Ada orang yang mengakhiri akhir tahun dengan memadu asmara. Ada orang yang di akhir tahun mabuk ria. Ada orang di akhir tahun ingin berziarah di Negeri Ratu Wilhelmina. Apalah daya hamba, menjelang akhir tahun masih bersua dengan pohon sawo kecik, secangkir kopi, dan masih (dan akan terus) menunggu.
Desember, 2021. Sudah bisa bangun dari ranjang, membuka mata, menggerakkan jari-jemari merupakan suatu kenikmatan yang luar biasa. Apalagi, bisa menikmati secangkir kopi, beraktivitas, bertegur sapa dengan Tuhan, dan memaknai ayat-ayat kauniyah. Sungguh, betapa besar kasih sayang Tuhan kepada hambanya.
Apa yang terjadi sekarang, tidak bisa lepas dari rentetan peristiwa yang pernah terjadi. Selain sudah ada ketentuan yang sifatnya qat’i (pasti), apabila tidak ada usaha untuk melakukan, hanya sebatas aksara. Seperti ketika kita ingin menyampaikan rasa kepada doi tanpa pengejawantahan, hanya sebatas aksara di atas kertas yang tak tersampaikan. Begitulah hidup, meski sudah dituliskan untuk ngopi di warung kopi bersama Si A, kalau tidak ada upaya untuk melakukannya, hanya sebatas angan belaka.
Nikmat yang luar biasa, di akhir tahun ini, masih bisa menikmati fenomena alam dan sosial yang tersaji di Surga Pojok Kota, di kabupaten yang konon adem ayem plus lumbung pangan dan energi. Setelah itu, saya ingin mengetahui lebih dalam lagi, fenomena di Surga Pojok Kota dan kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi ini, dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro.
Beberapa media mengabarkan banjir terjadi di beberapa daerah yang ada di Bojonegoro. Saat itu, saya sedang membaca kabar tersebut melalui gawai dalam perjalanan dari Kota Kembang menuju Kota Ledre. Sepanjang perjalanan, saya berupaya mengumpulkan ide melalui pemandangan yang terhampar dari balik kaca bus kota. Memang benar Surayah, bahwa “Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu, melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi”.
Terminal Cicaheum (tempat pengambilan gambar film Preman Pensiun), Jalan Braga yang begitu syahdu ketika dini hari menyapa, Buah Batu yang menjadi latar tempat beberapa buku karya Surayah, Arcamanik yang menjadi saksi bisu dialektika dari pagi hingga rembulan menyapa dan menjadi tempat pemotretan dari jauh fenomena land grabbing atau pencaplokan lahan di Bojonegoro, dan tak lupa komplek As-Salam dimana Bung Mahbub Djunaidi beristirahat secara fisik (ragawi) namun pemikirannya akan terus berkelana kapan saja dan dimana saja, walau zaman silih berganti.
Sekarang di Surga Pojok Kota, di balik kaca jendela, tempat menggambarkan berbagai fenomena melalui aksara. Menjelang akhir tahun, beberapa fenomena terjadi, banjir di Bojonegoro, memburuknya demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan lain sebagainya.
Tiga kata menarik di Madrasah Alternatif Guratjaga, salah satu di antaranya ‘ilmiah’. Banjir yang terjadi di Dander tentu bukan hanya sekadar intensitas hujan, oh..hujan, kasihan sekali kamu sering menjadi bulan-bulanan pengambil kebijakan, padahal bagi pemuda dan pemudi di era kiwari, hujan menjadi objek berpuisi, dan bagi anak-anak hujan merupakan kenikmatan yang luar biasa, bisa kecek, meskipun pilek menghampiri bagi beberapa anak dipiker keri.
Suatu yang kontradiksi, padahal hujan merupakan sebuah nikmat dari Tuhan yang diturunkan untuk semua kalangan. Baik biotik, abiotik, borjuis, proletar, dan lain sebagainya. Nampaknya, harus banyak belajar syukur kepada anak-anak ihwal hujan. Karena menurut beberapa kitab tradisional, terkandung berjuta manfaat di balik air hujan. Sayang, di era kiwari, hujan yang identik dengan akhir bulan (Desember: gede-gedene sumber), selalu disalahkan.
Padahal, manusia yang rakus dan ingin memperkaya diri melalui akumulasi kapital itulah, yang menjadikan seakan-akan hujan yang bersalah. Juga tidak lepas dari pemangku kebijakan yang bermain melalui kertas-kertas.
