Dalam konsep wacana, hanya igau dan ngorok yang tak punya kepentingan. Sebab ia dilakukan tanpa sadar. Sementara yang berbunyi dalam kesadaran, pasti punya kepentingan.
Sejak dibuka kelas pandemi, saya rajin sekali datang ke warung kopi. Tentu, untuk belajar. Di kelas ini, saya dan Athok kerap duduk sebangku. Dia kawan yang sering tiba-tiba duduk begitu saja di belakang saya. Padahal, kami berdua tak pernah janjian sebelumnya.
“Ini sudah jam ke berapa, Riz?”
“Baru jam pertama.”
Dialog itu semacam default yang secara otomatis kami ucap begitu saja. Sebuah dialog yang diulang-ulang tiap kali ketemu. Siapa yang datang lebih dulu, akan menerima pertanyaan dari yang datang belakangan.
Kami berdua ikut kelas bimbingan hidup yang diadakan Tuhan kurang lebih selama 4 bulan terakhir ini. Hari ini saya tiba ke kelas lebih dulu. Sementara Athok, tiba belakangan karena seperti biasa, dia bangun kesiangan.
Biasanya Athok tak langsung ikut kelas. Tapi mendengar musik atau melihat kondisi medsos terlebih dahulu untuk mematangkan mood belajar, setelah itu baru gabung. Tapi hari ini, agaknya dia semangat sekali.
“Halaman berapa, Riz?” Athok bergegas membuka ponselnya.
“Masih mukadimah,” jawab saya.
Kita sering bertemu dengan mukadimah. Dengan muka. Dengan teras. Dengan gimik. Sesuatu yang sering tak sama dengan isi. Dalam hidup, muka jadi objek pertama yang dilihat. Benar jika hidup adalah mukadimah menuju tempat lain?
Hari ini Athok dan saya belajar tentang tema yang cukup berat, tapi tak berat-berat amat: Analisis Wacana. Sesungguhnya ini pelajaran dasar bagi orang-orang perenung seperti Athok dan saya. Hanya, kami masih sering salah memaknai istilahnya.
Sebelum memahami Analisis Wacana, seorang pemandu meminta kami memahami kesalahan awam yang sering kami alami. Yakni, memurnikan makna wacana. Wacana, sejauh ini identik rencana. Padahal tidak.
Kalimat “ada wacana apa?” seolah bermakna “ada rencana apa?” padahal, dua kata itu punya arti yang tak berhubungan sama sekali. Wacana bukan sebuah rencana.
Wacana, sejenis komunikasi verbal atau satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh; novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah. Begitu KBBI mengartikan wacana.
Wacana, sesungguhnya format lengkap sebuah kumpulan simbol, sebelum dimaknai menjadi pesan. Ia bisa berbentuk tulisan. Atau berbentuk suara. Menganalisis wacana berarti mencerna simbol dan membaca tanda.
Di depan pemandu itu, Athok dan saya manggut-manggut. Memang prinsip dasar ikut bimbingan ini adalah sikap tawadhu. Kami yang konon ahli komunikasi kultural, tak boleh merasa banyak tahu. Sebab sesungguhnya memang belum tahu. Hanya merasa.
Pemandu itu melanjutkan.
Secara ndakik-ndakik, ada 3 pandangan dalam mengambil tumpuan sebelum melakukan analisis wacana. Mereka adalah positivisme empiris, konstruktivisme, dan critical discourse analysis (CDA).
Positivisme-empiris. Lebih pada analisis tata bahasa. Kebanaran sintaksis jadi bidang utama aliran positivisme-empiris ini. Analisis model ini dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertiannya.
Implementasinya: saat seseorang mengirimi kita sebuah pesan — entah lewat WA atau email atau surat — kita akan fokus pada cara orang itu menulis pesan. Tentang benar tidaknya cara kalimat itu disusun.
Konstruktivisme. Lebih pada upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek yang mengemukakan suatu pernyataan. Konstruktivisme merupakan cara membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari sebuah pesan.
Implementasinya: saat seseorang berkhotbah atau menulis sesuatu yang ditujukan untuk pembaca, pasti ada niat tertentu. Ada tujuan khusus. Pesan (baik suara atau tulisan), tidak hadir tanpa tujuan. Pasti ada maksud tersembunyi.
Critical Discourse Analysis (CDA). Upaya menghubungkan segala sesuatu dengan konteks. Bahasa dan tulisan sebagai jembatan kepentingan. Seseorang membuat pernyataan, berarti ada yang sedang dibangun dari pernyataan itu.
Implementasinya: Saat sebuah kerajaan membroadcast maklumat (baik berbentuk suara atau tulisan), sesungguhnya ada maksud yang ingin ditonjolkan. Entah menutupi sesuatu atau membuka sesuatu. Atau, menutupi sesuatu dengan cara membuka sesuatu.
Pemandu itu berhenti sebentar. Lalu melanjutkan.
Secara awam-awaman, analisis wacana dipahami sebagai giat pembacaan dengan pemahaman dasar: saat seseorang sedang berbicara atau menulis, mereka bukan menulis atau berbicara untuk dirinya sendiri. Tapi ada maksud dan tujuan tertentu.
Di dunia ini, hanya igau dan ngorok yang tak punya kepentingan apa-apa. Sebab ia dilakukan tanpa sadar. Sementara yang berbunyi dalam kesadaran, pasti punya kepentingan.
Entah benar-benar paham atau tidak, kami telah memahami pelajaran penting: bahwa setiap bunyi, simbol dan kepala, selalu membawa misi. Mukadimahnya saja yang beda-beda. Kadang berwajah nabi, kadang berwajah motivator.
Athok meletakkan ponselnya. Saya juga. Kami berdua melolos sebatang rokok untuk beristirahat. Pelajaran pertama hari ini telah usai. Kami merenunginya, lalu memberanikan diri untuk memesan sebungkus masa depan lagi.