Manusia selalu berada dalam kurungan jarak dan waktu yang relatif. Bukan soal dekat, bukan soal momentum. Tapi soal kesiapan dan kesungguhan. Hal itu absolut dalam menjalin sebuah hubungan.
Konon tiada kisah yang paling indah selain kisah kasih di sekolah. Begitu lirik sebuah lagu. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi Ady. Barangkali Ady adalah anomali. Pengecualian dari arus remaja sekolah kebanyakan.
Saat teman-temannya gempita dengan pedekate, jadian, dan pacaran, masa SMA Ady sangat menyenangkan: bermain, bersenang-senang, ke sana ke mari dan tertawa.
Ady merasa menjadi manusia merdeka yang bebas dari aneka tanya dan curiga yang posesif: “Sedang apa, di mana, sama siapa?”.
Tahun kedua selepas lulus SMA, barulah Ady pernah memiliki teman dekat. Seorang wanita, tentu saja. Tetapi itu bukan hubungan percintaan yang dilekatkan dengan ekspresi sayang. (Proklamasi di awal ini penting. Dia “berteman dekat” tetapi bukan dalam hubungan cinta kasih). Absurd, eh!
Wanita itu mahasiswi ilmu jiwa Kampus Biru. Beda jurusan dan fakultas dengan Ady yang di jurusan idaman laki-laki: teknik. Mereka bertemu karena satu organisasi. Mereka nyambung: karena sama-sama introvert: kaku; dan paling utama, buku. Mereka sering bertukar pinjam buku sekaligus tukar pikiran.
Tidak ada perasaan lebih, sebatas merasa dekat dan nyaman. Oh, absurd. Ady bahkan pernah diminta menggantikan ortunya untuk mengambilkan rapor sekolah adiknya. Ya, dekat. Ya, nyaman. Tidak lebih. Begitu saja hingga tahun 2009. Lalu berlalu begitu saja.
Demam media sosial pertemanan semisal facebook menjadi ajang saling berjejaring. Jejaring pertemanan, nostalgia, dan memulai pertemanan baru. Yap, lewat jejaring facebook, Ady kenal dengan adik kelas SMA-nya yang kuliah di kampus Jaket Kuning.
Ady dan teman-dekat-wanita-barunya itu sebelumnya tidak kenal semasa SMA. Tab like, komentar, dan pesan facebook menjadi jembatan untuk Ady menjadi dekat dengan teman barunya itu. Tentu, berlanjut ke layanan pesan singkat lewat ponsel.
Seberapa dekat Ady? Ady pernah diaku teman wanitanya ini sebagai ‘calonnya’ ke teman-teman kantornya. Entah, calon apa. Pasalnya dia dikejar-kejar seorang pria teman kantornya. Entah sebagai decoy saja atau kode. Ady tidak paham. Atau pura-pura tidak paham. Begitu saja berlalu hingga 2012.
Periode 2013 hingga 2015 Ady sempat berkenalan. Lagi-lagi diklaim dekat dengan seorang wanita yang ternyata adik kelas semasa sekolah menengah. Yogya dan Kampus Biru, alasan mereka berkenalan. Seberapa dekat?
Ady menjadi sosok yang dikirimi surat dalam sebuah sayembara. Ya surat cinta selama sebulan. Namun, lagi-lagi, sebatas dekat. Lalu berlalu begitu saja.
Konon, peristiwa dalam sejarah itu terjadi karena perjumpaan antara kesiapan diri dan momentum yang tepat. Termasuk, sejarah jalinan teman-dekat dengan seorang wanita. Momentum menjadi dekat sering kali datang dan menyapa, tetapi diri tidak siap.
Hasilnya hubungan yang lebih serius tidaklah terjalin. Pun sebaliknya: Kesiapan matang namun momentum tak jua menjelang. Nasib memang kesunyian masing-masing. Begitu dia menggerutu.
Hingga akhir 2015, di awal Desember, Ady berjumpa dengan seorang wanita di sebuah pojokan toko buku di salah satu kota besar. Perjumpaan 1,5 jam itu berakhir dengan sebuah keputusan yang diambil lima hari berikutnya: menjalin hubungan lebih serius, bukan hubungan teman dekat. Tepat, akhir tahun, Ady melamar wanita itu. Perjumpaan momentum dan kesiapan diri. Eureka!
**
Konon, persoalan yang sering dibahas filosof adalah soal ruang dan waktu. Dua hal itu melingkupi manusia selalu. Jarak membentang jauh-dekat. Waktu berjalin-kelindan dengan momentum.
Manusia akan selalu berada dalam kurungan jarak dan waktu yang relatif. Dan manusia pula yang memandang kerelatifan itu. Bukan soal dekat, bukan pula soal momentum. Tetapi soal kesiapan dan kesungguhan. Hal itu absolut dalam menjalin sebuah hubungan.