Di balik keindahan Pulau Pari yang tersurat bak nirwana, tersirat neraka agraria di dalamnya.
Indonesia memang penuh keindahan yang beraneka ragam dan warna. Juga terkenal akan keramahannya. Yang saking ramahnya hingga membuka pintu untuk orang-orang yang berniat kurang baik terhadapnya.
Seperti mencuri hatimu gugusan alam secara berlebih dengan mengeksploitasi sumber daya alam, lalu meninggalkan begitu saja saat sedang sayang-sayangnya tatkala kepentingan selesai.
Perlu digaris bawahi, Founding Parents Indonesia menggambarkan Indonesia, baik yang plus harga mati atau sekadar harga nego, sebagai negara agraris.
Di mana pertumbuhan dan pembangunan, seyogianya bertumpu pada pertanian dengan konsep kerakyatan serta keberlanjutan.
Bung Hatta pernah berkata: Indonesia tidak boleh mengabaikan dasarnya yang asli, yaitu negara agraria. Penghidupan rakyat mestilah pertanian. Mbah Hasyim Asy’ari juga menyebut bahwa Pak Tani itu penolong negeri.
Namun, sekarang ke mana arah pembangunan negara Indonesia tercinta kita ini?
Nah, saat berbicara tentang pembangunan, Ibu Kota menjadi semacam role model. Namun pernahkah kita berpikir tentang bagaimana pembangunan terlaksana?
Apakah benar-benar mengindahkan etika lingkungan? Atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebatas pantas-pantasan —kayak pacar sewaan saat kondangan untuk menghapus kejombloan dalam tempo sesingkat-singkatnya?
Saya ingin mengabarkan serpihan catatan lapangan dari suatu daerah di Ibu Kota yang berada di gugusan Kepulauan Seribu. Pada Agustus 2019 lalu, saya main ke pulau bak surga namun di dalamnya ada neraka agraria itu.
Tenang, Nabs. Itu hanya perumpamaan belaka, hehe.
Ketika bertanya ke Mbah Google soal Pulau Pari atau Pari Island, yang nampak mungkin keindahan-keindahan saja seperti birunya cinta air laut, putihnya pasir pantai, dan paket wisata.
Ingat, Nabs. Sebuah buku jangan dilihat dari cover atau sampulnya saja. Begitupun dengan Pulau Pari. Di balik keindahan yang tersurat bak nirwana, tersirat neraka di dalamnya.
Berdasar hasil interview dengan beberapa penduduk, mereka menjelaskan bahwa kata Pari merupakan akronim pelarian dari kenyataan.
Sebelum bertanya, saya membuat hipotesis bahwa nama Pari berasal dari sebuah nama ikan yaitu Pari, wkwkwk…ternyata salah kaprah, Nabs. Asemmm.
Kisahnya begini: Seorang (pelaut) yang berasal dari suatu daerah (pulau lain) kemudian melarikan diri di suatu pulau (Pari). Seiring berjalannya waktu, jumlah penduduk bertambah dan terbentuklah keluarga.
Pulaunya memang indah nan mempesona, ketika melihat gambarnya, seperti nyiur yang melambai-lambai. Memberi sinyal rayuan maut untuk bergegas menginjakkan kaki ke sana.
Namun keindahannya berbanding terbalik dengan kesejahteraan penduduk. Hal itu bermula dari persoalan agraria. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Perturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memiliki dua jenis pengertian agraria: pengertian agraria secara luas meliputi bumi, air dan ruang angkasa dan pengertian agraria secara sempit yaitu tanah.
Usut punya usut, salah seorang petinggi yang ada di Pulau Pari, meminta sertifikat tanah dari saban penduduk yang memilikinya. Entah apa yang merasuki petinggi tersebut, kemudian dia memberikannya kepada pihak luar.
Seiring berjalannya waktu, sang petinggi tutup usia. Kemudian datanglah pihak luar yang mengklaim kepemilikan tanah pulau tersebut.
Pihak luar memiliki tujuan mendirikan penginapan mewah dan tentunya ke depan kemungkinan akan mereklamasi serta seenaknya sendiri memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Pihak dari luar memanfaatkan beberapa penduduk setempat sebagai kaki tangan dengan cara merekrut jadi petugas keamanan. Klasik banget.
Mereka mengawasi gerak-gerik warga setempat, pengunjung, penjual, nelayan, dan lain-lain. Pedagang yang berjualan di Pulau Pari dengan membuat tenda sederhana juga diawasi dan diperingatkan untuk tidak berdagang.
Yah…kasihan ya, Nabs. Sudah lama tinggal di sebuah tempat dan turun-temurun keturunannya, lha kok mau digusur dan diusir. Hmmm…..kira-kira menurut Nabsky siapa yang salah? Dan bagaimana perasaanmu ketika berada di posisi pedagang itu?
Pihak luar menerapkan semacam politik devide at impera yang berniat membuat dua kutub di Pulau Pari. Ada kutub yang pro dengan pihak luar dan kontra dengannya (ingin tetap mempertahankan kelestarian Pulau Pari dan memiliki tanah).
Dan masyarakat yang masih peduli dengan alam, berjuang via dua dunia: nyata dan maya. Melalui hastag #SavePulauPari, pembaca mungkin akan mengetahui sisi lain Pulau Pari yang tak hanya keindahan saja. Melainkan terdapat banyak masalah.
Selemah-lemahnya bantuan mungkin membagikan tulisan ini, atau turut meramaikan jagat dunia maya dengan #SavePulauPari.
Agar pemerintah dan khalayak ramai tahu apa yang sesungguhnya terjadi di pualu yang berada di gugusan Kepulauan Seribu tersebut.
Sempat terjadi pelanggaran hak yang dialami pejuang lingkungan yang juga penduduk Pulau Pari dalam rangka memperjuangkan haknya.
Masalah yang terjadi di Pulau Pari, tak lepas dari urusan agraria. Seyogianya pemerintah memberi edukasi pada masyarakat tentang agraria agar menjadi masyarakat yang cerdas dalam menunaikan Reforma Agraria (RA) yang sesungguhnya.
Kalau menurut Sang Begawan Reforma Agraria, Goenawan Wiradi, reforma agraria tidak hanya diwujudkan dengan bagi-bagi sertifikat tanah saja, kalau pembagian sertifikat itu hanya sebatas kebijakan.
Alangkah baiknya jika tiap warga negara wajib memahami perihal undang-undang agraria agar tidak buta hukum. Selain itu juga seharusnya masyarakat tahu tentang politik (kebijakan).
Sebab, kondisi alam yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas ke Pulau Rote, juga merupakan hasil implementasi kebijakan yang diejawantah oleh pemerintah.
Maka dari itu, pilihlah wakil rakyat yang benar-benar tahu akan situasi dan kondisi rakyat, jangan pilih wakil rakyat yang hanya bagi-bagi cinderamata dan salam tempel uang ketika pemilu tiba.
Ina E. Slamet, kreator Pokok-Pokok Pembangunan Masyarakat Desa, mengatakan: Tujuan pokok dari pembangunan masyarakat desa ialah kenaikan produksi agraria dan pendirian atau perluasan sektor industri kerajinan dan industri kecil di daerah pedesaan.
Lantas, bagaimana arah pembangunan dan sudah sejauh manakah pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten yang katanya Lumbung Pangan dan Energi alias Bojonegoro ini?