Saya sangat terkejut sekaligus bersyukur. Candra Malik meminta saya meminum kopi dari gelas miliknya. Tentu saja, sebuah tawaran spiritual yang tak pernah kusangka-sangka.
Jumat (29/11) malam, saya mendapat tugas menemani seorang kawan ke Kota Solo. Kawan saya sedang ada agenda bertemu beberapa kawannya di sana. Lalu saya sekadar menemaninya.
Sabtu pagi, kami sudah berada di forum diskusi yang diselenggarakan di gedung Fakultas Kedokteran UNS Solo. Sebuah diskusi yang diikuti banyak peserta dari bermacam kota. Diskusi itu cukup lama dan membikin ngantuk. Tapi sangat menyenangkan.
Pasca diskusi bubar, kawan saya langsung keluar cepat-cepat. Sepertinya dia ingin segera merokok. Sementara saya masih di dalam untuk mengambil gambar sekaligus mengurus sertifikat keikutsertaan acara.
Benar saja. Setelah saya cari-cari, ternyata kawan saya itu sudah asyik merokok dengan dua narasumber penting yang barusan menjadi pemateri diskusi. Mereka terlihat gayeng berbincang.
Beberapa saat kemudian, kami memutuskan keluar dari UNS, mencari makan dan mensuplai tubuh dengan cafein. “Setelah ini kita kemana, Mas?” Tanya saya.
“Melanjutkan perjalanan lah. Siapa tahu, di kelokan jalan, kita akan bertemu banyak kejutan.”
Saya manut saja. Kami naik bus menuju ke sebuah tempat yang dipenuhi banyak buku dan bermacam benda-benda seni: baik seni kontemporer maupun seni klasik. Saya merasa, tempat itu adalah sebenar-benarnya makna dari Rumah Kreatif.
Saya yang awalnya sekadar nggugurke kewajiban kerja kantor dan menemani perjalanan seorang kawan, baru benar-benar sadar jika di tiap kelok jalan, sepertinya Tuhan meletakkan banyak kejutan.
Saya dipertemukan dengan seorang kawan dari kawan yang saya temani tadi. Dia pegiat sosial dan kebudayaan asal Kota Solo. Sosok kharismatik yang memiliki banyak peran di tataran sosial kota. Mas Ndoetch, begitu dia biasa disapa.
Bersamanya, banyak obrolan yang kami perbincangkan. Sore itu Solo memang hujan. Dengan ditemani guyuran air langit, kami gayeng sekali berbincang. Di depannya, saya merasa seperti menimba air sumur kehidupan.
Mulai siang hingga menjelang datangnya petang, kami tak henti-hentinya berbincang. Tentang apa saja. Bahkan tak berpindah posisi duduk. Saya percaya, orang yang mampu membuat kita tak berpindah posisi duduk dalam waktu yang lama, bukanlah orang biasa.
Bersama Mas Ndoetch, kami berdiskusi cukup lama sekali. Bahkan, lebih lama dari diskusi melelahkan yang sebelumnya saya ikuti di UNS pada Sabtu pagi.
Pada paragraf akhir perbincangan, Mas Ndoetch mengajak saya menemaninya memotret — sebuah hobi yang sering dia lakukan. Dan entah dengan keajaiban apa, malam itu dia memotret sebuah acara yang tak asing bagi telinga saya: Suluk Badran.
Bisa jadi, ini adalah kelok kejutan yang dimaksud kawan saya, saat pertama kami berdua berangkat tadi. Apa memang kawan saya telah mempersiapkan semua? Tidak. Saya kira, ini kejutan yang tak terencana.
Perjumpaan dengan Candra Malik
Siapa sangka, Mas Ndoetch adalah kawan dekat Candra Malik, sosok sufi pengampu Suluk Badran, sekaligus penulis yang telah lama kukenal melalui karya-karyanya. Bahagia menyambar seketika, menggantikan petir hujan yang hadir sore itu.
Saya kepikiran untuk segera membeli satu buku karya Candra Malik. Buku novel tassawuf berjudul Majnun Sejak Berjumpa Layla. Sementara ini, sepertinya itu satu-satunya novel Candra Malik yang belum saya baca. Saya ingin membelinya, berharap dapat tanda tangan langsung dari si penulis.
Buru-buru saya meminjam motor Mas Ndoetch. Motor saya nyalakan dan gerimis pun saya terjang. Saya langsung menuju Togamas Solo. Di toko itu, saya tak menemukan apa yang saya cari. Saya pun tancap gas ke Gramedia. Sial, hasilnya sama. Saya tidak menemukannya.
Ah, sayang sekali.
Tanpa membawa buku, saya berangkat ke Suluk Badran. Kami kesana berempat. Menelusuri jalanan Kota Solo yang basah, menuju Pendopo Noesantara, semacam titik kumpul para santri As-Syahadah yang menjadi lokasi pengajian.
Di tempat dengan bangunan model joglo itu, segelas kopi dan sebungkus roti menyambut kami. Saya pun duduk bersila seperti paku bumi pendopo, sambil merokok dan mendengar ceramah dari pembicara di depan.
