Bagi Kiai Dahlan, proses belajar harus melibatkan dua aspek penting: ilmu dan amal.
Sejak tahun 2006 aku menggemari tulisan-pemikiran Yudi Latif. Dimulai dengan mengoleksi dan membaca Inteligensia Muslim dan Kuasa, mengikuti seminar di Auditorium Universitas Islam Indonesia. Puncaknya, mengunjungi kantor Harian Kompas di Kotabaru Jogja.
Tulisan Yudi Latif di kolom Opini Harian Kompas sering mengulas tentang relasi kuasa dengan pengetahuan, sebagaimana tema disertasinya. Pengetahuan sebagai sebuah capaian (achieved) yang menghasilkan perubahan kekuasaan.
Bangsawan Pikir (karena ilmu pengetahuan) sebagai pengganti Bangsawan Usul (karena darah priyayi) menjadi Blok Sejarah bagi perjuangan kekuasaan. Dalam hal ini: Lahirnya republik baru bernama Indonesia.
Penguasaan ilmu pengetahuan sebagai anak tangga mobilitas vertikal status sosial serta mobilitas horizontal untuk penyadaran, merupakan ciri utama masyarakat modern. Muhammadiyah sebagai gerakan modern, menurut Syafiq Mughni, menjadikan ukuran ilmu pengetahuan sebagai capaian (achieved).
Kiai Dahlan masyhur sebagai kiai berdimensi praktis. Pemikiran Kiai Dahlan menunjukkan segi praktis dari agama. Oleh sebab itu, persoalan yang banyak menimbulkan perbedaan pendapat dan tidak menghasilkan hal praktis, tidak mendapat perhatian beliau. Orang beragama adalah orang yang melahirkan amal. Demikian keterangan dari Yusron Asrofie.
Oleh sebab itu, bagi Kiai Dahlan proses belajar harus melibatkan dua aspek penting: Ilmu dan amal. “Pelajaran terdiri atas dua bagian. Pertama belajar ilmu (pengetahuan atau teori), dan kedua belajar amal (mengerjakan dan mempraktikkan),” pesan Kiai Dahlan.
Belajar praktik harus memiliki hubungan linier dengan belajar ilmu. Ilmu harusnya diarahkan kepada pelaksanaan dalam alam nyata. Begitu pula praktik dalam keseharian haruslah memiliki dasar keilmuan yang kokoh dan sahih. Keduanya berjalan resiprok dan melengkapi.
Manusia, menurut The Liang Gie, pada dasarnya memiliki minat dan hasrat untuk mengetahui (desire to know) sekaligus hasrat dan keinginan berbuat (desire to do). Kedua minat dan hasrat yang demikian menghantarkan bangunan ilmu pengetahuan yang tumbuh seiring dengan perjalanan hidup manusia.
Secara umum, ilmu pengetahuan terdiri dari dua segi: Murni (pure) dan terapan (applied). Ilmu murni titik beratnya adalah perkembangan teori pengetahuan, sedangkan ilmu terapan konsentrasinya pada pengetahuan yang diterapkan dalam kehidupan nyata untuk mencapai sesuatu.
Pandangan Kiai Dahlan sejalan dengan pandangan modern tentang laju ilmu pengetahuan. Kedua ilmu, baik murni dan terapan, sama-sama penting dipelajari. Ilmu terapan adalah buah dari teori dan pengetahuan.
Selain berbicara soal kategori ilmu, Kiai Dahlan amat sangat menekankan tentang metode dalam belajar. “Semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Misalnya seorang anak akan mempelsjari huruf a, b, c, d kalau brlum paham benar-benar tentang empat huruf a, b, c, d itu tidak perlu ditambah pelajarannya dengan e, f, g, h,” kata Kiai Dahlan.
Betapa Kiai Dahlan menekankan aspek sabar dalam menuntut ilmu. Guru dan murid, keduanya haruslah sabar dalam melaksanakan proses pembelajaran. Tanpa kesabaran, proses pembelajaran hanyalah menyampaikan materi tanpa ada sesuatu yang membekas di ingatan.
Cara dan kecepatan belajar setiap individu tidaklah sama. Kemampuan pemahaman dan mengingat sisa juga tidak sama. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap kemampuan masing-masing peserta didik amat penting agar ilmu pengetahuan dapat diajarkan secara bertahap dan sesuai kemampuan peserta didik tersebut. Materi dan metode belajar penting, akan tetapi pemahaman atas kemampuan peserta didik tidak kalah penting.
“Demikian juga dalam belajar amal, harus dengan cara bertingkat. Kau setingkat saja belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah,” lanjut Kiai Dahlan. Barangkali cerita populer antara Kiai Dahlan dengan para santrinya tentang belajar surat al-Maun dapat dijadikan contoh.
Kiai Dahlan meminta santrinya untuk terus-menerus mengulang-ulang membaca dan mempelajari kandungan surat al-Maun sampai santrinya bosan dan bertanya-tanya tentang maksud Kiai Dahlan meminta santrinya berbuat demikian.
Bagi Kiai Dahlan, para santrinya dinilai telah lulus dalam pembelajaran bukan hanya saat mampu membaca dengan baik, memahami dan mencerna maksud pelajaran dengan baik, tetapi sedikit demi sedikit mampu mempraktikkan ilmu dan pemahaman yang diperoleh selama pembelajaran dalam praktik kehidupan nyata. Perlahan, bertingkat, dan setahap.