Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Fiksi Akhir Pekan

Surat Pertama Untuk Aisyah

Muhammad Sidkin Ali by Muhammad Sidkin Ali
July 5, 2020
in Fiksi Akhir Pekan
Surat Pertama Untuk Aisyah
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Pedal sepeda ia kayuh. Aisyah tak lagi melihat Ali di gubuk itu. Apa Ali sudah pulang? Ia bingung, kenapa dirinya begitu peduli dengan Ali?

Sesampainya di rumah, ia mencuci tangan dan kakinya. Ini kebiasaan baik yang ia lakukan sekeluarga sejak dahulu. Meskipun rumahnya hanya berlantai tanah dan berdinding bambu, kebiasaan ini tak pernah lupa untuk dilakukan.

Ia menuju sudut teras. Sebuah gentong kecil terletak di atas batu. Gentong itu berisi air dengan tutup atas dari karet dan ada lubang kecil di bagian bawah untuk keluarnya air. Ia membuka tutup yang terbuat dari bagian kecil sandal tak terpakai. Membasuh tangan dan kaki, mencucinya dengan sabun dan membilasnya. Lantas ia mengambil wudu.

Menjaga diri dengan wudu. Inilah kebiasaan baik lain yang diajarkan bapaknya. Suatu saat bapaknya pernah bercerita bahwa amalan ini sederhana dan ringan, tetapi hanya sedikit orang mampu menjalankannya.

Salah satu ativitas yang dilakukukan Jendral Sudirman yang tidak banyak diketahui orang adalah beliau segera mengambil wudu ketika batal. Di rumahnya atau di tempat-tempat peristirahatan ketika perang, beliau mewariskan satu hal, padasan. Ia ingat persis pesan bapaknya.

Aisyah terus berusaha meneladani sikap baik dari tiap tokoh. Baginya, sejarah bukan hanya sebuah cerita masa lalu, melainkan sejarah ialah cerita penuh hikmah untuk menentukan hidup di hari esok kelak.

Ia menengadahkan tangan, berdoa selesai wudu dan bersiap masuk rumah. Saat hendak memegang gagang pintu, ia melihat ada amplop coklat besar terselip antara celah lantai dan pintu.

Tertulis di bagian pojok amplop, “Teruntuk Aisyah al Ummi, rumah paling ujung desa”

Amplop itu ditujukan untuk dirinya. Itu benar nama dan alamat rumhnya. Di desa ini, hanya ada satu nama Aisyah al Ummi. Dan tentu saja, rumah paing ujung di desa ini ialah rumahnya. Tidak salah lagi. Tapi, siapa yang mengirim amplop ini?

Ia melihat lagi amplop itu. Tidak ada cap pos atau tada jasa pengantar barang tertulis di sana. Yang ada hanyalah tulisan tangan dengan nama dan alamat yang ditunjukkannya. Ini aneh, pikirnya. Siapa pula pagi-pagi sudah mengirim sesuatu untuknya? Ini pertama kali baginya. Tentu ia kebingungan.

Setelah beberapa saat terdiam di depan pintu, ia masuk ke dalam rumah. Amplop besar itu ia letakkan di meja tamu dan ia berjalan menuju dapur untuk membersihkan rantang makanan untuk sarapan bapaknya tadi.

Ia menuju tempat cuci piring dan membersihkan rantang. Kembali ia mengingat amplop coklat tadi. Ia terus berfikir, siapa yang mengirimkannya?

Rantang diletakkan kembali ke rak piring. Ia telah selesai mencucinya. Ia menuju kamar mandi, berwudu kembali dan masuk kamar untuk salat dhuha.

Selepas bermunajat, ia duduk di kursi tamu dan meraih amplop coklat. Ia perhatikan tulisan tangan itu. Sepertinya ia pernah melihat bentuk tulisan itu, tapi dimana?

Dengan hati-hati, ia membuka amplop itu. Berharap bukan kejutan yang menakutkannya, ia melihat secarik kertas putih ada di dalamnya. Dikeluarkan lembar itu. Sebuah surat tertuju padanya.

“Selamat Pagi, Aisyah al Ummi.
Aku pastikan kamu terkejut ketika membaca ini. Dan kalau boleh aku tebak, kamu membacanya di ruang tamu pukul delapan lebih sedikit selepas mengantar sarapan buat bapak..

Aisyah berhenti membaca, ia melihat jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul delapan lebih tiga belas menit. Ia mengernyitkan dahi. Bagaimana penulis ini bisa tepat tebakannya? Dan bagaimana dia bisa tahu ia baru saja pulang dari sawah mengantar sarapan bapaknya?

