Rantai simpul dan peta genealogi para ulama penyebar islam di wilayah Nganjuk, Bojonegoro, Tuban, dan Gresik pada periode 1800 M.
Para ulama yang berdakwah di wilayah Nganjuk, Bojonegoro, Tuban, dan Gresik pada periode 1800 M hingga 1900 M, memiliki koordinat simpul genealogi pada Bani Syihabuddin. Peta konsep dakwahnya pun memiliki corak yang sangat mirip antara satu dan lain.
Bani Syihabuddin masyhur keluarga para ulama penyebar islam yang bersyiar di wilayah Jawa Timur sejak awal abad ke-19 (1800 M). Khususnya para ulama yang berdakwah di daerah Tuban, Bojonegoro, Gresik, hingga Nganjuk.
Terkait Bani Syihabuddin, Syekh Sulaiman Kurdi Makkah (1904-1952) — ulama Bojonegoro yang jadi pengajar di Makkah pada abad 20 M — pernah membahasnya. Beliau menyebut masa kecilnya terdidik dalam Keluarga Syihabuddin yang masyhur akan kesalehannya.
Keterangan dari Syekh Sulaiman Kurdi ini, termuat secara empiris dalam kitab Al-Jawahir al-Hisan fi Tarajum al-Fudhala karya Syekh Zakariya Billa (1911-1992) — kitab yang memuat sejumlah biografi ulama Nusantara di Tanah Hijaz.
Keluarga Syihabuddin yang dimaksud Syekh Sulaiman Kurdi, tak lain adalah keluarga Syihabuddin Padangan. Syekh Sulaiman Kurdi merupakan cucu buyut Syekh Syihabuddin. Ini alasan beliau menyebut Keluarga Syihabuddin sebagai bagian dari masa kecilnya.
Keterangan Syekh Sulaiman Kurdi itu, tentu tak berlebihan. Sebab, mayoritas ulama penyebar islam abad 19 dan 20 masehi yang berdakwah di wilayah Bojonegoro, Tuban, Gresik, hingga Nganjuk memiliki hubungan keluarga yang berpunjer pada Syekh Syihabuddin Padangan.
Kota Nganjuk
Di wilayah Kota Nganjuk, ada dua ulama Waliyullah nan cukup masyhur. Keduanya adalah KH Zainuddin Loceret Mojosari (1850-1954 M) dan KH Mustajab Gedongsari (1860-1953 M). Dua ulama besar itu, tak lain adalah cicit Syekh Syihabuddin Al Fadangi.

Berbagai catatan riwayat menyebut, dua ulama besar itu bersambung nasab pada Syekh Syihabuddin Padangan. Nasabnya: KH Zainuddin Loceret bin Nyai Mukmin binti Abdullah bin Syihabuddin. Dan KH Mustajab Gedongsari bin Nyai Zarkasyi binti Abdullah bin Syihabuddin.
Kota Gresik
KH Sholeh Tsani (1836-1902 M), ulama besar dari Sampurnan Bungah Gresik yang masyhur sebagai Waliyullah tersebut, juga bagian dari Bani Syihabuddin Padangan. Mbah Sholeh Tsani adalah cicit dari Syekh Syihabuddin Padangan.

Berbagai catatan manuskrip dan riwayat menyebut, ulama besar Kota Gresik itu bersambung nasab pada Syekh Syihabuddin Padangan. Urutannya: KH Sholeh Tsani bin Kiai Ishaq Rengel bin Nyai Muhammad Jono binti Syekh Syihabuddin.
Kota Tuban
Selain Mbah Ishaq Rengel dan Mbah Sholeh Ngerong, ada banyak Bani Syihabuddin yang berada di Tuban. KH Muslich Shoim (1921-1985 M), ulama besar pendiri Ponpes Tanggir Tuban adalah bagian dari keluarga besar Bani Syihabuddin Padangan. Mbah Muslich masih terhitung sebagi cicit dari Syekh Syihabuddin Padangan.

Berbagai catatan manuskrip dan riwayat menyebut, ulama besar Kota Tuban itu bersambung nasab pada Syekh Syihabuddin. Urutannya: KH Muslich bin Nyai Mu’isyah binti Kiai Murtadlo Kuncen bin Syekh Syihabuddin Padangan.
Kota Bojonegoro
Bojonegoro paling timur hingga paling barat, cukup banyak jadi titik keberadaan Bani Syihabuddin. Di wilayah timur, Mruwut Kanor jadi pusat keberadaan Bani Syihabuddin. Syekh Yasin Mruwut, Kiai Zaini Yasin Mruwut, hingga Kiai Syihabuddin Yasin Mruwut, tak lain adalah para keturunan Syekh Syihabuddin Padangan.
Syekh Yasin Mruwut adalah cucu Syekh Syihabuddin Padangan, yang ditugasi berdakwah di wilayah Mruwut Kanor. Urutan nasabnya: Syekh Yasin bin Nyai Wajiroh Betet binti Syekh Syihabuddin.

