Buku bukan benda mati biasa. Ia mampu menghidupkan kecemasan sekaligus mematikan kemanusiaan.
Waktu menunjuk pukul 16.00 saat Okaydo baru saja menyelesaikan pekerjaan. Melihat banyak aksi melapak serempak yang digagas di sejumlah kota, dia pun memantau kondisi di Bojonegoro. Mengetahui belum ada kegiatan, dia pun bergegas mengontak seorang kawan, lalu pulang ke Bojonegoro.
Dia melipat jarak Surabaya – Bojonegoro serupa melipat surat cinta kusut yang disimpan di saku celana. Melintasi berbagai kemacetan dan udara panas jalanan, Okaydo menjejalkan kaki di Bumi Rajekwesi pukul 18.50, sesaat dan bebarengan azan Isya berkumandang.
**
Mahendra masih duduk di tengah lamunan ketika seorang kawan menghubunginya. Dia menatap jam dinding. Terlihat pukul 16.20. Mukanya berbinar dan kantuk di matanya langsung memudar. Dia segera melipat poster dan mengemas buku ke dalam dua tas carrier.
Padangan – Bojonegoro bukan jarak yang berarti bagi Mahendra. Cukup sekali ongglengan Vespa, lelaki yang mengidolakan Kurt Cobain itu sudah berada di pusat Kota Bojonegoro kala gema takbir mulai mengalun di surau-surau musala.
**
Pukul 20.05, Okaydo dan Mahendra bertemu di pusat kota. Tepatnya di tengah alun-alun Bojonegoro, untuk melaksanakan ritual melapak serentak yang digeber pada (10/8) kemarin. Apa yang mereka berdua lakukan hanya bagian kecil dari perlawanan terhadap potensi genosida buku yang masih sangat rentan terjadi.
Ratusan buku dari 4 tas carrier besar mereka keluarkan, lalu mereka tata serapi mungkin. Seperti menata masa depan bagi keterbukaan ilmu pengetahuan generasi berikutnya. Tak lupa, mereka berdua menulis sebuah poster berbunyi: Aksi solidaritas literasi dari Bojonegoro.
**
Bagi sebagian orang, berhadapan dengan buku serupa berhadapan hantu. Meski hanya membaca judulnya saja, buku tetaplah buku. Benda mati yang mampu menghidupkan kecemasan bagi mereka yang takut pada ilmu pengetahuan.
Momen dalam berhadapan dengan sebuah buku, kata Fernando Baez, adalah momen di mana politik kebudayaan itu diuji: apakah kebudayaan kita masih dikungkung suatu kebencian fasistik ataukah makin cukup terbuka untuk maju.
Fernando Baez, mengumpulkan dan merangkum berbagai kisah bibliosida atau genosida buku atau penghancuran massal buku dari waktu ke waktu dalam sebuah buku berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa.
Pakar perbukuan dan perpustakaan asal Venezuela tersebut, membuat buku setebal 373 halaman itu bukan tanpa persiapan. Buku itu hasil kerja riset yang dilakukan Baez selama hampir 12 tahun.
Dalam buku tersebut, Baez memaparkan sejarah penghancuran buku berdasar kronologi waktu yang dibagi dalam tiga bagian; mulai dari jaman Dunia Kuno, Byzantium hingga abad ke 19, dan dari abad ke 20 Hingga Sekarang.
Baez menelusuri dan menganalisa berbagai dokumen dan arsip
membahas tentang bibliosida dari zaman ke zaman. Termasuk manuskrip-manuskrip kuno dan salinan kajian kuno.
Berbagai sumber referensi penulisan bukunya ia peroleh dari banyak kalangan seperti para pustakawan, ahli sejarah, akademisi, kolektor buku langka, bahkan para penjual buku langka dari tiga benua.
Sebelum melakukan riset mendalam terhadap banyak referensi yang dia gunakan, pada 2003, Baez pernah berada di Irak dan menyaksikan langsung realita pembakaran buku dan perusakan museum Irak kala itu.
Keprihatinannya atas pemusnahan budaya suatu bangsa inilah yang mendorongnya untuk menulis kajian tentang bibliosida. Akibat kritik dan ulasannya tentang perang Irak yang berkaitan dengan kritik terhadap Amerika Serikat, Fernando Báez di-persona non-grata-kan oleh pemerintah AS.
Dalam bukunya, Baez menunjukkan bahwa kecemasan seseorang terhadap keberadaan buku bukan bualan semata. Namun ada dan selalu terjadi di tiap zaman. Sebab buku, bukan benda mati biasa. Ia mampu menghidupkan kecemasan sekaligus mematikan kemanusiaan.
Dalam bukunya tersebut, Baez mengungkap sebuah fakta menarik. Bahwa buku-buku dihancurkan bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing.
Membaca karya Baez, bakal memberi pemahaman pada kita semua bahwa maraknya razia buku merupakan perkara lazim yang sudah ada sejak zaman baheula. Namun, di saat yang sama, pembela buku juga akan selalu ada dan terus berganda.
Long Live literacy movements, Hasta Siempre!!