Angin segar berhembus ke kampus perguruan tinggi. Itu karena adanya wacana kebijakan baru di bidang pendidikan. Ini masih berupa rencana lho, Nabs.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim berencana membuat Kampus Merdeka. Kebijakan yang memberikan mahasiswa kesempatan untuk lebih berkembang. Tentunya ini sangat menarik.
Kampus Merdeka memberi peluang bagi mahasiswa belajar lebih. Mahasiswa dibebaskan melakukan penelitian langsung. Tidak terbatas dengan disiplin ilmu yang dipelajari. Nantinya, kebijakan ini bersifat fleksibel.
“Perguruan tinggi harus memberikan hak kepada mashasiwa tiga semester dari total delapan semester agar bisa mengambil kelas di luar prodi. Tapi ini bukan pemaksaan,” kata Nadiem, Jumat (24/1) dikutip dari Katadata.
Yang cukup menarik adalah kesempatan magang selama tiga semester. Cukup lama untuk dikatakan sebagai mahasiswa magang. Biasanya, magang berlangsung selama tiga bulan. Paling lama enam bulan.
Meski begitu, tiga semester tidak sepenuhnya magang. Tepatnya, ada kesempatan memilih mata kuliah lintas prodi. Ini membuka peluang mahasiswa mempersiapkan kariernya.
“Tiga semester itu untuk mengambil mata kuliah di luar prodi bisa membantu mahasiswa persiapkan karier. Ini kebijakan fleksibel,” ujar mantan bos ojek online tersebut.
Kebijakan ini berangkat dari dunia kerja saat ini. Banyak lulusan yang bekerja di luar disiplin ilmu mereka. Ilmu yang dipelajari di kampus tidak linier dengan karier.
Nadiem merasa lulusan yang paham lintas ilmu yang sedang dibutuhkan dunia kerja. Karena itu, perusahaan akan berlomba membuka kesempatan magang bagi mahasiswa.
Pengalaman Magang saat Kuliah
Memang, ini sama seperti yang saya alami. Dunia ini cukup kejam, memaksa hidup tanpa menyajikan banyak pilihan. Dunia kerja tak bisa diharapkan. Eh, maksudnya tidak sesuai harapan.
Pengalaman magang selama tiga bulan sudah cukup bagi saya. Cukup untuk memahami tidak semua ilmu digunakan. Akan sangat berbeda jika belajar di jurusan teknik atau sains.
Magang tiga bulan sudah cukup untuk menyambut kontrak kerja. Kalau tidak sesuai harapan, bisa berpaling. Bagaimana jika mahasiswa magang selama 2 atau 3 semester?
Benar saja jika banyak perusahaan yang akan menyambut kebijakan ini. Dengan alasan memberi kesempatan belajar, gaji yang akan diberikan pun bisa ditoleransi perusahaan.
Saya khawatir ini akan dimanfaatkan. Buruh saja masih belum mendapat jaminan hidup layak. Apalagi mahasiswa magang.
Mahasiswa tetap butuh ruang belajar dan berdiskusi. Meski di samping itu perlu biaya juga. Kalau harus magang 3 semester, ya baiknya bekerja sekalian. Ngapain magang?
Pikiran dan tenaga bisa dimaksimalkan untuk berkarier. Penghasilan untuk kebutuhan hidup bisa terpenuhi. Belajar bisa memanfaatkan waktu luang. Pasalnya, pekerjaan memiliki bebanbtanggung jawab sendiri.
Lah kalau mahasiswa? belajar dan belajar. Baik di dalam atau di luar kampus. Atau melakukan projek dengan masyarakat.
Mahasiswa harusnya sadar akan waktu mereka. Banyak waktu yang bisa dimanfaatkan. Misalnya membentuk jaringan, berorganisasi atau pengabdian masyarakat.
Jelas berbeda dengan masa sekolah. Fullday School menyita waktu untuk berkembang. Belajar dan terus belajar untuk mendapat nilai terbaik. Bukan untuk menghadapi dunia pekerjaan. Inilah beda mahasiswa dan murid sekolah.
Kesempatan belajar itu sangat bagus. Perlu diapresiasi. Namun, butuh ketajaman untuk membentuk kebijakan.
Pasalnya, perguruan tinggi memiliki karakteristik masing-masing. Universitas, Institut, Politeknik jelas berbeda. Bahkan, tiap jurusan di universitas pun berbeda.
Mirip seperti gaya anekdot lama, “Saya kuliah untuk bekerja. Kalau saya sudah bekerja, nagapain kuliah?”
Menjadi mahasiswa bertanggung jawab untuk belajar. Meski bekerja memiliki porsi dalam proses pembelajaran. Namun, keduanya tidak bisa dilebur. Karena perguruan tinggi tidak hanya menciptakan pekerja, tetapi juga pemikir dan konseptor.