Nawal El Saadawi, seorang penulis perempuan dan feminis di negara dengan budaya patriarki yang sangat kuat, pernah menulis satu paragraf di dalam bukunya seperti ini:
“Saudara lelakiku bebas bermain, berlompat-lompatan, jungkir-balik sekehendaknya, sementara aku hanya boleh duduk dan tetap waspada jangan sampai gaunku tersingkap barang satu sentimeter pun ke atas paha. Bila itu sampai terjadi, ibuku akan memandang padaku dengan pandangan seekor binatang yang hendak melumpuhkan mangsanya.”
Kalimat itu tertulis di bukunya yang berjudul Memoar Seorang Dokter Perempuan. Apa yang dikisahkan Nawal tentang tokoh ‘aku’ dalam cerita itu, sesungguhnya tak jauh beda dengan apa yang ada di Indonesia selama ini.
Bagaimana masyarakat memandang perempuan dan bagaimana seorang perempuan seharusnya berpenampilan juga tak luput diatur dengan hukum yang tak tertulis.
Kita bisa saja meminta presiden merevisi undang-undang, tapi bagaimana merevisi pemikiran masyarakat akan perempuan? Stigma yang telah dilekatkan pada perempuan.
Apa yang terjadi jika perempuan melompat-lompat riang, menunjukkan keinginannya akan suatu hal, menginisiasi suatu tindakan, atau barangkali menyingkap roknya sampai pada atas paha?
Apakah lantas mereka yang melakukan hal demikian tidak lagi menjadi perempuan? Sesungguhnya kami tidak akan kehilangan diri sebagai perempuan, tapi masalahnya adalah pada masyarakat yang melihat kami sebagai seorang yang tidak lagi patut dihargai sebagai perempuan.
Beberapa waktu lalu, saya mengalami pelecehan seksual di atas bus yang saya tumpangi. Itu adalah bus malam dari Semarang menuju Surabaya.
Kejadian itu tepat ketika tengah malam atau begitu dini hari dan suasana bus penuh sesak. Alih-alih mendapatkan pembelaan untuk menyembuhkan psikis, yang dilontarkan pertama kali kepada saya adalah larangan untuk tidak menaiki bus malam, tidak pergi keluar di malam hari, kecuali seorang lelaki menjaga saya.
Apakah jika perempuan keluar di malam hari, orang bisa memperlakukannya semena-mena? Perkataan seperti ini terdengar seperti legitimasi bahwa malam tidak diciptakan untuk perempuan.
Bahwa siapa saja perempuan yang keluar di malam hari boleh diperlakukan kurang pantas. Bahwa siapa saja perempuan yang menyingkap gaunnya di atas paha, boleh mendapat perlakuan bengis. Bahwa siapa saja perempuan yang tidak menjaga tingkah lakunya, boleh diperlakukan semena-mena. Begitukah?
Kita boleh merevisi beribu-ribu kali undang-undang mengenai kekerasan seksual, tapi itu semua omong kosong belaka jika di dalam pikiran kita masih belum ada keadilan yang memandang perempuan sebagai makhluk bebas layaknya laki-laki.
Makhluk yang bebas menentukan pemikiran, tindakan, pakaian, dan segala yang menyangkut dirinya. Apa yang terjadi kemudian, jika undang-undang dibuat tanpa merevisi pikiran-pikiran masyarakatnya? Mirip seperti membangun gedung tinggi tanpa pondasi…tidak akan pernah tegak.
Berapa banyak kita sudah mendengar cerita mengenai aduan pelecehan atau kekerasan seksual yang tidak ditanggapi dengan baik oleh pihak kepolisian? Tentu tidak sedikit.
Bahwa ketika hak kita pun telah dijamin di dalam undang-undang, tapi pihak pelaksana tidak dijernihkan pikirannya untuk berpihak pada korban, sama saja omong kosong belaka.
“Cuma gitu doang?”
Reaksi yang demikian mungkin terlihat sepele, tapi dari situ kita bisa mendeteksi keberpihakan dan kesungguhan pihak kepolisian untuk menindak pelaporan. Sehingga pelaporan hanya sekadar pelaporan.
Data-data yang tidak terselesaikan. Data-data yang tidak dibunyikan.
Berdasar Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, 3 dari 5 perempuan mengalami pelecehan seksual di tahun 2019. Sebagian besar di transportasi umum, tempat kerja, dan beberapa fasilitas umum.
Pertanyaannya, ada berapa banyak pelaku yang kemudian ditindak dengan pasal yang telah ada? Dengan pasal KUHP yang telah ada pun, pelaku hanya diganjar hukuman untuk melapor dua kali dalam seminggu sampai waktu persidangan.
Mereka masih bebas ada di jalan, melakukan tindakan serupa di tempat-tempat lain dan mencari korban yang lain.
Data di atas belum termasuk kekerasan yang dialami oleh perempuan baik di ranah domestik maupun publik. Jika di tahun 2018 ada 348.466 kasus kekerasan pada perempuan yang tercatat, maka di tahun 2019 ada lonjakan sebesar 14%, yakni ada 406.178 kasus kekerasan dalam satu tahun.
Ini adalah potret masyarakat yang mendaku diri sebagai masyarakat paling ramah di negara yang menjunjung tinggi adab. Bukankah kita hidup di masyarakat yang bopeng sebelah? Di satu sisi menjunjung adab, di lain sisi berlaku bejat.
“Air mata sungguhan pertama yang kutumpahkan dalam hidupku bukanlah karena aku tidak pandai di sekolah atau karena aku telah memecahkan suatu benda yang berharga, melainkan karena aku seorang anak perempuan.” Kalimat yang ditulis Nawal ini benar-benar dirasakan sebagian besar perempuan.
Apakah menjadi perempuan adalah nasib buruk atau kutukan bagi manusia bebas? Agamaku memuliakan perempuan, tapi masyarakatnya tidak demikian. Kita masih hidup di pikiran yang bar-bar dan dzalim.
Dilekatkan dengan stigma lemah membuat perempuan tidak boleh tampil kuat. Dan karena stigma lemah itu, masyarakat memiliki kebebasan untuk mengatur dan menekan kuat-kuat perempuan, lantas menjatuhkan hukuman sekehendaknya bagi mereka yang berani melakukan perlawanan terhadap ‘hukum tidak tertulis’ itu.
Di balik cadar dan jilbab yang besar itu, ada sayatan-sayatan luka yang dunia sendiri menolak untuk melihatnya. Lantas bagaimana mereka yang menanggung? Jangankan mengobati, alih-alih menutup mata, kita justru diperintahkan untuk menutupi segalanya sembari berkata, “semua baik-baik saja.”