Pikirannya berputar-putar. Ia menduga penulis surat ini, entah laki-laki atau perempuan, masih muda atau sudah dewasa, penulis tahu Ais dari sawah. Dugaan awal, dia adalah orang yang dekat dengan ligkungannya. Tapi siapa?

Ia simpan dugaan-dugaan itu. Lalu membaca surat itu kembali.

Tenang. kamu tidak perlu terlalu memikirkan itu. Jika tebakanku benar, itu hanya kebetulan. Tapi ada yang tidak kebetulan di dunia ini? Kau ingin tahu?

Pertemuanku denganmu. Ini pertemuan pertamaku denganmu. Dan menjadi pertama pula pertemuanmu denganku. Tatap mata? Tentu bukan. Melalui surat, kita akan bertemu. Jangan bertanya siapa aku? Dari mana asalku? Bagaimana aku tahu namamu? Dan bagaimana aku tahu alamatmu? Berhenti menanyakan itu pada dirimu sendiri. Aku akan sering menemuimu melalui surat-suratku. Dan yang paling penting, jangan membalas suratku! Baiklah, karena ini pertemuan pertama izinkan aku bertanya padamu dua hal:

1. Mengapa Namamu Aisyah al Ummi? Dan.. 

2. Apa arti nama itu bagimu?

Cukup itu dulu ya. Terima kasih sudah membaca surat ini.

Tertanda,
Kawan Penamu.

Ia tersentak. Siapa kawan pena Ais? Seingatnya, tak pernah ia menulis atau mengirim surat untuk seseorang. Hanya saja dulu di bangku sekolah dasar, ia pernah diminta gurunya untuk menulis surat. Tapi itu sudah lama sekali dan itu hanya tugas pelajaran bahasa Indonesia. Ia tak pernah benar-benar menulis surat dan menunjukkannya ke seseorang. Mengapa juga ia menanyakan alasan namanya Aisyah al Ummi? Bukankah dia sendri sudah tau namanya.

Tangan Aisyah memangku dagu. Pikirannya berkecamuk. Dua pertanyaan di surat itu sukses membuatnya bingung.

Namaku memang Aisyah al Ummi dan kamu sudah tau, mengapa kamu bertanya? ia berbicara sendiri.
Arti nama? Sebentar. Mengapa dia begiu tertarik arti namanya? Ia pikir semua orang tahu apa arti namanya. Kalau orang tidak tahu berarti dia kurang serius saat belajar.

“Astaghfirullah..” Ia terhenyak. Sadar bahwa dia telah mencela dan menganggap orang lain lebih rendah pengetahuan darinya. Padahal sejatinya ia juga sama-sama manusia yang tidak mengetahui sesuatu.

Ia teringat perkataan orang tuanya. Suatu malam, pekan awal masuk sekolah menengah, ia menanyakan arti namanya kepada kedua orangtuanya. Pertanyaan itu tak lantas muncul dari dirinya sendiri. Melainkan ia bingung ketika hari pertama sekolah dan memperkenalkan diri di hadapan teman-teman barunya.

“Apa arti nama Aisyah al Ummi?” tanya teman barunya di kelas. Saat itu, ia menggelengkan kepala dan menjawab tidak tahu. Seisi kelas mendadak ramai, tertawa semua. Ia menundukkan kepala dan menyudahi perkenalannya di depan.

Itulah alasan mengapa ia menanyakan arti namanya ketika di rumah. Saat makan malam bersama, kakaknya-yang saat itu masih hidup-nyeletuk,

“Wah bahaya ini kalau Ais tidak tahu arti namanya. Bisa tersesat nanti..” Tawanya lebar.

Aisyah muram. Ia ingin marah kepada kakaknya tetapi ibu menenangkannya.

“Sudah jangan dibalas perkataan kakakmu. Dia hanya bercanda”, Ibu mengelus lembut kepalanya.

“Kamu ingin tahu mengapa kami memberimu nama Aisyah al Ummi, Ais?” Bapak bertanya padanya.

Ais menengok ke arah bapaknya dan mengangguk kecil.

“Habiskan dulu makan malammu. Nanti bapak akan cerita” Kata Bapak.

“Apa tidak bisa sekarang pak?”

“Selesaikan dulu makanmu. Nanti bapak cerita kok” Ibunya menjawab.

“Habiskan, Ais. Kalau tidak mau, sini kakak yang ngehabisin lauknya. Lauknya aja bukan nasinya” kakaknya menimpali.

Aisyah menarik piringnya dan meneruskan makan. Ia tidak mau lauknya diambil kakaknya. Ini lauk kesukaan Aisyah, tempe kering dengan kecap.

