One Piece memang serial anime populer. Namun, tak banyak yang tahu jika One Piece merupakan metode mengenalkan budaya dan sejarah melalui media kontemporer.
Serial manga One Piece, sejak akhir 2018 hingga saat ini, tengah memasuki arc Wano Kuni. Sebuah arc yang menceritakan petualangan Luffy dan kawan-kawan di negeri Wano Kuni.
Petualangan ini menjadi lanjutan dari misi pencarian harta karun One Piece milik Gol D. Roger oleh kru bajak laut Topi Jerami.
Negeri Wano Kuni merupakan negeri yang terletak di Dunia Baru. Sebuah negeri yang tertutup dan tidak terhubung Pemerintah Dunia. Eiichiro Oda, sang mangaka, menggambarkan negeri Wano Kuni sebagai sebuah negeri yang mirip dengan negeri Jepang pada era feodal.
Di negeri Wano Kuni, latar yang dihadirkan Oda sangat bernuansa Jepang pada zaman edo. Negeri tertutup untuk orang luar. Hanya orang-orang yang memiliki akses tertentu yang boleh masuk negeri ini.
Karena itu, Luffy dan nakamanya (kru) yang tengah menyusup harus menyamar mengenakan pakaian tradisional Wano untuk berbaur. Bahkan nama panggilan mereka pun harus diubah menjadi Luffy-taro, Zoro-juro, Sangoro, dan O-Nami.
Nabs, nama-nama tersebut adalah nama tradisional Jepang yang disadur dalam arc negeri Wano Kuni.
Kata Wano Kuni sendiri merujuk pada istilah Wa No Kuni (和 の 国). Secara harfiah, istilah ini berarti Negeri Harmoni. Istilah ini biasa digunakan bangsa Jepang untuk menyebut negeri mereka. Kalau di Indonesia, mungkin sama seperti kata Nusantara.
Selain plot cerita, yang menarik dari arc negeri Wano Kuni adalah unsur sejarah dan kebudayaan. Di arc ini, kita dapat belajar dan mengenal budaya tradisional Jepang melalui kacamata sang mangaka. Melaui karakter-karakter populis sekelas Luffy dan nakamanya.
Salah satu contoh adalah adegan saat kru bajak laut Topi Jerami tengah berlayar di perairan sekitar Wano. Dalam satu panel komik, Oda menggambarkan Thousand Sunny, kapal Luffy, yang tengah berlayar melintasi badai ombak.
Gambar ini sangat mirip dengan sebuah lukisan berjudul Kanagawa-oki nami ura yang berarti “Di Bawah Sebuah Ombak di Kanagawa”. Sebuah lukisan bersejarah karya Katsushika Hokusai. Lukisan ini dibuat antara tahun 1829-1932.
One Piece sendiri merupakan serial manga/anime Jepang yang telah berlangsung sejak 22 Juli 1997. Hingga sekarang, serial manga karya Eiichiro Oda ini telah mencapai 930 chapter (91 Volume untuk komik fisik). Sedang untuk versi anime tengah memasuki episode ke 869.
Serial One Piece tentu bukan karya pertama yang mengemas sejarah dan budaya tradisional Jepang melalui seni yang lebih populis. Sebelum itu telah banyak bertebaran karya kontemporer semacam ini. Medianya bisa bermacam-macam. Bisa dalam bentuk manga, game, film, atau musik.
One Piece, sejatinya merupakan metode mengenalkan budaya dan sejarah melalui media kontemporer. Itu membuktikan bahwa sejarah dan budaya tradisional tetap bisa dikonsumsi generasi masa kini. Asal dikemas secara lebih modern.
Di Indonesia sendiri telah banyak upaya mempopulerkan sejarah dan budaya tradisional. Karya-karya populer seperti Ksatria Bima-X dan The Battle of Surabaya adalah contohnya. Namun karya-karya ini kurang berkembang entah apa sebabnya.
Nabs, Bojonegoro punya banyak sejarah, seni dan budaya lokal, lho. Tentu sejarah dan budaya tersebut sangat berpotensi untuk dapat dipopulerkan. Kesenian sandur, tari thengul, fabel gogor, hingga folklore angling dharma, akan sangat menarik jika dikemas secara modern.
Untuk itu, kita harus banyak belajar dari orang-orang Jepang. Tanpa rasa cinta yang mendalam terhadap sejarah dan budaya lokal, Oda tak akan sanggup membuat karya sarat nilai sejarah dan budaya seperti One Piece. Mari lestarikan sejarah dan budaya lokal.