Indonesia wabilkhusus Bojonegoro merupakan daerah agraris, Dander pada tahun 1917 (merujuk pada koleksi Universiteit Leiden), tanah luas terhampar, hutan, dan beberapa areal persawahan.
Jika Umar Kayam pernah menulis novel berjudul Kunang-Kunang di Manhattan, maka saat ini dan beberapa tahun ke depan akan banyak kunang-kunang di Dander. Kunang-kunang disini, bukan hewan yang sering nampak di areal persawahan, lha wong persawahanne disulap dadi gedung? Mosok iso, ndelok kunang-kunang? Kunang-kunang disini adalah gemerlap lampu yang ada di areal industri, perkotaan, dan lain sebagainya.
Gambaran seperti itu bisa Anda saksikan ketika melewati tol di malam hari, dan menyaksikan kunang-kunang (gemerlap lampu) di Batang wabilkhusus yang berada di area dan sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang. Tidak menutup kemungkinan kalau tahun depan (2022) dan setetrusnya, akan ditemukan banyak kunang-kunang di Dander maupun di Bojonegoro. Karena menurut pembacaan saya dari RTRW Bojonegoro, akan berlaku konsep planetary urban. Yang secara sadar atau tidak, sudah terjadi. Perluasan wilayah kota, dari Kecamatan Bojonegoro, Kapas, dan Dander, merupakan sebuah indikasi.
Meskipun saya hanya pegiat warung kopi, tetapi ingin mengkorelasikan mengapa hal tersebut terjadi? Anda yang bangga dengan status akademisi, aktivis, pejabat, dan tetek-bengek yang lainnya juga harus rajin membaca, berdiskusi di warung kopi, dan lain sebagainya. Ya, ini juga pesan untuk saya sendiri, untuk lebih sering membaca, karena wahyu yang pertama kali turun bukan perintah untuk makan, melainkan perintah untuk membaca (iqra’).
Ada quote menarik dari Gus Dur, “Jika kamu tidak menamatkan 300 judul buku sampai kamu diwisuda hari ini, maka status kamu sebagai sarjana perguruan tinggi perlu dipertanyakan. Karena, dunia psantren itu tradisinya, membaca apa saja yang menjadi pengetahuan.” Bagi kawan-kawan yang ngangsu kaweruh di pondok pesantren, bersyukurlah, dan bagi kawan-kawan yang belum menyandang gelar sarjana berbahagialah karena masih ada waktu untuk mengintensifkan membaca plus berdialektika, dan bagi kawan-kawan yang sudah diwisuda dan berbagangga dengan gelar sarjananya, sila meraba-raba suksma dan raga, wqwqwq.
Kembali ke fenomena di Dander, banjir tersebut diakarenakan beberapa hal salah satu di antaranya alih fungsi lahan, dimana hal tersebut merupakan fenomena deagrarianisasi. Hutan-hutan gundul, areal persawahan disulap menjadi gedung, dan penebangan liar atau illegal loging marak terjadi, maka banjir terjadi.
Perlu diapresiasi kerja kawan-kawan, lembaga, maupun organisasi, yang langsung terjun ke lapangan untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan. Dan alangkah lebih mantap lagi, para pengambil kebijakan untuk mengambil ibrah dari peristiwa yang terjadi dan melakukan reorientasi pembangunan.
Asumsi saya, beberapa pejabat dari Sabang hingga Merauke, dari Pulau Miangas ke Pulau Rote, lebih sering dan bangga menggunakan istilah berbahasa Inggris yang mana ada kaitannya dengan kebijakan pembangunan, atau bahasa Jawanya, keminggris. Padahal, belum tentu tahu apa makna sebenarnya, dari suatu kata yang berbahasa Inggris. Oke, lima jempol bagi pejabat yang tahu dan bahkan rela menghabiskan waktu untuk menyelidik kata secara radikal, dari radix atau akarnya. Kalau keminggris masih blepotan dan untuk gaya-gayaan, lebih baik menggunakan bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ingat kata Ibrahim El Molqa alias Tan Malaka, “Belajar dari barat, namun jangan jadi peniru barat, melainkan jadilah murid dari timur yang cerdas”.
Ngomong-ngomong soal Tan Malaka, bisa dikatakan salah satu dari beberapa tokoh pergerakan Indonesia yang menggunakan analisis kelas dalam perjuangan. Ada korelasi antara Islam dan Sosialisme yaitu kesejahteraan. Yang dibutuhkan di era kiwari, pemuka agama yang mampu melakukan kritik terhadap kapitalisme. Dampak dari kapitalisme, modernisasi pertanian yang tidak membuat maju malah mengakibatkan degradasi tanah, penghisapan, buruh muslim kesuliatan ketika akan melakukan salat, dan lain sebagainya.
