Saya begitu sulit menyukai hari Senin. Karena seperti kebanyakan alasan manusia di dunia, di hari itu saya harus kembali bekerja. Dan artinya juga, saya harus kembali ke Surabaya yang penuh macet, polusi, dan kosakata jancuk.
Tetapi, alih-alih menunjukan ekspresi kecewa pada Senin kemarin, pada waktu yang mulia ini, saya justru berbahagia.
Sebuah pesan yang dikirimkan seorang penulis Kota Ledre yang multitalenta hinggap di ponsel saya Minggu malam. Isinya memuat esai bagus tentang misi penyelamatan, menolong, dan kebangkitan sebuah harapan.
Jika ada yang ingin mengetahui, saya menyarankan untuk membacanya di sini.
Esai itu secara ciamik menghubungkan keping demi keping informasi, yang secara normal sebenarnya bertolak belakang, menjadi satu paparan yang bagus. Jelas, tak sembarang orang saya kira bisa melakukannya. Tetapi, Wahyu Rizkiawan, penulis, editor, jurnalis, dan calon filsuf itu sukses membuatnya begitu mempesona.
Saya membacanya dengan raut senyum paling manis. Apalagi saat kedua mata saya secara seksama menangkap ada nama saya dalam esai itu. Yang entah dengan motivasi seperti apa, terdapat rentetan ~glorifikasi~ pujian sebanyak itu. Apakah benar saya seperti demikian?
**
Dalam sebuah buku bersampul hitam terbitan Gagasmedia, AS Laksana pernah menulis tentang beragam tips menulis kreatif. Isinya tidak jauh-jauh membahas mengapa harus menulis, kiat mengatur pembabakan dalam dialog, hingga bagaimana mengawali menulis ketika ide mandeg.
Saya selalu mengingat petuah-petuah Om Sulak. Saya menganggapnya seperti sebuah mantra. Persis layaknya paranormal yang mengobati pasien kerasukan dengan bacaan tertentu. Atau, seperti Harry Potter dengan kekuatan sihirnya yang mengagumkan.
Dalam tulisannya di buku yang berjudul Creative Writing tersebut, ada anjurannya yang sulit saya lupa: menulislah dengan buruk.
Anjuran itu diperuntukan ketika seseorang tidak bisa mengawali tulisan dengan baik. Terutama ketika terbebani oleh hasrat menulis bagus dan sempurna.
Jelas saya ingin menulis yang sempurna untuk Wahyu Rizkiawan. Saya tak ingin ada celaka yang menodai tulisan saya, seperti kesalahan menggunakan logika bahasa, sumber yang acak adut, hingga typo yang kurang ajar.
Tapi, sulit juga bagi saya untuk bisa mewujudkan impian itu. Sosok Wahyu Rizkiawan terlalu sempurna: kau tahu ia bisa melakukan banyak hal di dunia ini, mulai dari menulis, menganalisa permainan sepakbola, mengedit buku, melakukan penelitian yang cermat, hingga menjadi motivator saat siapapun tengah jatuh.
Saya perjelas kembali dengan tambahan seperlunya: Ya, ia bisa melakukan banyak hal di dunia, kecuali tentu saja, bersedih. Ia akan selalu bahagia, seiring dengan tagline media tempatnya bernaung sekarang.
**
Maret 2019 lalu, media CNN Indonesia merilis berita yang mengandung bawang: di antara negara-negara paling berbahagia di dunia, Indonesia hanya berada di posisi ke-92, dan Finlandia memuncaki klasemen itu untuk kedua kalinya.
Ranking itu secara seksama tertuang dalam laporan World Happiness Report, yang diinisiasi Sustainable Development Solutions Network untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Saya sedih membacanya. Karena artinya, di Indonesia, indeks kebahagiaan seseorang belum sepenuhnya memuaskan.
Lalu seketika ingatan saya tertuju kembali pada Wahyu Rizkiawan. Sosok yang akrab dengan dunia literasi itu pernah berujar tentang hasratnya hijrah ke Finlandia. Ke negeri dengan peringkat paling bahagia di dunia itu.
Sebelum imajinasi saya berkembang lebih jauh, sebuah tanya buru-buru melipir dalam benak saya: mengapa ia, Wahyu Rizkiawan, harus ke Finlandia, ke negeri paling bahagia, jika ia adalah kebahagiaan itu sendiri?
Wahyu Rizkiawan adalah pembaca buku yang rakus. Dan saya menyarankan bagi siapapun yang tengah ngobrol dengannya di manapun: awali perbincangan dengan menanyakan sebuah buku atau tulisan. Niscaya, obrolan itu akan sangat seru.
Pada kesempatan ini, tentu saya merasa tersanjung bisa menulis tentangnya secara bahagia. Nyaris sulit menemukan bagian sedih, ketika menyatukan puzzle apapun tentang Wahyu Rizkiawan. Yang ada, bahkan saya ingin memasukan hal-hal bahagia lagi lebih banyak, yang saya rasa itu justru akan membuat tulisan saya rapuh.
Namun, saya juga sadar. Kemampuan saya dalam menulis sangat jauh untuk dikatakan baik. Saya masih perlu belajar, salah satunya dari Wahyu Rizkiawan ini. Dan entah dengan perasaan apa, saya kembali ingat pesan dari Om Sulak di pertengahan tulisan ini. Menulislah dengan buruk.
Saya rasa, saat ini kau telah belajar banyak darinya.