Rasulullah Saw. mengambil jarak dari keramaian bukan untuk lari. Namun, untuk kembali dengan visi yang lebih jelas.
“MAS Kiai. Biasanya, setiap bulan Ramadhan, saya “beruzlah” di Tanah Suci. Selama sebulan penuh. Namun, tahun ini, kesehatan membuat saya tidak “beruzlah” di sana. Tahun ini, saya mau pulang ke Banyuwangi saja!”
Demikian ucap seorang sahabat, kepada saya. Beberapa hari sebelum bulan Ramadhan tahun ini tiba. Beda dengan tahun lalu: selama bulan Ramadhan tahun lalu, sahabat saya tersebut benar-benar “menghilang”. Ya, selama sekitar satu bulan, ia “sirna”. Saya tidak tahu, entah ke mana ia pergi. Ia merahasiakan tempat di mana ia “beruzlah”. Baru selepas Hari Idul Fitri tahun lalu datang, sebuah pesan masuk ke telpon genggam saya, “Nih, saya sudah di Jakarta. Baru dua hari kemarin, saya baru sampai setelah ‘bertapa’ di Tanah Suci!”
Mendengar penjelasan putra seorang kiai Banyuwangi, Jawa Timur yang tahun ini tidak “beruzlah” di Tanah Suci, tiba-tiba benak saya “melayang-layang”: teringat kembali kisah tahannuts yang dilakukan Rasulullah Saw. sebelum menerima wahyu. Ya, melayang-layang jauh, ke Gunung Cahaya (Jabal Nûr), Makkah al-Mukarramah.
Di puncak Jabal Nur itu, sekitar lima kilometer dari Masjid al-Haram, tersembunyi sebuah gua kecil yang menjadi saksi bisu dari momen-momen paling menentukan dalam sejarah umat manusia. Gua Hira’, begitulah ia disebut.
Sebuah tempat yang sunyi, jauh dari keriuhan kota Makkah, di mana Rasulullah Saw. memilih untuk bertahannuts—menyendiri, merenung, dan beribadah—sebelum beliau diangkat sebagai utusan Allah. Ya, sebuah gua yang menjadi saksi bisu dari persiapan spiritual seorang manusia yang dipilih untuk mengubah peradaban.
Kini, mengapa Rasulullah Saw. memilih Gua Hira’ sebagai tempat bertahannuts. Bukan tempat-tempat lai. Gua Tsur misalnya?
Gua Hira’, seperti telah dikemukakan, adalah sebuah gua yang terletak di sebelah utara Masjid al-Haram dan di punggung Jabal Nur. Tingginya dari permukaan laut sekitar 634 meter dan sekitar 281 meter dari permukaan tanah. Gua itu sendiri tidak terlalu besar dan pintunya menghadap ke arah utara.
Panjang gua tersebut hanya tiga meter. Sedangkan lebarnya sekitar 1.30 meter, dengan ketinggian sekitar dua meter. Dengan kata lain, luas gua yang satu ini hanya cukup untuk melaksanakan shalat dua orang. Sementara di bagian kanan gua terdapat teras dari batu yang hanya cukup untuk digunakan untuk melaksanakan shalat dalam keadaan duduk.
Kondisi Gua Hira’ yang demikian itu jelas merupakan tempat yang ideal di Makkah bagi Rasulullah Saw. Untuk bertahannuts. Suasana yang tenang, jauh dari keriuhan Kota Makkah kala itu, dengan jumlah warganya kala itu sekitar lima ribu orang, pandangan yang terbuka ke tempat-tempat di bawahnya, terutama pandangan ke arah Masjid al-Haram, dan pandangan ke padang pasir luas dan langit nan seakan tanpa batas, dapat dibayangkan dapat memberikan kesempatan yang tepat bagi beliau untuk “beribadah, berpikir dan mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah. Dengan menghindari hubungan dengan sesama manusia serta menyibukkan diri untuk menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi”. Rasulullah Saw. sendiri tentu telah mempertimbangkan matang pemilihan Gua Hira’ sebagai tempat bertahannuts.
Ya, di sanalah, jauh dari keriuhan kota Makkah, Rasulullah Saw. merenungkan makna kehidupannya, kehadirannya di dunia, dan tanda-tanda yang telah mengiringi perjalanan hidupnya. Tahannuts beliau bukanlah pelarian dari dunia.
