“Hari itu, di kebun binatang, anak-anak kecil pasti bertanya-tanya, mengapa si beruang kutub bersembunyi. Mungkin ia sakit …… Takkan ada yang menyangka bahwa aku cuma mengenang kembali cinta pertamaku.”
Saya tertawa hingga hampir menangis kala membaca paragraf tersebut. Tertawa karena membaca monolog lucu seekor beruang yang berkisah tentang cinta pertamanya. Hampir menangis karena mengetahui kisah asmara itu tak akan pernah terungkap untuk selama-lamanya.
Beruang jantan muda yang sedang kasmaran — dan dengan waktu yang cukup lama berupaya mati-matian menutupi kekikukan dan rasa malu-malunya untuk menyatakan cinta— tiba-tiba ditangkap manusia untuk dikurung selama-lamanya, bahkan sebelum mampu mengucapkan perasaan cintanya.
Siapa yang tak marah ketika tiba-tiba, kebebasan direnggut di saat usia sedang membara-membaranya. Siapa yang tak sedih ketika ia dipisahkan dari habitat, keluarga, dan sosok terkasih bahkan sebelum sempat menyatakan perasaan cintanya.
Beruang kutub bernama Baltazar itu, harus terpisah dari kehidupan dan bermacam kebahagiaan bumi Arktik karena ditangkap dan dipenjara di dalam sebuah kebun binatang. Di dalam kesendirian jeruji, ia justru menemukan kebebasan yang bahkan jarang dimiliki seorang manusia.
Kisah tentang Baltazar ini merupakan karya Claudio Orrego Vicuña, penulis yang politisi asal Cile. Tebalnya cuma 68 halaman. Diterjemahkan Ronny Agustinus dan diterbitkan Marjin Kiri (2018) dengan judul Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub.
Saat merekomendasikan novela ini, Chusnul Chotimmah berkata jika cerita ini menggambarkan bagaimana tingkah manusia dalam perspektif seekor beruang. Saya yang suka pada fabel, langsung tertarik membacanya.
Fabel menjadi medium paling ringan sekaligus menyenangkan dalam menyampaikan kritik. Beberapa kali saya pernah mencoba membuat fabel. Dari yang tokohnya nyamuk hingga kucing.
Namun, lebih dari apa yang disampaikan Chusnul, saat membaca fabel politik dengan tokoh seekor beruang bernama Baltazar ini, saya seperti menemukan bahwa ada kalanya manusia benar-benar tampak hewani di hadapan seekor hewan yang justru lebih manusiawi.
Iya, Baltazar bukan beruang biasa. Ia diberkahi tuhan mampu membaca watak dan berkomunikasi dengan manusia. Meski tak banyak manusia yang sadar akan hal itu. Ia bahkan mampu menganalisa kecemasan-kecemasan manusia yang ada di dekatnya.
Dalam kurungan dan penjara, tentu saja, Baltazar merasa tersiksa. Siapa yang tak tersiksa dikurung sendirian. Sementara banyak kenangan dan kebahagiaan tertinggal dalam ruang dan jarak yang tak akan pernah menemui kata temu.
Di dalam jeruji, ia kerap berhadapan dengan arogansi penjaga kandang yang kasar dan kerap ogah-ogahan saat membersihkan kandang dan memberi makan. Dengan nyinyir dan penuh keputusasaan, Baltazar sadar jika para penjaga merupakan orang-orang upahan yang menyedihkan.
Hidup para penjaga itu pun sesungguhnya penuh nestapa. Namun, begitu memakai seragam, mereka merasa hidupnya berubah; berkuasa untuk membentak, memerintah, menyiksa hingga mencaci.
Kesendirian membuat Baltazar rajin merenung dan menceritakan renungan-renungan itu sebagai monolog-monolog penuh kelucuan sekaligus kegetiran secara bersamaan.
Monolog Baltazar selama di dalam jeruji memuat hasil renungan-renungan terkait kemanusiaan. Perkara kebebasan, kekuasaan, kenangan, solidaritas, hingga ketimpangan sosial.
Setelah cukup lama mengakrabi kesendirian, Baltazar justru menemukan banyak hal yang sebelumnya tak ia rasakan. Ia tak lagi merasa tersiksa. Ia tak lagi marah. Ia, justru kasihan pada manusia-manusia yang ada di hadapannya.
Baltazar melihat manusia-manusia di luar kandang, baik petugas maupun pengunjung, justru menjadi mahkluk-mahkluk yang tidak bebas. Mereka hidup dengan wajah penuh beban. Baltazar, dalam kesendiriannya, justru menemukan kebebasan sejati.