Sementara di wilayah barat, Padangan jadi pusat keberadaan Bani Syihabuddin. Sejumlah nama seperti KH Muntoho Padangan, KH Ahmad Basyir Petak, Syekh Sulaiman Kurdi Makkah, hingga KH Ahmad Bisri Mbaru (salah satu muasis NU Padangan 1938), adalah para cucu-cicit dari Syekh Syihabuddin.
Urutan silsilahnya: KH Muntoho bin Nyai Wajiroh Syamsuddin binti Syekh Syihabuddin; KH Ahmad Basyir Petak dan Syekh Sulaiman Kurdi Makkah bin Nyai Sulbiah Abdul Qodir binti Nyai Wajiroh Syamsuddin binti Syekh Syihabuddin; KH Ahmad Bisri Mbaru bin Warsun bin Sanusi bin Syahid bin Syekh Syihabuddin.

Corak Kemiripan Dakwah
Para ulama yang berada di Nganjuk, Bojonegoro, Tuban, hingga Gresik di atas, memiliki corak dan karakter yang mirip antara satu dan lainnya. Corak ini berupa metode konsep dakwah dan adanya jejak berupa karya di sejumlah fan ilmu.
Mayoritas ulama tersebut memakai metode Al-muhafazhatu ‘alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah (menerima budaya baru yang baik, dan melestarikan budaya lama yang masih relevan), dalam konsep dakwah. Dalam hal peninggalan, mayoritas juga meninggalkan jejak berupa karya tulis berupa kitab-kitab ilmiah.
KH Zaenudddin Loceret Mojosari dan KH Mustajab Gedongsari (Nganjuk), KH Madyani Ishaq Rengel, KH Sholeh Ngerong, hingga KH Muslich Shoim (Tuban), masyhur ulama Waliyullah yang sangat dekat dengan masyarakat dan kebudayaannya.
Sementara dalam peninggalan karya intelektual berupa kitab-kitab manuskrip, KH Sholeh Tsani Sampurnan Bungah (Gresik) dan KH Ahmad Basyir Petak (Bojonegoro), masyhur ulama Waliyullah yang menulis banyak kitab. Dan masih bisa dibaca hingga saat ini.
Tradisi menulis kitab ini, tentu melanjutkan tradisi literasi yang sebelumnya telah dilakukan para leluhur dan pendahulunya, yakni Syekh Syihabuddin dan Syekh Abdurrohman Klotok. Mengingat, kedua leluhur itu meninggalkan sejumlah kitab.
Biografi Syekh Syihabuddin
Syekh Syihabuddin Al Fadangi (Mbah Syihabuddin Padangan), juga dikenal dengan Mbah Syihabuddin Betet. Beliau merupakan pendiri Pesantren Betet yang saat ini berada di wilayah Desa Betet Kecamatan Kasiman. Beliau hidup pada periode antara 1750 – 1850 M.
Sebelum mendirikan Pesantren Betet, Syekh Syihabuddin melanglang buana dalam pencarian ilmu. Beliau belajar dari sang ayah, yakni Syekh Istad Bancar. Selain itu, Manuskrip Padangan menyebut jika beliau pernah belajar ke Tanah Hijaz pada para ulama Makkah pada zamannya. Itu alasan namanya tertulis sebagai Wan Haji Syihabuddin (Kiyahi Hajj Syihabuddin).
Nama Wan Haji Syihabuddin cukup banyak disebut dalam Manuskrip Padangan. Syekh Abdurrohman Klotok, dalam berbagai catatan, banyak menulis sosok Syekh Syihabuddin. Selain terhitung masih saudara, Syekh Syihabuddin adalah adik ipar Syekh Abdurrohman Klotok.

Meski lebih tua secara usia, Syekh Syihabuddin terhitung sebagai adik dari Syekh Abdurrohman Klotok. Sebab, Syekh Syihabuddin menikah dengan adik kandung dari Syekh Abdurrohman Klotok yang bernama Nyai Syibti Betet.
Serupa Syekh Abdurrohman Klotok, nasab Syekh Syihabuddin juga bersambung pada Syekh Jumadil Kubro. Urutannya: Syihabuddin bin Istad bin Juraij bin Anam bin Abdul Jabbar bin Abdullah Slarung bin Abdul Halim Tsani bin Abdul Halim Awal bin Abdurrohman bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Ishak bin Muhammad Kebungsuwan bin Syekh Jumadil Kubro.
Diasuh di Pesantren Klotok
Dari pernikahannya bersama Nyai Syibti Betet, Syekh Syihabuddin dikaruniai tujuh keturunan. Manuskrip Padangan menyebutnya sebagai berikut: Kaji Abdul Latif, Nyai Wajiroh Betet, Kaji Abdullah Padangan, Kaji Murtadho Kuncen, Kaji Tohir Betet, Nyai Jono Mayangkerek, dan Kaji Syahid Kembangan.
Ketujuh putra-putri Syekh Syihabuddin itu, dikenal sebagai para Hamilul Quran yang dibimbing dan di-tarbiyah langsung di Pesantren Klotok oleh sang paman, yakni Syekh Abdurrohman Klotok. Pada awal abad 19 M, Pesantren Klotok jadi pusat peradaban islam di wilayah Padangan.

Syekh Abdurrohman Klotok bersama sang istri, Nyai Bayyinah, memang tak dikaruniai keturunan. Beliau mengasuh tujuh keponakannya (anak dari adik kandungnya) itu, di pesantren yang beliau asuh, yakni Pesantren Klotok.
Tujuh ponakan itulah, yang kelak melahirkan para ulama penyebar islam yang nama-namanya disebutkan di atas. Para ulama penyebar islam di wilayah Nganjuk, Bojonegoro, Tuban, dan Gresik pada Abad 19 dan 20 M.