Namun, persiapan untuk menghadapinya dengan kekuatan yang lebih besar. Beliau mengambil jarak dari keramaian. Bukan untuk lari. Namun, untuk kembali dengan visi yang lebih jelas.
Imam Abu Hamid Al-Ghazali, dalam karya puncaknya Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, dalam komentarnya tentang langkah yang ditempuh Rasulullah Saw. ketika bertahannuts di Gua Hira’, mengemukakan:
“Manfaat pertama (dari bertahannuts) adalah memusatkan diri dalam beribadah, berpikir dan mengakrabkan diri dalam munajat dengan Allah. Ini, dengan menghindari hubungan dengan sesama manusia serta menyibukkan diri untuk menyingkapkan rahasia-rahasia Allah tentang persoalan dunia dan akhirat maupun kerajaan langit dan bumi. Inilah yang disebut kekosongan.”
“Padahal, tiada kekosongan dalam bergaul dengan sesama. Mengisolasi diri jelas lebih baik. Malah, Rasulullah Saw., di permulaan kenabian beliau, hidup menyendiri di Gua Hira’ serta mengisolasi diri. Sehingga, cahaya kenabian dalam diri beliau pun menjadi kuat. Ketika itu, para makhluk pun tidak kuasa menghalangi beliau dari Allah. Sebab, meski tubuh beliau beserta para makhluk, namun kalbu beliau senantiasa menghadap Allah.”
Ya, di Gua Hira’, Rasulullah Saw. tidak hanya beribadah. Beliau juga merenungkan rahasia langit dan bumi, mempersiapkan diri untuk tugas besar yang akan beliau pikul. Sebab, perubahan tidak mungkin terjadi jika seseorang tenggelam sepenuhnya dalam keriuhan dunia. Ia perlu naik ke puncak, melihat dari kejauhan, dan kemudian turun
kembali dengan rencana yang matang.
Pada saat yang sama, lembaran sejarah Islam menuturkan, di balik kesunyian Gua Hira’ ada sosok yang selalu menunggu dengan setia: Khadijah binti Khuwailid. Khadijah ini bukan sekadar seorang istri. Namun, ia juga seorang sahabat yang memahami bahasa hati suaminya. Ia tidak pernah mengeluh ketika Rasulullah Saw. kerap pergi ke gua itu. Malah, di malam-malam yang pekat, ia rela menyusuri batu cadas dan kerikil untuk mengunjungi suaminya, membawakan bekal dan kenyamanan.
Khadijah binti Khuwailid sendiri kala itu sejatinya tidak terkejut dengan perilaku Rasulullah Saw. Ia telah memelajari kehidupan dan akhlak suami tercintanya jauh hari sebelum memutuskan untuk menikah dengannya. Putri Quraisy itu tahu, suaminya tidak menyenangi perbuatan menyembah berhala atau mempersembahkan kurban pada berhala.
Selain itu, ia tahu, suaminya juga senantiasa menjauhkan diri dari kebiasaan orang-orang Arab kala itu yang gemar menenggak arak, bersenang-senang, berjudi, dan hidup liar. Namun, kegemarannya merenung dan menyendiri tidak menghentikan kegiatan suaminya dalam mengurus perniagaan, penghidupan sehari-hari, pergi ke tempat perdagangan dan lain sebagainya.
Di samping itu, keputusan Rasulullah Saw. untuk menarik diri dari keramaian itu menjadikan Khadijah binti Khuwailid teringat pada pengalaman sepupunya, Waraqah bin Naufal, yang bersama tiga kawannya.
Mereka bertiga mencoba menghindari tradisi penyembahan berhala dan berusaha mencari agama Nabi Ibrahim a.s. Ia pun kembali merenungkan segala hal yang ia dengar atau alami sendiri tentang suaminya itu. Misalnya, Maisarah pernah bercerita kepadanya tentang ramalan kenabian suaminya.
Khadijah binti Khuwailid berpikir, apakah keputusan suaminya untuk mengasingkan diri itu merupakan bentuk persiapan sebelum menerima risalah dari langit? Pikiran itu, antara lain, yang membuat Khadijah dapat memahami dengan baik niat suaminya untuk bertahannuts di Gua Hira’.