Baltazar kian dewasa secara mental. Kian bijaksana memeluk takdir, bahkan lebih manusiawi dalam memandang nasib. Terlebih, saat ia menjalin persahabatan dengan gadis kecil yang menyambanginya di depan kandang.
Baltazar menyimpulkan, anak-anak merupakan bagian paling indah dari umat manusia. Mereka memancarkan rasa dahaga akan kasih sayang dan sejenis perlindungan yang tak akan mungkin bisa diabaikan oleh seekor beruang.
Ia jatuh iba pada gadis kecil yang miskin. Ia melihat tragadi kemanusiaan di wajah anak malang itu. “Dalam raut wajah mereka yang tak berdaya, kau bisa melihat dunia ganjil penuh egoisme dan kekejian yang mengelilingi mereka.” sebuah kalimat yang benar-benar menggetarkan.
Saat Baltazar melihat anak diperlakukan kasar oleh seorang penjaga gara-gara melemparkan sesuatu yang dilarang ke dalam kandangnya, dengan melecut muka anak itu dengan cambuk hingga mukanya lecet berdarah, Baltazar langsung marah. Ia merenggut leher penjaga, menguncang-guncang, dan mendorongnya ke jeruji. Ia ingin melindungi anak tersebut.
Lama di dalam kurungan, membuat rasa pasrah Baltazar kian tajam. Ia tak lagi merasa sedih saat banyak kebahagiaan dalam hidupnya dirampas paksa, seperti saat-saat pertama ia dikurung dalam kebun binatang.
“Saat itulah aku sadar tak ada seorang pun yang bisa merampas apa yang pernah aku cintai, yang menjadi bagian dari kenanganku sendiri,” kata Baltazar.
Baltazar justru menemukan kebebasan sejati. Kebebasan, kata Baltazar, bukanlah bebas fisik dari jeruji kandang. Ia bebas ketika ia menjadi tuan atas batinnya sendiri. Ia belajar untuk tidak bergantung pada penilaian orang lain dan dengan itulah ia merebut kebebasannya.
Baltazar tak lagi meratapi kesedihannya. Ia kian ikhlas dan pasrah sempurna atas takdir yang ia terima. Bahkan, ia justru bersyukur mampu mendapat kebebasan sejati, kebebasan yang bukan urusan fisik belaka.
Kita, para pembaca, tentu bisa merasakan betapa kerinduan Baltazar akan keluarga dan Kutub Utara begitu menyiksa. Kita, para pembaca, tentu bisa merasakan kejengkelan dan kemarahan dan kebencian Baltazar pada manusia yang merenggut kebahagiaannya.
Tapi, Baltazar justru menemukan kedewasaan dan kebijaksanaan kala hidup dalam kurungan. Ia memaafkan dan mengikhlaskan apa yang direnggut manusia dari dalam dirinya, kala ia menemukan kebebasan dan kebahagiaan sejati. Kebebasan dan kebahagiaan yang tak akan pernah bisa direnggut oleh siapapun.
Orrego Vicuña mengakhiri novela ini dengan berita tentang Baltazar yang ditembak mati oleh penjaga kebun binatang. Pelaku beralasan, ia merasa binatang itu mengolok-oloknya setiap kali ia memasuki kandang untuk menjalankan tugasnya.
Novela tentang Baltazar ini, tentu akan membawa ingatan kita pada Animal Farm karya George Orwell. Keduanya merupakan kisah politik berbalut fabel. Umumnya fabel politik, ada perkara-perkara politis yang mendasarinya.
Jika Animal Farm merupakan novel alegori politik yang ditulis Orwell pada masa Perang Dunia II sebagai satire atas totalitarianisme Uni Soviet. Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub juga sebuah alegori politik sekaligus satire yang ditulis Orrego Vicuña untuk kediktaktoran Pinochet.
Orrego Vicuña merupakan sosiolog, peneliti sejarah, penulis, dan aktivis yang menjadi politisi dan anggota parlemen dari Partai Kristen Demokrat Cile. Pada 1973, Jenderal Augusto Pinochet mengkudeta presiden terpilih Salvador Allende, membubarkan parlemen dan menyingkirkan Orrego Vicuña dari jabatannya.
Orrego Vicuña menerbitkan novel berjudul asli Las Sorprendentes Memorias de Baltazar ini setahun sesudah kudeta militer Jenderal Augusto Pinochet.