Di zaman akhir, kapitalisma tak bisa dilawan dengan sekadar demonstrasi, ia bisa dilawan dengan berdagang ala Kanjeng Nabi.
Di salah satu cabang warkop Giras, tanpa janjian, saya ketemu Rizky, kawan luntang-luntung saya ketika masih jadi jurnalis. Seperti biasa, awalnya tak banyak obrolan. Hanya sesekali.
Maklum di era Wi-Finasi ini, gawai lebih mendominasi dibanding interaksi secara langsung. Meski begitu, tak mengurangi kenikmatan seduhan kopi kami berdua.
Rizky seorang kawan yang cukup dekat dengan saya. Dulu kami sering berlayar bersama. Kami berdua adalah mantan Ronin yang pernah dihadang Paspampres, hanya gara-gara liputan pakai sandal jepit.
Saat ini saya lebih sepakat mengenal Rizky sebagai penulis. Bapak dua anak yang sering menyebut dirinya sebagai Ayah Muda Anak Baru Dua (Ahmud Abada) ini, bahkan menganggap proses menulis sebagai tugas Ilahiah.
Saat ini dia tampak berbeda, lebih santai dan merdeka. Minimal tak lagi dikejar deadline berita dan box. Meski begitu, hampir tiap hari, jemarinya masih mampu menghasilkan tulisan yang ringan, elegan dan mencerahkan.
Tulisan – tulisanya diramu hanya melalui sebuah aplikasi gawai. Dari ide sederhana hingga konsep yang luar biasa, khas tanpa ndakik-ndakik. Tulisannya memotivasi dan menginspirasi, tapi di saat yang sama juga mendemotivasi.
Pada kesempatan itu, untuk sekadar obrolan warungan, saya bercerita sedang mulai menggeluti emas. Bukan perhiasan. Emas murni dalam bentuk mini. Ukuran 0,1 – 5 gram. Sebagai ikhtiar kecil mempertahan nilai aset ekonomi yang pas – pasan.
Saya memposisikan diri layaknya negara Indonesia China dan Amerika yang menambah devisa dengan memperbanyak cadangan emas tapi memperluas peredaran kertas berlabel mata uang ke dunia.
Benda ini memang kurang menawan. Jauh kalah menarik dari perhiasan. Apalagi dibanding benda onlenan berlabel diskon. Emas memang bukan alat transaksi.Tapi terbukti sebagai penolong stabilitas ekonomi.
Dalam konteks ini, rasanya saya cukup percaya diri menirukan kata “stabilitas ekonomi” yang kerap dilontarkan elit penguasa. Kata “ekonomi” memang fleksibel untuk dipadukan dengan satu kata lain untuk dijadikan frasa.
Baik hanya retorika maupun propaganda. Selain stabilitas, banyak frasa yang menggunakan kata ekonomi sebagai pelengkapnya, misalnya: pertumbuhan ekonomi, pelemahan ekonomi, bahkan restart ekonomi.
Rupanya Rizky sudah familiar dengan emas. Menurutnya sudah sejak dulu sebagian lembaran kertas mata uang miliknya, dia konversikan menjadi emas, meski dalam bentuk perhiasan. Pengakuan itu sedikit membuat perasaan saya lega.
Selain dia tak lagi nggojloki saya perihal kapan nikah, setidaknya, dia percaya harga emas cenderung stabil. Hanya, sekilas terbesit harapan, ketika menjualnya kembali, tidak tereduksi potongan harga sepihak. Sebab, ada kata bijak yang menyebut emas adalah mata uang yang jujur.
Dari tema ini, kemudian terjadi diskusi kecil soal kapitalisme — sejenis sistem politik ekonomi negara, yang dianggap bertentangan dengan negara seperti Indonesia. Meski sebenarnya, sistem ini telah menjalar. Bahkan mengakar.
Bagaimana tidak, sistem perekonomian berbasis pro masyarakat seperti koperasi, tak lebih hanya narasi semata. Bisa dititeni setiap tanggal 12 Juli. Beragam ucapan selamat, baik melalui iklan, pemberitaan media, komentar pejabat, hingga status di medsos, menghiasi ruang maya dan nyata.
Diskusi kami tidak sampai menyinggung Mark, Lenin, atau tokoh aliran teori kritis. Lebih – lebih sistem ekonomi berlandaskan syari’ah nan kerap melaknat riba. Itu semua sudah “selesai” sejak kami mengenal cinta keluarga. Meski demikian, secara prinsip, saya dan Rizky seperti saling memahami.
Menurut Rizky, mendebat kapitalisme di usia 30 tahun adalah perkara paling sia-sia nomor dua di dunia, setelah menunggu cinta dari orang yang tak pernah mengharap kehadiranmu dalam hidupnya. Sementara, Kanjeng Nabi sudah memberitahu kalau 9 dari 10 pintu rezeki adalah berdagang.
Karena itu, tak semua proses berdagang masuk kategori kapitalisme, meski setiap proses berdagang mengandung unsur kapital. Buktinya, Kanjeng Nabi Muhammad seorang pedagang, tapi beliau bukan kapitalis.
Karena itu, satu-satunya yang bisa dilakukan Umat Kanjeng Nabi Muhammad adalah berdagang dengan tetap cekelan pada idealisme, serupa anjuran Kanjeng Nabi.
Menurut Rizky, hampir tidak mungkin melawan kapitalisme secara langsung. Tak mungkin sistem dilawan secara personal. Apalagi, kalau sudah menggendong cucu orang. Semua harus realistis, meski tetap memeluk prinsip idealis.
Selain menulis, Rizky kini berjualan kebutuhan pokok di rumah. Dia ingin meneruskan usaha orang tua dan buyutnya. Dia juga mendukung apa yang sedang saya geluti. Yakni berdagang emas.
“Salah satu cara melawan kapitalis adalah menjadi pedagang sesuai anjuran Kanjeng Nabi.” Pungkas Rizky yang tentu saja sangat saya amini.