Tidak ada keunikan apapun dalam novela ini, kecuali sebuah keterbalikan. Jika seharusnya buruh dibuat bingung si majikan, di cerita ini suasana dibalik, majikan dibuat bingung oleh si buruh bernama Bartleby.
Nasib dan takdir seorang buruh, sejak dulu hingga sekarang seolah tidak pernah berubah. Itu kesan pertama saat membaca novela berjudul Bartleby the Scrivener atau dalam edisi Indonesia, Bartleby Si Juru Tulis (cerita dari Wall Street) karya Herman Melville.
Sebuah cerita pendek yang cukup panjang atau sebuah novel yang terlampau pendek dengan tebal 78 halaman itu, memang menampar keras para pemilik modal menggunakan tangan seorang buruh kolot bernama Bartleby.
Berseting tempat di kiblat ekonomi kapitalis dunia, Wall Street, Herman Melville mampu membangun sebuah cerita sangat sederhana, namun sejak paragraf pertama sudah menyenggol urusan pemodal dan buruh.
Sebuah kisah antar bos dan anak buah. Antar majikan yang berprofesi sebagai pengacara—yang mengurus berbagai macam urusan orang kaya: surat utang, hipotek hingga surat kepemilikan— juga seorang Asisten di Pengadilan Tinggi Ekuitas dan para anak buahnya.
Si majikan, dengan nama tidak disebutkan yang juga menjadi narator dalam cerita ini, memang menjadi pusat kisah yang menceritakan kehidupan empat buruhnya. Satu di antara buruh tersebut adalah tokoh utama dalam cerita ini, Bartleby.
Yang membedakan novela ini dengan cerita fiksi berbasis buruh lainnya adalah: jika umumnya kisah fiksi berbasis hubungan buruh-pemodal selalu dari sudut pandang buruh dengan bermacam kesedihannya, ini dibalik.
Sudut pandang justru dari majikannya. Tapi tetap mempertahankan melankolia ketersiksaan hidup —justru dari—si majikan. Dalam kisah itu, si buruh mampu menyiksa si majikan dengan cara yang amat unik dan penuh getir kelucuan.
Cerita dalam buku ini bernuansa sempit. Hanya berkutat pada seorang narator (majikan tanpa nama) dan 4 buruhnya. Yakni; Catut, Kalkun, Biskuit Jahe dan Bartleby.
Dilihat dari nama tokohnya saja, menggambarkan keisengan Melville yang luar biasa. Benar sekali. Kecuali Bartleby, 3 buruh lain hanya bergerak sebagai selingan, mereka hanya pelengkap.
Cerita berpusat pada si majikan dan si buruh bernama Bartleby. Inti dari cerita ini: bagaimana si buruh mampu memperburuh si majikan dengan karakter pendiam, pembangkang dan misteriusnya yang kerap meneror sisi psikologis si majikan.
Menurut saya, tidak ada keunikan apapun dalam cerita ini, kecuali sebuah keterbalikan. Jika seharusnya buruh dibuat bingung si majikan, di cerita ini suasana dibalik, majikan dibuat bingung oleh si buruh.
Si majikan yang tanpa nama itu sesungguhnya tergolong majikan baik. Yang tidak punya kekejian untuk mengusir dan memecat Bartleby hanya karena dia kasihan.
Coba bayangkan, memiliki anak buah yang pembangkang dan tidak mau bekerja, tapi si majikan tidak memecatnya dan membiarkannya tetap tinggal di kantornya hanya karena si majikan kasihan.
Tentu ini sangat berlawanan dengan sikap kapitalisme secara umum. Bagi saya, di situlah sebenarnya letak tamparan Melville pada konsep kapitalistik. Melville sengaja membikin karakter si majikan tampak baik dan welas asih pada si Bartleby.
Tentu saja itu tidak umum. Majikan yang baik dihajar oleh buruh menyedihkan yang pembangkang.
Tapi, jika ditilik dari hubungan antara majikan dan buruh secara umum. Atau jika dikorelasikan cerita ini dengan isu-isu perburuhan, sangat menyenangkan.
Di cerita ini, buruh dan majikan hanyalah ilusi. Si buruh adalah si majikan dan si majikan adalah si buruh itu sendiri. Saya membenarkan jika banyak orang mengatakan cerita ini adalah tamparan bagi sistem ekonomi kapitalis. Seting tempat— yang berada di Wall Street— saja sudah menggambarkan itu.
Apa yang dilakukan Herman Melville terhadap kapitalisme dalam novela ini, mirip banget dengan apa yang dilakukan Cervantes terhadap Don Quixote dalam novel monumental tersebut.
Jujur saja, secara konstruksi cerita, novela setebal 78 halaman tersebut, sejak halaman pertama sampai halaman 76 sangat membosankan. Tidak ada kejutan apapun. Tidak ada plot yang membuat berdecak kagum.
Hanya dua halaman terakhir yang membuat saya merasa tidak kecewa membaca novela ini. Itupun karena tinggal dua halaman, masak ya nggak di selesaikan? Lha wong dari paragraf pertama hingga menjelang berakhir, cerita hanya berkutat tentang kesabaran majikan melawan buruh yang membangkang.
Saya juga menemui banyak plot yang bocor seperti apa yang dilakukan Bartleby saat diam di ruang kantornya, apa yang dia tulis, dan kenapa Bartleby melakukan “kekejaman pembangkangan” itu pada Si Majikan yang notabene sangat baik hati itu.
Di cerita tersebut, latar belakang itu semua hilang dan menguap. Belum lagi, proses menghilangnya tiga tokoh pelengkap lain yang menurut saya sangat mendadak. Ini menjadi kekurangan yang saya temukan dalam novela tersebut.
Nah, si Bartleby ini sekretaris yang pembangkang. Dia selalu menolak saat si majikan menyuruhnya bekerja. Hanya, model penolakannya sangat unik. Yakni perlawanan pasif: diam dan tidak merespon.
Sama plek seperti cara Samin Surosentiko saat menolak membayar pajak ke penjajah. Dari halaman ke halaman, cerita hanya sebatas itu saja. Itu yang hampir membuat saya merasa bosan. Cuma, novela ini tetap saja menarik karena punya sudut pandang yang berbeda dengan novela dengan tema yang sama.
Buku ini diterbitkan pertamakali pada 1856. Tahun dimana demonstrasi buruh terjadi di Australia. Demonstrasi legendaris yang dilakukan buruh Australia demi meminta pengurangan jam kerja dari 12 jam perhari menjadi 8 jam.
Sebuah demonstrasi yang menginspirasi demonstrasi buruh lebih besar lagi di Amerika pada 1 Mei 1886. Yang mana, tanggal itu kita kenal dengan Hari Buruh Internasional.