Apa yang saya harap, benar-benar terjadi.
Candra Malik melintas di belakang saya. Lalu dia duduk di depan saya, bersama para pengunjung lainnya. Dia tampak tenang menunggu giliran untuk berbicara di depan. Dia terlihat sangat sederhana dan biasa. Sehingga tak membikin orang sungkan untuk menemuinya.
Acara inti tiba. Sebuah Mauidloh Hasanah dari Candra Malik. Dalam ceramahnya itu, Candra Malik membedah makna 12 Mocopat sembari memberi penjelasan detail dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Saya perhatikan dan saya catat secara detail apa yang dia sampaikan, hingga hampir sejam berlalu. Saat acara inti selesai, para pengunjung tampak santai menikmati makan dan sajian kopi. Sementara Candra Malik terlihat berbincang-bincang dengan orang-orang di dekatnya.
Tiba-tiba, Mas Ndoetch menarik tangan saya. Dia memberi kode agar saya segera bergeser mendekat ke Candra Malik. Dia seperti meyakinkan jika semua akan baik-baik saja. Saya percaya karena saya tahu, dia kawan dekat Candra Malik.
Tanpa berpikir panjang, saya pun langsung bergerak, mendekati posisi duduk Candra Malik. Saya mengajak salaman. Tangannya menyambut tangan saya. Langsung saya dekap dan cium, layaknya murid yang sangat mendambakan ridho seorang mursyid.
Ya, seorang mursyid. Seperti itu saya menganggap Candra Malik. Sekaligus istilah dan pemahaman yang saya dapatkan dari bukunya. Novel Layla adalah buku novel pertama yang saya baca. Buku yang saya baca pada awal 2016. Tepat saat saya mengalami kegalauan yang mendalam.
Buku itu membantu saya bangkit. Terdapat pesan yang sangat substantif terkait hubungan antar manusia. Antara anak dan orang tua, guru dan siswa, murid dan mursyid, manusia dan semesta, agama dan budaya, hingga Tuhan dan cinta. Terutama hubungan ke dalam diri sendiri. Tentang rindu manusia dengan dirinya sendiri.
Semenjak itu, saya akrab dengan buku. Baik esai, novel ataupun puisi. Saya mengerti, membaca adalah jalan. Jalan untuk mengisi kekosongan di dalam diri. Ruang ketidaktahuan yang menyebabkan hidup terasa hampa.
Saya menceritakan pengalaman hidup itu kepada Candra Malik secara langsung. Saya juga berterima kasih atas karya yang dia bikin. Dari sana, saya mengerti hidup, memahami cinta, dan mampu memaknai rindu.
Apa yang dialami tokoh Lail di buku tersebut dekat dengan saya. Buku-buku lain karyanya, juga amat dekat dengan kehidupan saya. Karena itu, meski belum pernah bertemu, saya merasa sudah dekat dengannya.
Candra Malik tersenyum kepada saya. Senyum yang amat dalam. Dia memang tidak banyak bicara, kecuali sedang menjadi pembicara. Tapi bagi saya, senyumnya sudah melebihi kata-kata yang dia ucapkan. Dia bersyukur dan mengucapkan hamdallah. Lalu, muncul satu pesan dia untuk saya.
Sebuah pesan yang mungkin tak bisa saya sampaikan di dalam tulisan ini, atau harus disampaikan melalui tulisan yang berbeda.
Setelah berpesan, dia kembali menyeruput kopi miliknya. Kopi hitam dari biji kopi Pegunungan Wilis. Lalu, dia menawarkan kopi miliknya itu agar saya seruput. Istilahnya join kopi. Hal yang tidak pernah saya duga. Berharap pun tidak.
Saya sangat terkejut sekaligus bersyukur. Candra Malik meminta saya meminum kopi dari gelas miliknya. Tentu saja, itu sebuah tawaran spiritual yang tak pernah kusangka-sangka. Dan bisa jadi, akan sulit aku lupa.
Langsung saja saya tarik gelas kopinya. Saya seruput dengan penuh penghayatan. Terutama menghayati apa yang sedang terjadi. Sungguh keajaiban yang mengingatkan saya akan tulisan Candra Malik tentang Kopi Sufi di buku Menyambut Kematian — Kopi murid dan mursyid yang mendampingi suluk para sufisme.
Apapun pesannya, saya menerima dengan senang hati. Pesan itu saya dengar dan semoga bisa saya praktikkan.
Terima kasih saya ucapkan pada Gus Candra Malik. Atas karya-karya miliknya yang pernah saya baca. Dan perjumpaan malam itu, sebuah perjumpaan pada titik persimpangan garis takdir yang tak terduga.
Momen tersebut adalah momen berharga bagiku. Semoga perjumpaan itu bisa terjadi lagi. Bahkan hingga kesekian kali. Aku sangat berterima kasih pada Tuhan. Aku benar-benar merasa menjadi hamba yang diperjalankan.
Tiba-tiba saya ingat perkataan kawan saya di awal perjalanan: di kelokan jalan, kita akan bertemu banyak kejutan.