Dalangoro bukan sekadar kisah dalang yang meninggal di oro-oro atau bengawan. Lebih dari itu, terkandung mistisisme dan historisme yang menarik untuk didiskusikan.
Dalangoro merupakan sebuah gang yang berada di Jalan Lettu Suyitno, Desa Campurejo, Bojonegoro. Sayangnya, mesin pencari sekaliber “Google” kurang akurat dalam menandai “Dalangoro”.
Bahwasanya Dalangoro merupakan sebuah “gang” yang bukan hanya sekadar “gang”, bukan sebuah “jalan”. Yang di dalamnya terkandung mistisisme dan historisme yang terbentuk dari kultur anak-anak bengawan dan manusia-manusia dalangara.
Mistisisme disini sebagai “sesuatu” yang belum ada “bukti”. Bagai sebuah “cinta atau mahabbah” yang kaya akan definisi, tetapi untuk deklarasi, saban manusia belum tentu berani. Atau dalam kalimat lain, “sesuatu yang ada namun tidak ada”.
Dalangoro terbentuk dari kisah-kisah yang identik dengan peradaban bengawan atau orang-orang dalangoro sering menyebut bengawan dengan istilah “nggawan”.
Orang-orang dalangoro (asli), dekat dengan bengawan. Sebagai wujud kecintaan dan pengejawantahan rasa syukur orang-orang Dalangoro terhadap keberadaan bengawan, dengan mengunjunginya atau sekadar bermain, nostalgia, maupun duduk-duduk santai di teras bengawan sembari menunggu azan magrib berkumandang dengan hiasan semburat cahaya jingga di atas jembatan kali ketek.
Maka tak sedikit, orang-orang dalangoro yang mencari rezeki dari bengawan. Seperti mencari ikan di bengwan kemudian dijual ke pasar, membuka warung di “gisik” bengawan, pencari pasir, dan ada juga yang pernah menjadi pembantu orang-orang yang akan mengarungi bengawan dengan perahu kayu yang sederhana nan berkesan.
Masyhur, kisah yang berkembang di orang-orang dalangoro dan sekitarnya, bahwasanya ada di titik bengawan tertentu yang “ramai” namun tidak ada eksistensi makhluk yang nampak mata sama sekali.
Hal tersebut terjadi ketika senja jatuh di dalangoro atau orang-orang dalangoro sering menyebut “sandekolo”. Ramainya itu, ibarat orang yang lalu-lalang di tempat yang ramai. Karena pada zaman dahulu, dalangoro menjadi titik penting dalam jalur pelayaran di bengawan solo atau kali sala.
Terbukti dalam prasasti Canggu (Hayam Wuruk) yang berkisah tentang titik syahbandar atau pelabuhan pada zaman dahulu yang menyebut nama i dalangara. Di belahan bumi manapun, nama “dalangara” atau “dalangoro” one and only di Dukuh Pohagung (Pagung), Desa Campurejo, Bojonegoro, Jawa Timur.
Tak jarang ditemukan “benda-benda unik” berupa koin, belulang hewan, jangkar, dan lain-lain, di gisik bengawan.
Selain itu, kisah lain yang berkembang adalah tentang “gundul pecingis” yang konon kerap muncul di sebuah lorong yang ada di Gang Dalangoro.
Lorong yang dihiasi dengan tumbuhan “maribang” yang jika malam hari menjelma sebagai lorong sepi yang mencekam. Karena di sana juga minim penerangan.
Kisah-kisah tentang genderuwo di pohon mangga, juga pernah menghiasi lorong tersebut. Nilai penting dari kisah tersebut, adalah sebagai pelajaran buat anak-anak yang masih sering bermain ketika rembulan menampakkan sinarnya. Seyogianya tidak bermain di alam pada waktu itu, melainkan mengaji di rumah atau di musala atau langgar.
Selain itu juga, ada tradisi unik yang berkembang di Dalangoro saat rembulan menampakkan wujudnya. Salah satu di antaranya, ketika gerhana bulan menyapa, orang-orang dalangoro yang punya pohon yang berbuah seperti nangka, akan memukulkan bantal ke batang pohon tersebut. Hal tersebut diyakini agar buahnya unggul dari segi kualitas maupun kuantitas. Wallahua’lam bisshawab.