Meminjam istilah Ulil Absar Abdalla ihwal islam balsam, mari jangan terlalu fanatik dengan islam balsam, yang seakan-akan mengurangi progresifitas Islam. Padahal, Islam merupakan agama yang progresif sejak dahulu. Jangan sampai, pembcaan terntang Islam hanya sebatas ritual kaeagamaan apalagi among suwarga lan neraka, melainkan orientasi pada pembebasan.
Pesan penting untuk semua kalangan wabilkhsus untuk santri, mengutip kalimat dari Muhammad Al Fayyadl, “Santri harus khatam empat kitab: kitab kuning, kitab putih, kitab merah, dan kitab hijau.” Sikap kritis santri juga perlu, apalagi akhir-akhir ini, fenomena kekerasan seksual terjadi di pondok pesantren. Meminjam istilah Imam Besar Jurnaba, boleh tawadhu, namun jangan tawadhuitas brutal. Melawan feodalisme, imperialisme, kapitalisme, sangat perlu, namun salat, yasinan, ziarah, unggah-ungguh, aksi menyuarakan pendapat untuk menghidupkan iklm demokrasi, dan perkara-perkara yang lain jangan ditinggalkan apalagi dihilangkan, wqwqwq.
Yok…semangat..yok, menyongsong dunia baru (tanpa penindasan). Meski sekarang kalimat tersebut menjadi bahan tertawaan, atau hanya menjadi gembar-gembor aktivis pada masa orientasi mahasiswa baru, setidaknya, beberapa begawan yang benar-benar begawan telah mengkaji dan mengamini persitiwa tersebut apabila prasyarat-prasyarat untuk mewujudkan hal tersebut terpenuhi. Bisa lewat jalur konstitusi maupun inkonstitusi.
Dan di kabupaten dengan slogan Jer Karta Raharja Mawa Karya ini, dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro, peran akademisi sangat penting. Kondisi dan situasi di Bojonegoro tidak bisa lepas dari akademisi. Karena akademisi dilibatkan dalam pengambilan keputusan suatu kebijakan. Namun, menengok Moscow International University Ranking, perguruan tinggi di Bojonegoro yang masuk hanya Universitas Bojonegoro (Unigoro) dan Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri (UNUGIRI).
Universitas Bojonegoro (Unigoro) yang berada di Desa Kalirejo, di pemeringkatan global, Universitas Bojonegoro berada di 8708, di pemeringkatan nasional menempati posisi ke-229, dan di Jawa Timur berada pada posisi 42. Kampus kuning yang berdiri pada tahun 1981 ini, menempati posisi wahid alias pertama di Bojonegoro.
Kemudian The Green Campus ‘Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri Bojonegoro’, di peringkat global menduduki peringkat 11921, di peringkat nasional UNUGIRI berada pada posisi ke-407, se-Provinsi Jawa Timur UNUGIRI berada di peringkat 77, dan menduduki posisi runner up di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi, dimana lagi kalau bukan di Bojonegoro, Jawa Timur.
Cukup sekian kawan-kawan, catatan akhir tahun 2021 menurut versi saya. Apabila ada salah kata, atau kalimat yang menyinggung sanubari Anda, saya mengucapkan mohon maaf yang secukupnya. Karena tidak ada gading yang tak retak. Sila, kawan-kawan membuat catatan akhir tahun, dari peristiwa sekarang, angan-angan (rekaan), dan akan berlangsung dalam sidang kehidupan berupa realitas atau kenyataan. Apakah dunia rekaan Anda sesuai dengan kenyataan? Kalau sesuai Alhamdulillah, kalau mbleset ya Alhamdulillah. Karena saban peristiwa terkandung ibrah/pelajaran di dalamnya.
Saya akan menutup catatan akhir tahun 2021, dengan dua buah quote. Dari Karl Marx, “Tidak ada jalan yang mudah menuju ilmu pengetahuan, dan hanya ia yang tak gentar di setiap langkahnya dalam pendakian melelahkan itulah yang memiliki peluang meraih indahnya puncak yang terang nan bercahaya”. Dan, “Orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan, dia telah maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah pendidikannya sendiri maka orang itu telah berbuat maksiat, kita harus memikirkan perjuangan rakyat banyak.”, KH. Zaini Mun’im (Muassis Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo).