Tembang Ilir-ilir merupakan ajaran tentang prinsip yang harus dipegang seorang pemimpin.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Manik Marganamahendra sempat menyerukan ‘Mosi Tidak Percaya’. Seruan itu terlontar saat dia bersama perwakilan mahasiswa berdialog dengan anggota Komisi III DPR RI. Tepatnya pada Senin (23/9/2019) di gedung DPR RI.
Seruan tersebut terjadi saat hari pertama serentetan aksi mahasiswa bertajuk ‘Reformasi Dikorupsi’. Aksi mahasiswa dilakukan atas penolakan terhadap berbagai macam Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dianggap tidak pro rakyat.
“Intinya, hari ini kami berikan mosi tidak percaya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Karena hari ini kami merasa kecewa,” kata Manik Marganamahendra.
Selama aksi pada 23 dan 24 September, terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oknum aparat. Hal ini menimbulkan gelombang aksi yang berlanjut dan semakin besar. Berawal dari Jakarta, aksi mahasiwa pun merembet hingga ke beberapa kota di Indonesia.
Melansir Tirto, Koordinator Pusat Aliansi BEM Seluruh Indonesia (SI) Muhammad Nurdiansyah menegaskan perlu adanya tindakan konkret Jokowi terhadap tuntutan mahasiswa. Menurutnya, ruang dialog publik dinilai terbatas selama Jokowi menjadi presiden.
“Hasilnya jelas, gerakan mahasiswa terpecah. Kami belajar dari proses ini dan tidak ingin menjadi alat permainan penguasa yang sedang krisis legitimasi publik, sehingga akhirnya melupakan substansi terkait beberapa tuntutan aksi yang diajukan,” kata Nurdiyansyah, Jumat (27/9/2019) dikutip dari Tirto.
Menurutnya, gelombang aksi mahasiswa di selurut Indonesia tidak perlu terjadi. Itu jika Jokowi mampu mendengar dan membuka diri ke masyarakat. Timbul rasa kecewa ketika mahasiswa menyuarakan aspirasi. Malahan, terdapat korban tindak kekerasan yang dilakukan aparat negara.
Seharusnya, pemerintah mampu terbuka dengan masyarakat. Seperti budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Pemerintah belajar dari budaya yang diwariskan nenek moyang. Salah satunya ajaran Sunan Kalijaga, yaitu tembang Ilir-Ilir.
Tembang Ilir-Ilir merupakan ajaran tentang prinsip yang harus dipegang seorang pemimpin. Pemimpin merupakan penjaga dan pengayom rakyatnya. Menurut buku Sunan Kalijaga: Mistik dan Makrifat karya Achmad Chodjim, penulis menjabarkan makna lirik tersebut.
“Cah angon, cah angon, peneken blimbing kuwi. Lunyu lunyu peneken kanggo mbasuh dodotira”
“Wahai gembala, penjatlah pohon belimbing itu. Meskipun licin, tetap panjatlah. Gunakan perasan buahnya untuk penyuci hama pada dodot Anda.”
Achmad Chojim memaknai bahwa Gembala yang dimaksud adalah penjaga rakyat. Mereka adalah gembala yang mengendalikan rakyat. Pemimpin yang harus mengayomi dan menjaga apa yang dia gembalakan.
Lalu, bagaimana dengan buah belimbing? Belimbing sering dikaitkan dengan rukun Islam. Namun, Achmad Chodjim berbeda. Dia menulis bahwa belimbing lekat dengan ajaran Pancasila Buddhis dalam sejarah bangsa Indonesia.
Ini merupakan ajaran moral bagi manusia. Namun, akan lebih berbobot jika diterapkan pada penyelenggara negara. Pasalnya, budaya timur kental dengan sifat patrialkal.
“Di dalam masyarakat patrialkal, penyelenggara negara merupakan panutan bagi semua rakyat. Karena itu, mereka diseru oleh Sunan dengan Gembala yang berdodot,” tulis Achmad Chodjim pada bab 8: Syariat dan belimbing (hal 213).
Belimbing merupakan simbol Pancasila Buddhis yang dipakai Sunan Kalijaga berdakwah. Pasalnya, ajaran Islam juga terkandung di dalamnya.
Belimbing adalah simbol dari lima ajaran moral yaitu menghindari perbuatan membunuh, mabuk-mabukan, asusila, mencuri dan menipu.
Kelima hal tersebut tentu susah dicapai. Pasalnya, aka nada banyak godaan di dunia. Namun, sebagai seorang pemimpin, hal tersebut harus terwujuda dalam perilakunya. Mereka sebagai panutan rakyat harus memberikan contoh.
Pada kasus ini, pemerintah harus menghindari perbuatan mencuri dan menipu. Maksudnya, korupsi dan mengibuli rakyat dengan pemberitaan hoax.
Pemerintah harus jujur dan terbuka terhadap masyarakat. Dengan begitu, pemerintah mampu membersihkan dodot/simbol jabatannya. Sehingga masyarakat akan kembali percaya.
Jika kelima hal tesebut diwujudkan pemimpin negara dalam perilakunya, maka kepercayaan masyarakat akan kembali. Masyarakat akan merasa aman dan terayomi. Dengan begitu, seruan ‘Mosi Tidak Percaya’ tidak perlu terulang kembali.








