Kita memang membutuhkan jarak. Biar ruang tak lagi sesak. Biar rindu dan cinta bisa bergerak.
Social Distancing yang terus digembar-gemborkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun khalayak netizen akhir-akhir ini, memang harus diperhatikan sekaligus direnungi.
Berjarak dan melakukan swa-isolasi, sepertinya bukan hanya urusan manut sama pemerintah. Bukan sekadar taat pada Ulil Amri — kewajiban yang banyak terkutip dalam hadis — tapi lebih pada proses pengembangan diri.
Selain tentu saja karena kondisi yang mendesak.
Jubir pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan: hingga Selasa (24/3/2020), total ada 686 kasus Covid-19 di seluruh Indonesia. Di mana 30 pasien sembuh dan 55 pasien meninggal dunia.
Dari data tersebut, kita bisa lihat betapa jumlah pasien yang sembuh jauh lebih sedikit dibanding yang meninggal. Sehingga yang ditakutkan, kian banyak jumlah kasus, berbanding lurus dengan banyaknya jumlah pasien meninggal.
Karena itu, satu-satunya cara agar memutus rantai potensi bertambahnya jumlah kasus, adalah dengan melakukan swa-isolasi diri. Dan anjuran itu, bukan perkara mudah bagi orang yang suka berkumpul seperti masyarakat Indonesia.
Kenapa masyarakat sulit mematuhi anjuran untuk berada di rumah saja?
Pertanyaan ini, mungkin bisa dijawab dengan sejumlah aspek. Mulai dari aspek antropologis hingga aspek psikologis. Mulai alasan ideologis hingga latar belakang personal yang memang kolot dan suka eksis.
Tentu saya tak akan menjelaskan semua aspek itu dalam satu tulisan ini. Ada banyak ahli yang bisa menjelaskan secara lebih rinci. Saya cuma ingin menyinggung dari aspek yang lebih kecil tapi terlihat mata saja.
Pasca reformasi 1998, ada semacam konvensi kolektif di dalam sanubari oknum tertentu, bahwa manut pemerintah itu tidak seksi. Karena itu, apapun urusannya, tidak manut dan melawan adalah tindakan yang seksi nan eksotis.
Sehingga, saat pemerintah menganjurkan masyarakat duduk santai di rumah, banyak yang seolah melawan ajakan tersebut. Sebab, melawan mengandung unsur seksi berupa perlawanan terhadap oligarki.
Saya membayangkan, andai pemerintah menganjurkan masyarakat untuk tetap bekerja seperti biasa. Pasti banyak yang memilih berdiam di rumah. Sebab, tindakan itu mengandung unsur seksi berupa perlawanan terhadap oligarki.
Yah, meski tidak semua memiliki kecenderungan semacam itu. Tapi ada. Masuknya fenomena post-truth yang diromantisir secara politis juga membuat penanganan Covid-19 semakin riuh.
Fenomena tersebut benar-benar terlihat di depan mata. Ya, apalagi kalau bukan organisme sisa remukan pilpres 2014 dan 2019 yang selalu mempolitisir dan meng-agama-tisir setiap keadaan.
Apapun yang dilakukan dan dianjurkan pemerintah, bagi mereka selalu salah dan selalu bisa dicari celah untuk dilawan dan dikritisi dan dibelokkan ke urusan berorientasi agama — meski jika didebat secara serius, pasti tak berani.
Sehingga, saat ada anjuran di rumah saja, dengan semangat perlawanan, mereka menganjurkan sesuatu yang berbeda. Sialnya, organisme semacam itu juga punya pendengar dan pengikut yang jumlahnya tak sedikit.
Perkara buruk benar-benar terjadi ketika organisme sisa remukan pilpres yang selalu membangun narasi berlawanan dengan pemerintah, ditanggapi dan dilawan oleh para buzzeRp pendukung pemerintah.
Apapun tema dan apapun kejadiannya, dua kubu yang sama-sama cari panggung itu selalu saling lempar peluru. Yang pada akhirnya, masyarakat awam seperti kita ini selalu kecipratan debu dan selongsong peluru berupa kecemasan psikologis.
Karena itu, demi menyelamatkan banyak nyawa di tengah wabah Covid-19 ini, wahai organisme remukan pilpres dan para buzzeRp yang maha ramai, beristirahatlah. Beri kesempatan masyarakat melihat keadaan secara realistis, alih-alih distopis maupun utopis.
** **
Terlepas dari kepentingan organisme remukan pilpres ataupun buzzeRp ataupun mereka yang lagi semangat-semangatnya melakukan perlawanan, kita memang harus berjarak. Melakukan swa-isolasi diri.
Selain memutus mata rantai potensi persebaran Covid-19, berjarak dan melakukan swa-isolasi diri juga penting sebagai momen pengembangan diri. Momen bercermin dan melakukan introspeksi diri.
Jarak dibutuhkan untuk membaca segala sesuatu. Sekaligus melakukan introspeksi diri. Ilustrasi sederhananya seperti ini:
Tempelkan matamu di layar ponsel, apakah kau bisa membaca tulisan di dalamnya? Tentu tidak. Coba tempelkan wajahmu pada cermin, apakah kau bisa melihat wujud wajahmu? Tentu tidak. Sebab ia tak punya jarak.
Berjarak kita teguh, berkerumun kita runtuh. Kalimat itu memang benar-benar sesuai dengan kondisi saat ini. Kondisi di mana semua orang sedang melawan penyebaran Covid-19.
Selama ini, yang kita pahami: bersatu teguh, berpisah runtuh. Ini momen pertama dalam sejarah dunia bahwa kalimat itu harus di-dekonstruksi secara masif. Covid-19 membuat kita sadar: bersatu dan berkerumun tak selamanya lebih kuat dibanding yang soliter.
Satu hal yang wajib dipahami bersama, berjarak bukan berarti memutus tali kemanusiaan. Berjarak justru menyambung dan mempertahankan keberlanjutan tali kemanusiaan.
Sebab diakui atau tidak, kita memang membutuhkan jarak. Biar ruang tak lagi sesak. Biar rindu dan cinta dan rasa kemanusiaan bisa bergerak.