Makhluk benda mati saja mampu bertumbuh, mengapa manusia kadang sulit berlapang dada? menerima semua apa yang ditakdirkan-Nya.
Minggu pagi. Waktunya orang-orang memulai aktifitasnya. Tidak seperti biasa, yang biasanya bekerja, Minggu pagi waktunya merefresh pikiran, dan tubuh. Jam 06.30 orang-orang terutama lansia dari tetangga sekitar sudah bersiap-siap untuk senam pagi.
Pun juga Ibuku, sudah siap memakai sepatu dan tidak lupa memakai masker. Anjuran dari tutor senam yang diumumkan lewat WhatsApp Grup tadi malam. Semua bersiap dan berangkat. Jalan kaki.
Sedangkan aku tidak mengikuti senam. Karena memang hanya dikhususkan untuk lansia. Empat puluh tahun ke atas. Sebagai ikhtiar agar tubuh sehat dan tidak gampang sakit. Meningkatkan daya tahan tubuh.
Senam merupakan salah satu olahraga yang dapat membuat tubuh makin bugar. Kendati demikian, aku lantas tidak berdiam diri. Menyapu halaman rumah dan membersihkan sampah. Lalu membakarnya.
Aku jadi teringat tempo dulu. Menyapu halaman rumah kala itu menggunakan sapu lidi. Yang pendek. Tingginya tidak melebihi lutut orang yang memegangnya. Orang sini bilang sapu kerik. Tapi sekarang, zaman sudah modern.
Inovasi terus dilakukan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Sapu lidi menjadi lebih tinggi. Sekarang, menyapu bisa sambil berdiri. Tidak perlu membungkuk lagi. Yang terkadang bisa mengakibatkan encok para lansia kambuh.
Bergeser pada sapu lidi. Aku ke belakang rumah. Melanjutkan menyapu lagi. Banyak daun-daun kering. Yang berasal dari pohon srikaya. Sedikit demi sedikit. Daun-daun kering terkumpul. Menggunung dan kubakar seketika.
Habis menjadi abu. Kalau kata sastrawan Sapardi, ibarat mencintai seseorang dengan sederhana. Seperti kayu kepada api. Yang menjadikannya abu. Aku hafal betul lirik puisinya. Indah dan menggetarkan jiwa.
Pandanganku beralih pada pohon teh hijau. Yang kutanam saat aku duduk di bangku SMA. Sudah berapa tahun lamanya. Seminggu yang lalu, aku menggergaji pohon tersebut. Sampai habis. Pohonnya lumayan besar.
Memiliki diameter sekitar 15 cm. Menjulang tinggi seperti mimpi seseorang. Dan ku gergaji sampai pangkal. Karena terkadang banyak ulat dan kurang enak dipandang.
Akhirnya sekarang belakang rumah menjadi bersih. Disambung dengan ladang tetangga. Jagung yang sudah panen, ladangpun bersih. Tanah yang retak menjadi tanda, bahwa ini sudah masuk musim kemarau.
Bekas pangkal pohon teh hijau, kini mulai tumbuh lagi. Daun-daun kecil menyumbang oksigen bagi sekitar. Aku teringat akan berbuat baik. Ibarat pohon teh hijau yang kutebang, ia akan tumbuh dan tumbuh lagi. Meski sempat merasakan sakit, ia terus berbuat baik.
Memberikan oksigen bagi lingkungan. Yang nantinya dihirup oleh manusia. Demi mempertahankan hidup. Begitupun kebaikan. Hendaknya semua tidak lelah berbuat baik. Meski kadang kebaikan tidak dihargai. Bahkan dicaci maki.
Terus berbuat baik. Kehidupan mengajari kita banyak hal. Makhluk benda mati saja mampu bertumbuh, mengapa manusia kadang sulit berlapang dada? menerima semua apa yang ditakdirkan-Nya.
Bubulan, 05 Juli 2020