tertentu.
Nah!.. dalam rangka pembaharuan dan kemajuan pendidikan itulah, maka di negara kita Indonesia ini telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum sejak tahun 1950an.
Yang terus menerus dievaluasi, terus menerus mengalami perubahan dan perbaikan, karena dinilai bahwa sistem pendidikan yang ada tidak lagi sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat kita yang sedang membangun, atau out put pendidikan dipandang belum memadai untuk menyongsong dinamika dan tantangan di masa mendatang.
Demikian pula penerapan aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Di era Pandemi Covid-19, aturan-aturan pembatasan sudah tidak asing di kalangan masyarakat, dari era New Normal, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan sebagainya.
Aturan ini diterapkan tentu dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang mesti diantisipasi, sebagai bentuk realisasi amanat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, melindungi segenap bangsa Indonesia.
Pro kontra terhadap penerapan sebuah kebijakan rasanya patut dimaklumi, mengingat sudut pandang yang berbeda dan dampak yang ditimbulkan juga berbeda. Bagi kalangan yang mendapat keuntungan tentu mendukung sedangkan mereka yang dirugikan pasti berusaha keras menolak kebijakan dimaksud.
Bahkan aturan-aturan pembatasan yang bertingkat-tngkat, yang terus diperpanjang, diterapkan pada moment-moment tertentu, dicabut pemberlakuannya, dapat memunculkan penafsiran yang beraneka ragam, sampai-sampai melahirkan ketidakpercayaan.
Pada titik inilah terjadinya benturan. Dibutuhkan kedewasaan bagi semua pihak, baik penentu kebijakan maupun bagi masysrakat untuk sampai pada sebuah pemahaman yang logis dan riil, tidak terkesan mengada-ada apalagi penuh rekayasa.
Akan sangat bijaksana bila penetapan dan perobahan kebijakan itu didasarkan pada pemikiran yang mendalam dan orientasi yang jauh kedepan, tidak atas dasar like and dislike, apalagi keuntungan pribadi atau kelompok.
Masyarakatpun perlu memahami bahwa kebijakan yang diterapkan bersifat universal, untuk kepentingan masyarakat luas.
Melalui perenungan ini, mari belajar menjadi orang dewasa sehingga tidak terperangah ketika menghadapi sebuah pembaharuan/perobahan, tidak terheran-heran menemui sesuatu yang baru, tidak mengikutinya tanpa berbekal pemahaman.
Selain itu, harus disikapi dengan bijak pula, tidak salah paham apalagi menyalahkan pihak tertentu dengan penuh kecurigaan, karena semua itu merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat, dengan segala konsekuensinya.