Karena itu, ketika sang suami tercinta kian kerap mendatangi Gua Hira’, tidak sekali pun Khadijah binti Khuwailid pernah mengeluhkan kepergian suaminya.
Lantas hari itu, tepatnya pada Ramadhan 610 M (Senin, 17 Ramadhan, menurut Muhammad bin Sa‘ad), Rasulullah Saw. sedang khusyuk bertafakkur di Gua Hira’. Tiba-tiba beliau mendengar suara yang menggema sangat kuat di seluruh dinding gua memanggilnya. Suara itu seakan datang dari atas.
Lalu, tampak di hadapan beliau sesosok tubuh besar seakan memenuhi gua. Sosok yang diselubungi cahaya berpendar menyilaukan itu lantas berucap tegas, “Muhammad! Engkaulah adalah Utusan Allah.”
Rasulullah Saw. pun berlutut. Perasaan takut menyergap kuat dirinya. Sosok itu kemudian berucap lagi, “Muhammad! Aku adalah Jibril dan engkaulah adalah Utusan Allah!” Lalu, sosok itu memperlihatkan kepada Rasulullah Saw. sebuah lembaran yang terlipat dalam kain sutra dan memerintahkan kepadanya, “Bacalah!”
“Aku tidak kuasa membaca,” jawab Rasulullah Saw. Terbata-bata dan kebingungan.
Mendengar jawaban Rasulullah Saw. yang demikian, Malaikat Jibril lantas memeluk kuat beliau. Lalu, Malaikat Jibril melepaskan beliau seraya berucap keras, “Bacalah!”
“Aku tidak kuasa membaca,” jawab Rasulullah Saw. Kian kebingungan.
Malaikat Jibril pun memeluk Rasulullah Saw. sekali lagi. Kuat sekali. Hingga beliau nyaris tidak kuasa bernapas. Lalu, Malaikat Jibril kembali berucap keras, “Bacalah!”
Karena khawatir Malaikat Jibril akan memeluknya dengan sangat kuat lagi, Rasulullah Saw. pun menjawab, “Apa yang harus kubaca?”
Ternyata, Malaikat Jibril tetap memeluk Rasulullah Saw. Sekuat pelukan sebelumnya. Lalu, Malaikat Jibril membacakan, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-‘Alaq [96]: 1-5).
Rasulullah Saw. kemudian mengejanya. Dituntun Jibril yang kemudian segera meninggalkannya dengan tiada hentinya berpesan kepada beliau, “Muhammad! Engkaulah adalah Utusan Allah.”
Pengalaman pertama kali menerima wahyu ini sungguh luar biasa. Hingga menggetarkan hati dan pikiran Rasulullah Saw. Wahyu itu juga disertai dengan kepastian bahwa pengantar wahyu itu adalah malaikat. Bukan kekuatan psikis atau jinn. Wahyu yang turun itu menggema ke seluruh semesta alam dan mengubah suasana di sekitar beliau. Gema itu menimpa beliau seakan suatu pukulan dan beliau mendengar kegaduhan keras dan bertalu. Laksana beribu suara genta.
Selama 23 tahun selepas kejadian di Gua Hira’ itu, kapan saja menerima wahyu, Rasulullah Saw. senantiasa merasakan tekanan hebat. Beliau akan berkeringat dan manakala beliau sedang naik unta atau kuda, hewan-hewan itu pun terbungkuk di bawah tekanan titah yang turun dari Allah Swt.
Kini, Gua Hira’ tetap berdiri, menyimpan kenangan tentang momen-momen spiritual yang mengubah sejarah. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya mengambil jarak dari keramaian, merenung, dan mempersiapkan diri untuk tugas-tugas besar dalam hidup.
Bila suatu hari Anda berziarah ke Makkah, luangkanlah waktu untuk mendaki Jabal Nur, duduk di depan Gua Hira’, dan merenungkan kisah tahannuts Rasulullah Saw. Di sana, di balik kesunyian, Anda mungkin akan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup Anda. Sebab, seperti kata Imam Abu Hamid al-Ghazali, “Kekosongan dalam bergaul dengan sesama adalah awal dari kedekatan dengan Allah.