Ever since I saw those lion eyes
Those tired feelings hide behind your cigarette nights
Your love, breaking apart inside
Do you need me the way I need you?
Let’s be true for a change
Do you need someone?
Do you need my love?
Need my love
Penggalan lagu di atas mungkin tidak asing bagi kalian, sebab saya pernah menuliskannya dalam sebuah cerpen yang juga dimuat di sini, Mendiskusikan Perpisahan.
Lagu di ataslah yang mengenalkan saya pada satu sosok penyanyi muda yang kini lagu-lagunya membanjiri playlist saya beberapa bulan.
Natalie Laura Mering, atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Weyes Blood adalah penulis potongan lirik lagu yang baru saja saya kutip.
Perihal Mering (begitu saya lebih suka memanggilnya), juga pernah saya tuliskan dalam satu artikel yang dimuat di situs yang sama pada 30 Januari, Perihal Jatuh Cinta dan Momen Jatuh Pada Lagu Weyes Blood.
Musik Mering bagi saya seperti cinta pada pandangan pertama. Saya tahu bahwa saya akan bisa bertahan lama dengan musik-musiknya sejak pertama kali mendengar.
Perkenalan saya dengan Mering terjadi tahun lalu. Ketika itu sampul album terbarunya, Titanic Rising, muncul di explore instagram dan menarik perhatian.
Ternyata itu disebabkan Lana Del Rey menyukai postingan tersebut.
Dengan rasa penasaran, saya kemudian mendengarkan lagunya di youtube, dengan mengetikkan kata panggil ‘Weyes Blood’.
Seperti yang telah saya katakan bahwa lagu pertama yang saya dengarkan dari penyanyi kelahiran Pennsylvania ini adalah Do You Need My Love. Dan sejak itu telinga saya yang dulunya hanya mau mendengarkan lagu-lagu master dari era 70-90 kini mau mengkonsumsi produknya anak muda.
Weyes Blood, saya yakin kalian juga pasti kebingungan bagaimana membacanya? Weyes Blood dibaca wais blat. Weyes dibaca sama seperti kalian membaca wise. Tepatnya itu pernah saya baca di suatu artikel, tapi saya lupa.
But, why wise?
Dengan rumus kengawuran saya sendiri, saya akan coba jelaskan. Mengapa weyes atau wise ini sengaja dipilih? Itu berkaitan dengan hal-hal yang ingin disampaikan dalam lagu-lagu Mering.
Kita tahu bahwa musik Weyes Blood ini bergenre Psychedelic Folk dan salah satu yang menjadi karakter dari musik jenis ini adalah liriknya yang fokus pada subjek-subjek seperti alam, cinta, keindahan yang seolah mencoba membangkitkan pikiran-pikiran yang terkait dengan efek obat-obatan psikedelik.
Saya tidak ingin panjang membahas obat-obatan psikedelik maupun efeknya, yang jelas, lirik yang dituliskan Mering membuat saya melihat hal-hal dari sisi lain.
Liriknya yang dalam dan kadang terasa kelam, dibawakan dengan ringan, musik-musik yang kuat tapi sekaligus lembut, seolah ingin mengatakan pada pendengarnya untuk menikmati kesedihan dan kebahagiaan itu dengan biasa saja.
Stoicism sekali. Ini mengapa, saya kira, Mering menyebut musiknya Wise, bijaksana. Ia ingin menyampaikan kebijaksanaan-kebijaksanaan di dalam lirik dan musiknya.
Saya contohkan dalam lagu Do You Need My Love yang saya gunakan untuk membuka artikel ini.
Tired of feeling so bad
The world that i knew just fell through
And left me outside…
Ever since i saw those lion eye
Those tired of feeling hide behind your cigarette…
Do you need my love the way i need you?
Let’s be truth fir a change
Lagu ini seolah menampar sepasang kekasih yang sudah kehilangan cinta di dalam dirinya, tapi terus memaksakan untuk bersama. Seperti lampu minyak di dinding yang telah ditinggalkan apinya, tak berarti.
Dan segala yang telah kehilangan arti bukankah telah kehilangan esensi keberadaannya? Maka itu, let’s be truth for a change, and set us free from the pain of what’s gone.
Bagiku, lirik dalam lagu ini begitu bijaksana. Bahwa yang lebih berarti dari mempertahankan hubungan adalah mempertahankan cinta itu sendiri. Menghargai keberadaan masing-masing.
Jika cinta itu sendiri sudah tak ada pada satu atau bahkan keduanya, maka tak ada artinya lagi menjadi ‘kita’. Membebaskan perasaan dari keterikatan untuk menemui hal-hal baru di luar sana yang telah menunggu.
“Do you love me the way i love you? Let’s be truth for a change.”
Mulailah untuk jujur pada diri sendiri dan pasangan sehingga tak ada beban yang menahan kalian di belakang. Bukankah nyala mata yang telah padam tak akan mampu melihat dalam kegelapan?
Saya rasa, banyak lagu-lagu Mering yang bernuansa kesedihan tapi tetap mampu dinikmati dengan tenang. Kesedihan yang jauh lebih dalam dari ledakan emosi yang seketika padam.
Lirik-lirik yang ditulis Mering membuat saya banyak merenungi kesedihan-kesedihan, menikmatinya, dan kemudian tetap mampu beraktifitas seperti biasa.
Kembali pada genre Psychedelic Folk, sebetulnya genre ini bukanlah genre baru dalam musik. Sejak akhir 60’an, genre ini telah dikenal di dunia musik (dan mungkin ini pula alasan musik Weyes Blood bisa diterima oleh telinga jadul saya).
Namun begitu, genre ini berkembang dengan gubahan-gubahan, entah itu penambahan suara gitar elektrik maupun alat musik lain.
Sebagai penikmat musik amatiran, yang saya tangkap banyak dari musik ini adalah ciri khasnya yang membuat pendengar tidak menapakkan kaki di bumi: begitu ringan, membuat pendengar melayang-layang, entah terbang ke-ketakterhingga-an, atau menyelam di kedalaman.
Ditambah dengan gaya panggung Mering yang sederhana, tak banyak aksesoris dan riasan, terkesan percaya diri pada apa yang dilakukan: menyanyi dan bermusik.
Mereka yang tak butuh banyak hal untuk membersamai, bagi saya, adalah mereka yang percaya diri pada kualitasnya. Dalam hal ini, suara Mering, saya akui, memang sangat bagus. Termasuk pula lirik dan musik yang dibuatnya.