Saya tak bisa janji untuk tak semakin jengkel, kecewa, dan pesimistis pada pengampu kebijakan di kota ini. Namun, saya akan terus mencintai kota ini beserta compang-camping dan ketidaksempurnaannya itu.
Saya pernah punya cerita berkesan yang terjadi beberapa tahun lalu. Sebuah kisah yang mungkin akan saya ingat sepanjang hidup. Tentu saja tentang Kota Bojonegoro.
Itu adalah peristiwa ketika saya di Surabaya. Saat itu kebetulan seorang kawan tak henti-hentinya tertawa ngakak ketika saya memintanya menutup pintu kos yang terbuka. Kepadanya saya mengucap “lebi lawange” alias tutup pintunya, alih-alih menyebut “tutupen lawange” yang membuatnya terpingkal.
Saya tak mengerti kelucuan apa yang terjadi saat itu karena masih di tingkat mahasiswa baru. Namun secara berulang, ia terus membincang apa yang saya katakan. “Lebi? Ha ha. Lebi itu apa kok lucu sekali,” demikian perkataannya yang kira-kira saya ingat.
Lain waktu, seorang kawan dekat meledek saya dengan kosakata “Nggonem, Geniyo, hingga Ndasem” yang menurutnya unik dan menyimpan bahan-bahan humor. Saya geleng-geleng kepala dan pelan-pelan mencoba paham dengan apa yang mereka tertawakan.
Sebetulnya, bagi saya yang lahir, tumbuh, dan besar di Bumi Kota Ledre, kata tersebut biasa saja. Mirip menggunakan “Elo, Gue” di Jakarta. Sehingga seharusnya itu sama sekali tak istimewa.
Namun pendirian saya goyah dan cara berpikir saya agak bergeser manakala mengingat keriangan teman kampung halaman yang melafalkan ‘Nggonem, Geniyo, Matoh, Rakaprah’ dan seterusnya dengan semangat.
Itu perlahan mengikis kesan biasa di benak saya, apalagi ketika di kota rantau. Ada rasa syukur, unik, dan malu-malu kucing ketika memaksa mengenakan diksi tersebut.
Dan ujungnya, energi bangga, muak, hingga sumpah serapah menyembul dari dalam diri. Alasannya cukup panjang dan tak cukup jika diurai dengan dua halaman kertas A4.
Hanya saja, setelah sejak kecil berkeliling ke tetangga desa, saya takjub. Oh ternyata kawasan yang saya tinggali begitu menakjubkan!
Saya bisa memancing di waduk tak jauh dari desa. Mencari burung kutilang, trucukan, hingga derkuku dengan modal ketapel di sekitar rumah.
Rasa senang saya berlipat sejak saya berada di bangku SMP dan tahu jika kota ini memiliki klub sepakbola bernama Persibo. Saya kenal Varney Pas Boakay dengan kepalanya yang kuning.
Morris Power dengan rambut gimbalnya yang panjang dan seperti balutan tali tambang. Atau Samsul Arif yang dapat berlari kencang laksana macan tutul yang hendak memangsa rusa.
Rasanya bangga betul bukan kepalang. Namun semakin dewasa dan selepas bertugas sebagai awak media sebentar di sana, saya harus siap menerima kenyataan yang tak pernah tersingkap media.
Bagaimana lobi-lobi politik kian dahsyat. Bagaimana isu-isu konflik kepentingan yang membayangi para birokrat kita. Bagaimana kekayaan yang kota ini miliki ditata sedemikian tak teratur dan rentan jadi lahan basah korupsi.
Atau bagaimana dengan transparansi atau keterbukaan informasi publik yang sekadar formalitas publik dan kian menyusut, bahkan sulit ditakar dengan mata kepala.
Itu semua menjadikan saya mafhum jika kota ini sejatinya tak terlalu baik-baik amat. Saya sempat kecewa dan seringkali marah. Namun sekali lagi itu membuat saya berpikir: kota ini, bagaimanapun pemerintahnya berganti dan bertingkah ‘lucu-lucu’, tetap tak mengubah fakta bahwa saya pernah numpang lahir dan tumbuh, seraya belajar banyak.
Saya tidak bisa berjanji ke depan untuk tak semakin jengkel, kecewa, dan pesimis pada kota ini atas prilaku pengampu kebijakan. Namun dari sedikit yang bisa saya pastikan untuk sekarang dan masa depan: saya akan terus mencintai kota ini beserta compang-camping dan ketidaksempurnaannya.
Saya akan memulainya dengan cara sederhana saja, dengan sebuah kalimat pendek yang sengaja saya tuliskan cepat-cepat: Selamat Ulang Tahun ke-343 tahun Kota Ledre. Terima kasih atas anugerah dan pengalaman belajarnya. Tetap berumur panjang, ya!
Dan terkhusus untuk pengampu kebijakan, tolong demi apapun jangan biarkan Persibo mati. Sebab jika itu terjadi, saya dan teman-teman akan jengkel dan hilang percaya. Dan yang lebih mengerikan, nanti kami juga akan kelimpungan karena tak bisa makan lumpia di stadion.