Licentia Poetica, sebuah privilese dalam menabrak kaidah bahasa, dalam rangka membangun keindahan yang baru.
Secara sederhana licentia poetica adalah lisensi atau hak yang diberikan kepada seniman, entah itu sastrawan, penyair maupun pekerja seni lainnya untuk menyimpang dari kaidah bahasa yang berlaku. Licentia poetica sendiri berasal dari bahasa latin. Kata “licentia” bermakna diizinkan sementara “poetica” adalah puisi.
Menurut Cambridge Dictionary, licentia poetica disebut juga dengan lisensi artistic (artistic license), di mana seorang seniman berhak mengubah fakta supaya karya mereka menjadi lebih menarik dan indah. Penjelasan lain dikemukakan oleh Panuti Sudjiman dalam buku Kamus Istilah Sastra (1990). Sudjiman menjelaskan bahwa licentia poetica adalah sebuah “kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan untuk mencapai suatu efek tertentu”.
Dari sejumlah penjelasan tersebut bisa ditarik benang merah bahwa licentia poetica merupakan keistimewaan yang didapatkan seorang seniman dalam berekspresi. Seniman “tidak wajib patuh” terhadap kaidah – kaidah baku dalam tata bahasa atau fakta kehidupan nyata. Dari sinilah muncul berbagai karya seni indah dalam bentuk sajak, puisi, hingga lagu.
Seniman bebas menabrak kaidah berbahasa Indonesia. Mereka tak harus tunduk dengan pakem subjek – predikat – objek – keterangan atau pakem sintaksis bahasa Indonesia. Kata hubung atau konjungsi bisa ditempatkan di awal kalimat. Kata sifat bisa disambungkan dengan dengan kata kerja. Semuanya serba bebas karena licentia poetica.
Hal menarik dari licentia poetica adalah keistimewaan yang didapatkan para seniman dalam membuat istilah atau kata kiasan yang menyimpang. Baca saja puisi terkenal Indonesia yakni “Aku” dari Chairil Anwar. Ada beberapa kata kiasan yang tak hanya menyalahi kaidah bahasa tapi juga mustahil terjadi di kehidupan nyata. Namun kiasan tersebut membuat puisi tersebut jadi lebih indah. Penggalan kalimat “aku ini binatang jalang” atau “aku mau hidup seribu tahun lagi” adalah contohnya.
Konsep licentia poetica ini juga bisa ditemukan pada lagu – lagu dari musisi Indonesia. Karena punya status sebagai pekerja seni, musisi yang menciptakan lagu memiliki kewenangan dalam “membengkokkan” bahasa atau tak harus patuh dengan pakem sintaksis. Lagu hits Sheila on & berjudul “Dan” adalah contohnya.
Dalam lagu tersebut, kata “Dan” ditempatkan di awal kalimat. Padahal, “Dan” adalah konjungsi yang berfungsi sebagai penghubung antar klausa. Namun Erros Sheila on 7 yang membuat lagu “Dan” menabrak kaidah berbahasa Indonesia. Kata “Dan” sengaja ditempatkan pada awal kalimat. Ini tentu saja menyalahi aturan. Namun kembali lagi, karena licentia poetica, hal tersebut sah – sah saja.
Sempat heboh juga lagu Asmalibrasi dari Soegi Bornean. Lagu tersebut jadi sumber perdebatan karena lirik lagunya yang dianggap semrawut dan tak jelas bahasanya. Pada lirik lagu Asmalibrasi memang terdapat beberapa kata yang jarang dipakai dalam aktivitas sehari – hari. Mulai dari taksu, garwa, hingga sabda. Penyusunan kata dan kalimatnya pun dianggap berantakan. Namun kembali lagi, karena licentia poetica semua jadi sah.
Soal kata kiasan konotatif yang menyalahi kaidah bahasa, musisi Indonesia adalah jagonya. Para musisi atau pencipta lagu Indonesia sering membuat kata kiasan yang sebenarnya tak tepat secara sintaksis bahasa tapi indah ketika dibaca. Dalam lagu “Bongkar”, Iwan Fals menggunakan kalimat Robohkan Setan yang Berdiri Mengangkang untuk merujuk Pemerintah Orba saat itu.
Contoh lain bisa dilihat dari lagu terkenal milik Ebiet G. Ade yakni Berita Kepada Kawan. Salah satu penggalan liriknya adalah; coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Secara logika mana bisa kita bercengkrama dengan tumbuhan seperti rumput. Dari sisi logika bahasa tentunya salah. Namun ingatlah bahwa dalam bahasa Indonesia ada istilah majas yang juga jadi bagian licentia poetica. Sehingga, penggalan lirik tersebut jadi lebih indah dan bermakna.
Pada akhirnya, sah – sah saja “membengkokkan” bahasa dalam dunia seni. Semua diperbolehkan karena licentia poetica. Namun harus diperhatikan juga logika bahasa yang baik dan benar. Sehingga tidak ada lagi lirik macam “tatap matamu bagai busur panah”. Logikanya bukan busur panah, tapi anak panah.