Pada zaman penjajahan, pemahaman syariat dan tarekat diajarkan melalui ilmu kanuragan. Tarekat Kembangan adalah satu di antara contohnya.
Tarekat Kembangan merupakan tradisi pencak-debus yang muncul di Dusun Kembangan, Sudu, Gayam. Kolaborasi tarekat dan pencak ini, pernah populer di sejumlah daerah di Bojonegoro dan Tuban seperti Manukan Gayam, Sudu Gayam, Trembes Malo, Mbarangan Padangan, hingga Kedungkebo Senori.
Tarekat Kembangan muncul seiring berdirinya Pesantren Kembangan yang berdiri pada paruh kedua abad 19 M atau periode 1850 M. Pesantren tersebut didirikan oleh Syekh Muhammad Syahid bin Syihabuddin (1815-1910 M). Melalui Pesantren Kembangan, Mbah Syahid mendakwahkan islam lewat tradisi pencak debus dan kanuragan.
Beberapa warisan Mbah Syahid, bahkan masih terpelihara sampai saat ini. Terutama yang berhubungan dengan ajaran kanuragan seperti; Kitab Suluk Tapal Adam, Suluk Donga Jowo, Ageman Besel Slawe, Suluk Bisteguh, Suluk Tigakol, Ageman Lembu Sekilan, Suluk Kebal Kebonambang, hingga Pencak Dhodh (Pencak Syahidiyah).
Pencak Syahidiyah
Pencak Dhodh atau Pencak Syahidiyah merupakan tradisi pencak-debus warisan Mbah Syahid yang hampir punah. Pola gerakan dalam pencak ini, terinspirasi dari bentuk “Dhodh” dalam huruf hijaiyyah. Semua santri Mbah Syahid diajari jurus ini untuk modal dakwah dan bela diri.
Mbah Syahid menciptakan gerakan pencak melalui bentuk huruf “Dhodh”. Ini menjadi bukti bahwa Mbah Syahid ulama jadug yang menguasai banyak keilmuan. Termasuk konsep Makhorijul Huruf dan Khodam Huruf. Sebab, huruf Dhodh memang punya keistimewaan.
Huruf Dhodh memiliki keistimewaan dibanding huruf hijaiyah lain. Dhodh menjadi satu-satunya huruf hijaiyah yang disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: انا افصح من نطق بااضاد — “saya adalah orang yang sangat fasih mengucapkan huruf ض “.
Huruf Dhodh, dalam konteks tertentu, merupakan huruf keramat. Ia disebut Kanjeng Nabi Muhammad SAW karena menjadi satu-satunya huruf yang paling sulit dan paling rumit diucapkan.
Mbah Syahid memahami bahwa huruf Dhodh memiliki sirr (rahasia). Karena itu, beliau menciptakan gerakan melalui bentuk huruf Dhodh, sehingga sulit dan rumit saat mau diserang lawan. Beliau menjadikan bentuk huruf Dhodh sebagai identitas dalam Pencak Syahidiyah atau Pencak Kembangan.
Pengaruh Tarekat Rifaiyyah dan Syattariyah
Mbah Syahid merupakan ulama Hamilul Quran. Beliau juga mempelajari dan mendakwahkan tarekat. Di antara tarekat yang identik dengan ajaran beliau adalah Tarekat Rifaiyyah.
Kecenderungan Tarekat Rifaiyyah ini bisa dilihat dari kedekatan beliau pada seni debus dan kekebalan terhadap benda-benda tajam. Selain mendapat dari sang ayah, Syekh Syihabuddin Padangan, ajaran-ajaran ini juga Mbah Syahid dapat saat belajar di Makkah.
Mbah Syahid mendirikan Peguron Kembangan, pesantren sekaligus tempat gemblengan ilmu debus-kanuragan. Santri-santri Mbah Syahid, mayoritas masyhur sebagai ulama yang mengajarkan zikir debus dan ilmu kanuragan.
Peninggalan Mbah Syahid yang masih bisa dilihat sampai saat ini, sangat identik Tarekat Rifaiyyah. Di antaranya adalah wirid Bisteguh (Bismillah tafsir Jawa), wirid Surat Qadr, hingga wirid Tiga Kul (3 surat terakhir dalam Al- Quran).
Mbah Syahid juga mursyid Thoriqoh Syattariah. Beliau santri langsung dari Syekh Abdurrohman Klotok dan Syekh Syihabuddin Padangan. Beliau menerima ajaran tarekat Syattariyah dari kedua saudaranya, Syekh Tohir Betet dan Syekh Syamsuddin Betet.
Jejak keilmuan Mbah Syahid terlihat dari keberadaan para santrinya. Santri kinasih Mbah Syahid yang bernama KH Muntoho (Mbah Ho Padangan), juga masyhur sebagai mursyid Thoriqoh Syattariyah. Mbah Syahid mengemas ajaran syariat dan tarekat melalui pencak kanuragan.
Martin Van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (1995) menyebut bahwa tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling mempribumi dan sangat mudah beradaptasi. Tarekat Syattariyah punya peran sangat besar pada Perang Jawa. Mayoritas Pasukan Diponegoro yang memiliki ilmu kanuragan, berbaiat pada tarekat Syattariyah.
KH Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo (2012) menyebut, sejumlah tarekat memang mengajarkan ilmu debus dan kanuragan. Tarekat Rifa’iyah, misalnya, dikenal sebagai tarekat yang mengajarkan ilmu debus—ilmu tahan dibakar, ditusuk benda runcing, diiris senjata tajam, dipatuk ular berbisa, dan ilmu kebal lainnya.
Pada zaman revolusi, ilmu kanuragan selalu identik dengan tarekat. Di Aceh, ilmu kanuragan berafilisasi dengan Tarekat Rifa’iyah. Di Banten, ilmu kanuragan berafiliasi dengan Tarekat Qodiriyah. Sementara di Jawa, khususnya pada masa Perang Jawa, ilmu kanuragan identik dengan Tarekat Syattariyah.
Mbah Syahid berdakwah di era penjajahan kolonial. Sehingga, sangat logis ketika beliau mengemas ajaran syariat dan tarekat ke dalam ilmu kanuragan. Ini alasan Pesantren Kembangan identik ilmu kanuragan. Sampai saat ini, bahkan sejumlah wilayah di sekitar Pesantren Kembangan masih identik sebagai wilayah kanuragan.