Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Ambulan dan Problematika Perjalanan

Widodo Ramadhani by Widodo Ramadhani
04/06/2021
in Cecurhatan
Ambulan dan Problematika Perjalanan
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Pengalaman mengantar jenazah keluar kota, beserta tetek-bengek problematikanya. 

Duduk merenung menikmati indahnya malam merupakan kebiasaan saya. Malam yang selalu menanti kedatangan pagi, kini tak lagi menanti. Sungguh, pagi harus cepat-cepat datang menghampiri.

Kopi semakin dingin ditelan malam. Setiap seduhan tak lagi nikmat, apalagi ocehan orang-orang sekitar membuat telinga saya bising. Mau bagaimana lagi, saya harus bertahan dan menikmatinya.

Tidak lama kemudian Lek Wan mengampiri saya.

“Ayok melok aku, Do,” ajak Lek Wan sembari menepuk pundak saya.

“Nondi to, Lek?”

“Wes to melok aku, mangan enak ngombe legi, Do,”

“Yo wes ayok, Lek,” seketika saya mengiyakan tawaran Lek Wan. Walau saya tidak tahu tujuannya kemana. Kemudian kopi langsung saya habiskan seketika itu, tidak menunggu intruksi.

Lek Wan pun berangkat dengan saya, Laju sepeda motor semakin cepat. Seperti ada kejadian yang darurat.

“Ada apa sebenarnya,” gumam saya dalam hati. Lek Wan berhenti di depan Rumah Sakit Muhamdiyyah, saya langsung turun dan kaget.

“Aku pe mbok jak nondi, Lek?”

“Melok aku ngetero mayit nek Suroboyo.”

Deg. Hati saya langsung terasa kayak ketemu si dia.

Saya hanya terdiam, keringat dingin bercucuran di atas pelipisa mata. Dan tak lagi bisa berbuat apa-apa. Mau pulang tidak membawa kendaraan, mau jalan pasti capek. Sehingga mengharuskan diri saya menemani Lek Wan mengantar jenazah ke Surabaya.

Saya dan Lek Wan menuju ambulan, perasaan saya sudah tidak lagi baik-baik saja. Resah, tidak begitu tenang malam ini. Jam dinding di pos satpam menunjukkan pukul delapan lebih lima menit.

Setelah saya berangkat dan Lek Wan memancal gas ambulan. Udara malam menemani perjalanan. Diam? Saya pun tidak bisa diam. Sebab, rasa takut sudah menghantui sejak awal berangkat.

Lamongan sudah terlewati, dan aman-aman saja. Tidak ada peristiwa horor dalam ambulan itu. Lek Wan begitu tenang, saya pun membuka obrolan hangat malam hari di dalam ambulan, bersama satu mayat yang hanya mendengarkan dalam peti.

Mayat itu hanya diam, dia menjadi pendengar terbaik di antara Kota Bojonegoro dan Lamongan. Mobil melesat cepat jalanan kian sepi. Sehingga mempermudah akses untuk lebih cepat sampai.

Setalah kami berdua melewati Kota Pudak, dan menuju Kota Pahlawan ini tidak ada kejadian horor. Alhamdulillah, Allah SWT menemani perjalanan ini. Saya pun tidak lupa membaca sholawat dalam setiap putaran roda mobil yang melaju kencan.

Tangis keluarga yang tiada henti, saat jenazah diturunkan dari ambulan. Saya juga meratapi apa yang terjadi saat ini. Setelah semua selesai. Jenazah sudah dimandikan, peti kayu kembali ditaruh ke dalam mobil ambulan. Lek Wan pun dikasih upah mengantar jenazah itu.

Kami berdua segera pulang, kami kembali melewati jalana yang sepi pada malam hari. Jam digital pada layar hp menunjukkan pukul dua dini hari. Entah kenapa, Lek Wan melanjutkan perjalanan ini.

“Lek kok ra leren ae sek?”

“Sesok mergawe, Do,”

Jalanan dihiasi pepohonan, peti kosong kemudian mengagetkan. “Duok-duok” saya kaget dan Lek Wan pun hanya menyebat rokoknya. Dia tidak begitu menanggapi apa yang terjadi.

“Enek glodakan kurungu tora?”

“Wes to mben kok,” jawab Lek Wan dengan nada bicara gugup.

Kami berdua memasuki Gapura Kota Pudak, arah selatan dari Kota Pahlawan cukup jauh. Dan jalanan pun sepi pengendara. Apesnya ambulan pun mogok. Terpaksa, kami harus turun dan memeriksa mesin ambulan.

“Iki busine to radiatore, Lek?” Tanya saya.

“Radiatore Do, entek.”

Kemudian saya mengambil air di jok belakang depan peti. Saya keget, ada rambut di bawah kolong kursi. Itupun saya hiraukan. Setelah air radiator mobil terisi. Alhamdulillah mobil bisa distater. Kami merasa lega.

Kami berdua kembali menaiki ambulan. Baru saja membuka pintu, bau menyengat kapur barus dan minya srimpi tercium oleh hidung. Saya tidak bilang apa-apa pada Lek Wan, dan bergegas melanjutkan perjalanan.

Setelah berjalan beberapa jam, sampailah di Kota Lamongan, kami pun memutuskan berhenti sejenak dan mampir di salah sati musholla dekat jalan raya. Anehnya, setelah kami turun ada sosok perempuan berpakaian putih di samping mobil.

Saya pura-pura cuek tak melihatnya. Meski sesungguhnya saya melihat dan ketakutan. Setelah sejenak di musola, saya dan Lek Wan bergegas pulang sambil pura-pura tidur untuk mengusir ketakutan.

Tags: Cerita MistisPengalaman mistis

BERITA MENARIK LAINNYA

Mendobrak Bias dan Refleksi Pernikahan
Cecurhatan

Mendobrak Bias dan Refleksi Pernikahan

27/07/2022
Mahasiswa KKN MIT UIN Wali Songo Tekankan Pentingnya Literasi
Cecurhatan

Mahasiswa KKN MIT UIN Wali Songo Tekankan Pentingnya Literasi

27/07/2022
Hati Suhita dan Citra Perempuan, Sebuah Resensi
Cecurhatan

Hati Suhita dan Citra Perempuan, Sebuah Resensi

23/07/2022

REKOMENDASI

Saat Mahasiswa Gelar Penyuluhan Pengendalian Hama Terpadu

Saat Mahasiswa Gelar Penyuluhan Pengendalian Hama Terpadu

09/08/2022
Gelar LKMOK untuk Bekali Mahasiswa Leadership dan Kependidikan

Gelar LKMOK untuk Bekali Mahasiswa Leadership dan Kependidikan

08/08/2022
KKNT 17 Unigoro Berhasil Helat Sosialisasi Tentang Perlindungan dan Hukum Pidana Anak

KKNT 17 Unigoro Berhasil Helat Sosialisasi Tentang Perlindungan dan Hukum Pidana Anak

08/08/2022
5 Band Populer Indonesia yang Lahir dari Institut Kesenian Jakarta

5 Band Populer Indonesia yang Lahir dari Institut Kesenian Jakarta

07/08/2022
Bercakap Dengan Diri Sendiri ala Gus Mus

Bercakap Dengan Diri Sendiri ala Gus Mus

06/08/2022
Enigma Pengibaran Sang Dwiwarna

Enigma Pengibaran Sang Dwiwarna

05/08/2022

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: