Kabupaten Bojonegoro dipisahkan dari Madiun dan Kediri oleh barisan perbukitan kapur di sebelah selatan, dengan titik tertinggi di Gunung Pandan (906 m).
Di bagian barat terdapat punggung pegunungan kapur, di dalamnya terbentang lembah Bengawan yang luas.
Bengawan Solo menerobos utara Ngawi melalui punggung pegunungan yang disebut Kendeng ini, kemudian mengalir melewati Cepu dan Bojonegoro. Jalur-jalur alluvium agaknya condong mengarah ke utara, sehingga Kabupaten utara Bojonegoro, Tuban, terdapat banyak sumber air tawar yang dekat dengan lautan (bahkan di pantai).
Di lembah Bengawan yang dikelilingi oleh hutan jati yang luas ini terdapat kota dengan populasi penduduk yang paling padat, disinilah letak Bojonegoro (25 m), dengan kesibukan pasar ternak.
Industri perminyakan menjadi sangat penting di lembah ini, yang menciptakan kota baru Cepu. Ada kilang, pabrik minyak pelumas, lilin, dan malam batik. Cepu juga merupakan tempat Penimbunan Kayu (Jati) yang telah ter-desentralisasi.
Pada 1887 didirikan Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM), sehingga masyarakat secara bertahap memperoleh akses terhadap produk minyak bumi dari seluruh ladang minyak di Jawa. Pada tahun-tahun pertama, pengeboran minyak hanya dilakukan di Surabaya, dimana sebuah kilang dibangun di Wonokromo. Tetapi pada tahun 1896 juga telah dibangun di Cepu (dulunya disebut Ngareng).
Pada tahun 1897 sebuah perusahaan baru didirikan di Amsterdam yaitu Dordtsche Petroleum Industrie Maatschappij (DPIM), yang mengambil alih seluruh saham DPM.
DPM pada dasarnya dimiliki oleh Kerajaan Belanda dan Shell. Perusahaan “Dordtsche” ini terutama berfokus pada pengolahan produk sampingan, seperti oli mesin, residu dan minyak tanah. Juga menghasilkan lilin yang digunakan untuk membatik.
Selat Madura yang semakin menyempit mencoba untuk diminimalisasi dengan apa yang disebut sebagai “Celah Barat”, muara Bengawan Solo yang dibangun untuk navigasi kapal laut dan juga membawa endapan yang cukup besar selama musim-musim banjir ke Ujung Pangka, sudut timur laut pulau Jawa. Ada banyak tambak ikan di sepanjang pantai, juga terdapat tebing kapur dengan beberapa puncak terjal, di dalamnya terdapat gua-gua dengan sarang burung walet untuk konsumsi.
Dampak dari terusan ini ternyata tidak sebanding dengan fungsinya, muka air Bengawan secara keseluruhan menjadi turun, Sedayu menjadi tidak lagi subur, populasi penduduknya menurun, lahan sawah sangat menderita karena kekurangan air tawar ketika kemarau, dan tentu saja banjir ketika musim hujan.
Terdapat tiga bukit kapur datar yang dikenal sebagai Drajat, dengan ketinggian 100 m di utara Gresik, yang berfungsi juga untuk penjagaan dan pengintaian kapal yang memasuki “Mulut” Bengawan.
Gresik (gesik = lahan kering) adalah kota tua yang bersejarah, tempat barang antik. Di sinilah letak makam Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali, orang suci tertua di Jawa. Kali Miring sebagai “Mulut” Bengawan lama yang mengantarkan kejayaan Gresik tidak lagi berfungsi di tahun-tahun akhir abad 19 M, sehingga masyarakat disini membuat anyaman tikar rotan dan menghasilkan banyak peralatan tembaga.
Bersambung..