Setelah selesai makan, bapaknya bercerita.

“Ais.. Salah satu kewajiban orang tua terhadap anak ialah memberikan nama yang baik ketika ia lahir. Begitu juga terhadapmu. Hal itu berkaitan dengan adab. Di antara nama-nama yang baik ialah nama yang menghamba kepada Allah. Setelah itu nama yang disandarkan kepada nabi dan rasul, lalu nama hamba Allah yang saleh seperti para sahabat dan nama-nama yang memiliki arti baik, bagus dan benar.

Dulu, bapak dan ibumu mendiskusikan panjang. Nama apa yang baik untukmu Ais. Kita adu argumen untuk memutuskan namamu. Akhirnya kami berdua sepakat memberimu nama Aisyah al Ummi. Apa Ais tahu artinya?” Bapaknya bertanya pada Aisyah.

“Aisyah tidak tahu pak” jawabnya.

“Nama itu disandarkan pada istri Rasulullah, Aisyah binti Abu Bakar. Ketika bapak ngaji dahulu, arti Aisyah itu kehidupan. Juga bapak-ibumu ini berharap kamu tumbuh dewasa dengan meneladani Aisyah. Beliau orang yang cerdas, ilmunya tinggi tetapi tetap rendah hati, bagus akhlaknya, lembut hatinya dan penuh cinta” lanjut bapaknya.

Aisyah masih ingat penjelasan itu. Bahkan ia ingat betul ibunya berkata, “Dan pipimu yang kemerah-merahan saat lahir membuat bapak dan ibu sepakat menamaimu Aisyah. Walau nama lengkapmu al Ummi bukan humaira. Karna ummi berarti ibu. Kelak kamu akan jadi ibu seperti ibu seluruh kaum mukmin, Aisyah r.a”.

Ia mengangguk-angguk melihat lembaran surat di depannya. Ingatannya bersama keluarga memutar. Ia ingin kembali ke masa lalu, memeluk ibunya dan merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu.

Air matanya menetes. Segera ia mengusapnya.

Sekarang ia mengerti mengapa penulis tanpa nama menanyakan hal itu padanya. Tapi, apakah penulis itu tahu ibunya sudah meninggal lima tahun lalu?

Baginya, penulis hanya mengantarkannya pada masa lalu.

“Lantas, apa kamu mendengar jawabanku tadi, kawan pena tanpa nama?” tanyanya pada secarik kertas di hadapannya.

Ia memasukkan surat itu ke amplop coklat dan menyimpannya di almari bajunya.

Sebelum menutup pintu almari, ia bergumam,

“Aku tunggu pertemuan kedua, kawan pena.”

Tags: Fiksi Akhir Pekan

BERITA MENARIK LAINNYA

Menerbangkan Kupu-kupu
Fiksi Akhir Pekan

Menerbangkan Kupu-kupu

April 10, 2021
Mengabadikan Kepergian di Kala Subuh
Fiksi Akhir Pekan

Mengabadikan Kepergian di Kala Subuh

March 21, 2021
Tragedi Gerbong Kereta dan Kamu yang Abadi Dalam Terjemahan
Fiksi Akhir Pekan

Tragedi Gerbong Kereta dan Kamu yang Abadi Dalam Terjemahan

March 20, 2021

REKOMENDASI

Syifa’ul Qolbi dan Pengenalan Sholawat Sejak Dini

Syifa’ul Qolbi dan Pengenalan Sholawat Sejak Dini

April 15, 2021
Hadrah Al-Isro’, dari Santri Ngaji hingga Perjuangan Syiar Sholawat (2)

Hadrah Al-Isro’, dari Santri Ngaji hingga Perjuangan Syiar Sholawat (2)

April 14, 2021
Asy-Syabab Nusantara dan Perkembangan Sholawat Kontemporer di Bojonegoro (1)

Asy-Syabab Nusantara dan Perkembangan Sholawat Kontemporer di Bojonegoro (1)

April 13, 2021
Larangan Mudik, Cara Pemerintah Menyelamatkan Para Jomblo

Larangan Mudik, Cara Pemerintah Menyelamatkan Para Jomblo

April 12, 2021
Bupati Bojonegoro Gelar Pasar Murah Menjelang Ramadhan, Semoga Tidak Jadi Pasal Kerumunan

Bupati Bojonegoro Gelar Pasar Murah Menjelang Ramadhan, Semoga Tidak Jadi Pasal Kerumunan

April 11, 2021
Salafushologi, Mutiara Pendidikan di Era Disrupsi

Salafushologi, Mutiara Pendidikan di Era Disrupsi

April 11, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved