Berikut ini 3 rekomendasi hukuman bagi koruptor yang tak melulu diamankan di balik tembok penjara.
Pelaku tindak pidana korupsi ada kalanya tak melulu dihukum penjara. Justru itu lebih mengamankan mereka, karena merasa dilindungi tembok penjara.
Coba renungi kalimat ini: sesosok koruptor “diamankan” di balik tembok penjara. Ini jelas ambigu. Lha wong penjahat kok diamankan. Ya malah gak kapok. Wong dia dilindungi tembok penjara. Hmmm ~
Korupsi dari dulu memang menjadi permasalahan pelik bagi negara dengan kode ponsel +62 ini. Seolah tidak ada jalan agar kasus korupsi bisa berhenti, ada jalan yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yakni melakukan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Meski begitu secara kolektif, publik menilai bahwa Undang-undang KPK justru bukan memperkuat kinerja lembaga anti rasua, justru sebaliknya peraturan tersebut malah melemahkan. Artinya sudah sangat jelas jika itu bukanlah cara solutif.
Kiranya agar solutif mereka-mereka yang duduk di senayan seharusnya diberikan pembekalan dan pelatihan terlebih dahulu kali ya sama Bu Tedjo.
Benar kepercayaan publik, setelah suara dari berbagai elemen cuma masuk telinga tangan lalu keluar dari kuping kiri; demo UU KPK serta RKHUP pada 26 September tahun lalu.
Kepercayaan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi menurun sangat drastis. Adapun hal kontroversial salah satunya terdapat Dewan Pengawas, alih-alih Dewas akan membuat gerak KPK semakin lihai nan agresif justru Dewas yang akan mempersempit gerak. Gimana gak mempersempit lha wong apa-apa harus laporan dulu.
Selanjutnya usai revisi tersebut diundangkan menjadi sebuah peraturan yang mengikat, kepudaran kepercayaan publik amat sangat kuat lagi karena pimpinan KPK berasal dari polisi dan pemilihannya pun dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Terutama bagi mahasiswa yang suka unjuk rasa polisi merupakan musuh bebuyutan, pertanyaannya musuh seperti itu kok bisa-bisanya dipilih menjadi pimpinan KPK. Adapun DPR yang sudah seringkali buat peraturan yang tidak mewakili masyarakat kok bisa-bisanya diberi kewenangan menetapkan pimpinan. Jelas-jelas ini ra mashok~
Selain faktor KPK yang seolah-olah tidak mempunyai taji terhadap penuntasan kasus korupsi. Kemungkinan besar berdasar sebuah analisa gothak-gathuk mantuk yang sering digunakan oleh penganut teori konspirasi untuk membenarkan suatu hal, hukuman menjadi alasan menadasar mengapa korupsi terus subur.
Hukuman yang diberikan kepada koruptor rasanya kok nggak banget gitu, penjarannya pun di Sukamiskin. Meski namanya merepresntasikan sebuah kemlaran hidup nyatanya jika kita lihat lagi investigasi Najwa Shihab ke sel Setya Novanto, itu bukan lagi sel yang membuat narapidanannya akan intropeksi terhadap perbuatan kejinya justru tentang bagaimana caranya mereka bisa keluar lapas Sukamiskin dan berbuat korupsi lagi, toh jikapun ketangkap sel mewah banget kok.
Maka perlu untuk kemudian pemerintah dikasih rekomendasi hukuman-hukuman bagi koruptor agar mereka itu kapok dan sebagai pembelajaran bagi pejabat publik lainnya agar tidak melakukan tindakan memperkaya diri sendiri.
Jelas bukan hukuman mati, karena ini memperlukan peraturan, sebagai warga negara yang baik tentu jangan sekali-kali membuat puyeng DPR lagi untuk merumuskan peraturan perundang-undangan tersebut.
Atau hukuman gantung diri di Monas seperti sesumbar Anas Urbaningrum pada kasus proyek Hambalang, itu juga ra mashok sebab yang sumbar atau janji saja tak melakukan kok. Lantas hukuman apa yang cocok, berikut ini adalah rekomendasinya.
1. Jualan Cilok
Jualan cilok akan menjadi hukuman yang membuat jera bagi pelaku koruptor, pasalnya menjadi pedagang cilok memperlukan tenaga ekstra bagi stamina maupun mental. Kena hujan, terik panasnya matahari yang nggak menentu serta berbagai cobaan di lapangan lainnya.
Hukuman ini sekaligus menjadi ajang pembelajaran bagi pejabat publik yang terbukti bersalah karena korupsi bahwa menjadi rakyat kecil itu susahnya minta ampun dibanding dirinya yang sudah mempunyai jabatan enak dan direbutkan banyak orang.
Kalau sudah begitu maka koruptor atau pejabat publik lainnya akan berpikir dua kali ketika ingin korupsi daripada dihukum untuk berdagang cilok.
2. Jadi Pasukan Oranye
Kalau kalian berpikir menjadi petugas kebersihan itu sangat mudah sekali, sepertinya kalian perlu untuk merasakannya secara langsung. Menjadi petugas kebersihan itu sungguh tak mudah.
Harus memperlukan tenaga ekstra berjibaku dengan medan yang tak terduga sebeumnya, masuk ke selokan dan kotor-kotoran. Kalau tidak bersih mereka yang dipersalahkan.
Oleh karenanya menghukum menjadikan pasukan oranye atau petugas kebersihan bagi mereka yang melakukan tindak korupsi akan sangat efektif. Disamping mereka dituntut soal kebersihan lingkungan, mereka juga diuji integritasnya. Mereka sudah membersihkan yang mana saja, tidak boleh asal klaim.
3. Penyeleksi Beras
Kalaupun dua rekomemdasi hukuman diatas dirasa masih kurang membuat jera. Maka rekomendasi hukuman ketiga jelas akan sangat efektif menuntaskan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik dan membuat super duper kapoknya.
Menyeleksi beras terhadap kualitas beras yang layak diedarkan menjadi bantuan beras miskin maupun bentuan sosial di tengah pandemi corona jelas membutuhkan kejelian dan tenaga ekstra.
Memang sudah semestinya, sebelum di distribusikan kepada masyarakat beras harus diseleksi terlebih dahulu kualitasnya agar kesehatan masyarakat terjamin dari apa yang dimakannya. Kiranya hukuman yang ketiga ini akan cocok sekali jika diberikan ke bapak menteri sosial.
Itulah beragam rekomendasi hukuman kepada pelaku korupsi sebagai bahan pertimbangan pemerintah untuk menghukum koruptor yang merugikan negara dan banyak masyarakat. Semoga saja korupsi di negara ini tidak terus subur dan mengakar.