Sepuluh atau limabelas tahun lagi, saya meyakini jika namanya akan menjadi legenda suburban sebagai sosok yang cukup dikagumi. Karena itu, saya ingin menulisnya. Agar kelak, kisah tentangnya tak dianggap sekadar mitos belaka. Tapi benar-benar ada.
Diobservasi dari namanya saja, Bakti Suryo jelas bukan orang biasa. Bakti adalah kesetiaan dan Suryo adalah matahari. Yoyok tentu memiliki sifat setia yang mirip matahari — tak marah ketika dibenci karena mengirim panas, tapi diam-diam dirindukan kehangatannya.
Saat pertamakali mengenalnya, yang ada dipikiran saya, Yoyok adalah seorang playboy kelas manja. Itu tergurat jelas di prejengannya. Ia punya modal yang hampir surplus untuk jadi penyair idola kaum hawa. Tampan dan penuh estetika.
Di saat pemuda seusianya memilih membaca buku-buku sastra kiri atau mendalami panduan-praktis-menjadi-aktivis-melankolis, dia satu langkah lebih progresif dengan memilih mendalami buku-buku tasawuf di usia yang teramat muda.
Chandra Malik, Haidar Bagir, Syekh Siti Jenar dan Jalaludin Rumi adalah nama-nama yang pernah saya rekam keluar secara spontan dari mulutnya. Tentu, hanya anak muda dengan kategori tertentu yang bisa menyebut nama-nama itu secara spontan. Dan Yoyok satu di antaranya.
Spontanitas
Spontanitas. Saya sangat peka pada spontanitas. Kadang, saya menilai individu dari spontanitas gerak terkecil yang alpa disadari kesadaran. Sebuah momentum yang hadir sesaat sebelum kesadaran merancang sebuah pose.
Setahun lalu, di sebuah diskusi yang dihadiri teman-teman, ada seorang teman yang tak kebagian kursi. Tiba-tiba Yoyok bangkit dari tempat duduknya, tak hanya mempersilakan teman itu menduduki tempatnya. Tapi melakukan tindakan yang amat mengagumkan.
Dia mencari kursi dengan jarak yang lumayan jauh, mengangkatnya, dan menyiapkan kursi untuk teman yang tak kebagian kursi tersebut. Bukan karena teman yang tak kebagian kursi itu perempuan, tapi ia belum sempat menutupi spontanitas kebaikan yang ia lakukan.
Yoyok sosok yang selalu berupaya menutupi spontanitas kebaikan yang ia lakukan. Baginya, spontanitas kebaikan yang terlihat orang lain adalah kegagalan. Dan saya sering menggagalkan itu karena saya kerap membaca, sesaat sebelum ia menyadarinya.
Ada 3 Hal yang cukup saya kagumi dari sosok Bakti Suryo:
1. Tawadhu Tingkat Brutal
Saya ingat bagaimana Yoyok sering mengeluh akan kemampuan berbahasa Inggrisnya yang minim. Berupaya keliru menerjemahkan. Atau bertanya tentang sebuah istilah yang sesungguhnya tak terlalu asing.
Sebenarnya, ini bagian dari sikap tawadhu. Yoyok memiliki kemampuan berbahasa Inggris di atas rata-rata. Jangankan istilah rumit, bermacam tenses pun sesungguhnya dia hapal di luar kepala. Dia hanya tak ingin menampakkan itu pada orang lain.
Ini bukan tanpa alasan. Dalam momen tertentu, saya sering membuktikan kemampuannya dalam memahami istilah dan mengurai kalimat-kalimat rumit. Bahkan, secara tak sengaja, dia sering membetulkan kala saya mengalami kekeliruan.
Dia juga sering berupaya menampakkan ketidakpahamannya pada sesuatu secara vulgar, meski sesungguhnya dia justru lebih banyak paham di banding yang lain. Ini kontras dengan orang-orang awam yang justru menyembunyikan ketidakpahamannya akan sesuatu dan menonjolkan pemahamannya yang hanya sedikit.
Kemampuan menghalau sombong seperti itu, tak dimiliki sembarangan orang. Yoyok satu di antara orang yang, menurut perspektif saya, memiliki kemampuan menghalau sombong dengan sikap yang tak biasa.
2. Mencela Diri Sendiri
Giat-giat sufistik dengan cara menghina diri sendiri bukanlah perkara mudah. Nasrudin Hoja dan Abu Nawas mungkin sosok populer yang identik dengan laku tersebut. Yoyok, entah disadari atau tidak, kadang memancarkan kemampuan itu.
Orang-orang memujimu, karena apa yang mereka sangka ada pada dirimu. Maka, celalah dirimu karena apa yang kau tahu ada pada dirimu — Ibnu Athoillah.
Salah satu kutipan dari kitab babon Al-Hikam itu, kadang mengingatkan saya akan Yoyok. Kemampuan Yoyok dalam hal mencela diri sendiri, sangat saya kagumi. Tak banyak pemuda seusianya, di zaman ini bisa melakukan hal tersebut.
Beberapakali, saya menyaksikan Yoyok mampu melakukan laku tersebut dengan cukup baik. Ia mampu menghina diri sendiri di depan orang lain. Baik dari cara bercerita, berkata-kata, hingga melakukan sesuatu yang kadang membuat orang lain merasa ilfil.
Saat banyak anak muda seusianya membangun citra, kharisma dan wibawa, Yoyok justru meruntuhkannya. Baginya, tak penting wibawa dan kharisma yang hanya berorientasi pada pengaruh dan kepentingan. Yang terpenting adalah manunggaling hati dan pikiran.
Tidur saat sedang ada rapat. Tak memperhatikan saat berdiskusi. Hingga selalu berangkat telat. Tapi, ia menjadi yang pertama untuk urusan-urusan berbasis spontanitas yang jauh dari kesan pencitraan. Alih-alih ilfil, ini yang membikin saya kagum kepadanya.
3. Menghindari Wibawa dan Pengaruh
Suatu hari, saat masih SMP, saya pernah menyaksikan kiai saya hanya menggunakan celana training tanpa menggunakan baju. Beliau tidur-tiduran di tempat yang biasa ditempati para penjudi di kampung kami. Sebagai santrinya, tentu saya kaget dan tak menyangka.
Tapi, setelah mendengar beberapa hikmah, saya baru tahu jika apa yang dilakukan kiai saya adalah laku yang amat sulit. Beliau menghilangkan wibawa dan kharisma agar tak dinilai manusia sebagai sosok yang berbaju kehormatan.
Wibawa, kharisma dan kehormatan adalah tahap-tahap menuju pengaruh. Puncaknya adalah ketercapaian pengaruh. Dan pengaruh ini lah yang sering disalahgunakan orang. Karena itu, orang-orang hebat selalu berupaya menjadi sosok yang tak berpengaruh.
Yoyok sering sekali berupaya menghilangkan itu semua dengan cara-cara yang sangat saya kagumi. Ia bercerita tentang sesuatu yang membuat orang lain merasa ilfil. Dari perkara kecil hingga perkara besar. Kemampuan itulah yang tak banyak dimiliki orang seusianya.
Di saat orang-orang membangun citra dan wibawa yang tujuannya membangun pengaruh, Yoyok justru mampu meruntuhkannya. Ini alasan kenapa dia sangat istimewa. Saya banyak belajar dari Yoyok tentang perihal semacam itu.
Selamat Ulang Tahun, Yoyok.