Nyaris tiap-tiap kota besar punya kutipan monumental dari para pesohor sastra. Kutipan yang dengan mudah bisa kita jumpai pada takarir Instagram para pelancong yang baru saja mengunjungi kota tersebut.
Kutipan-kutipan monumental ini juga kerap dijadikan graviti oleh para seniman jalanan untuk mempercantik lanskap perkotaan.
Salah satu kutipan yang paling populis barangkali adalah kutipan soal kota Jogja.
Jogja punya kaitan emosional dengan bait dari Joko Pinurbo yang berbunyi,
“Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.”
Sangking fenomenalnya kutipan dari Eyang Jokpin tersebut bahkan dijadikan semacam ikon kota tersendiri yang terpampang dengan anggun di Komplek Teras Maliogoro I.
Kota lain yang tak kalah mentereng soal perkutipan ini adalah Bandung, Nabs.
Bahkan Bandung sangking menterengnya punya 2 buah kutipan monumental yang khas dengan dirinya.
Kutipan pertama berasal dari M.A.W. Brouwer, seorang fenomenolog, psikolog, dan budayawan yang berkebangsaan Belanda.
Brouwer mengatakan bahwa,
“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.”
Seutas kutipan lain yang tak kalah fenomenalnya berasal dari penulis novel serial Dilan yang begitu digandrungi kawula muda.
Pidi Baiq menyanjung Bandung sebagai berikut,
“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.”
Kedua kutipan khas Bandung tersebut bisa kita temui di bawah jembatan penyeberangan Jalan Asia Afrika, Bandung.
Tak mau kalah dengan 2 kota tersebut, Jakarta juga punya kutipan yang merepresentasikan kotanya sendiri.
Kutipan tersebut hasil persembahan epik dari mendiang Sapardi Djoko Damono,
“Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas. Jakarta itu kasih sayang.”
Kutipan yang terakhir bahkan cukup sering menghiasi telinga kita barangkali saat berkunjung ke kedai-kedai kopi bernuansa Indie.
Dibawakan oleh Jason Ranti dengan santai dan ringan sehingga mudah nempel di kepala dalam lagunya yang bertajuk Lagunya Begini, Nadanya Begitu.
Lantas saya kemudian mencari-cari kutipan apa yang sekiranya persis dengan Bojonegoro.
Bila Jogja begitu masyhur dengan aroma kesenian dan kesederhanaannya atau Bandung yang begitu harum dengan senandung keindahan alamnya.
Maka Bojonegoro ini bisa kita katakan terkenal dan terkenang karena apa. Tapi tak apa mari kita coba rumuskan kutipan apa yang presisi dengan Bojonegoro.
Mari kita sedikit gubah dengan merunut dari tatanan kutipan-kutipan di atas.
Bila kita merujuk dari Pidi Baiq maka kutipan tentang Bojonegoro akan menjadi sebagaimana di bawah ini,
“Dan Bojonegoro bagiku memang masalah geografis, tak dekat dengan jalan pantura dan agak tanggung bagi jalur nasional. Maka membangun jalan tol di Bojonegoro adalah perihal yang nyaris mendekati kesia-siaan.”
Ya, Bojonegoro memang agak tanggung bagi jalur lalu lintas nasional. Tapi paling tidak Bumi Anglingdarma ini sedikit terberkati dengan keberadaan jalur kereta api di dalam dirinya.
Atau barangkali bila kita menengok pola dari Eyang Jokpin maka akan menjadi seperti ini,
“Bojonegoro terbuat dari rindu, muleh, dan Mak Bah.”
Kosakata muleh sendiri bila dilafalkan dengan bunyi e sebagaimana pada kata cewek maka memang khas dengan logat bahasa Bojonegoroan.
Sementara Mak Bah adalah salah satu kedai kopi dengan cita rasa paling murni di bumi Malowopati.
Atau bila kita menilik gaya susunan kalimat dari Eyang Sapardi maka kutipan tentang Bojonegoro akan menjadi,
“Bojonegoro itu cinta yang tak hapus dilanda banjir langganan di musim penghujan dan tak lekang oleh kekeringan di musim kemarau.”
Sebuah kota yang oleh CLM Penders dalam bukunya Bojonegoro 1900-1942, dianggap sebagai suatu daerah yang mengidap penyakit endemik berupa kemiskinan.
Akan tetapi saya rasa beberapa utas di atas terlalu mengada-ada. Hmmt, bagaimana jika kita merujuk perkataan dari Dahlan Iskan tentang Bojonegoro,
“Bojonegoro kini memang sudah kaya. Sudah pantas jadi rebutan. Atas nama memperjuangkan nasib orang miskin di sana.” Presisi sekali bukan?








