Why wolud you have to go and make things so complicated?
I see the way you’re acting like you’re somebody else
Gets me frustrated….
Saat berkendara pulang ke rumah, radio yang kudengarkan kebetulan sekali menyajikan lagu yang liriknya di atas. Lagu berjudul Complicated itu pernah beken dan terkenal di masa-masa aku menginjak sekolah menengah atas.
Penyanyi wanita kelahiran Kanada populer dengan tampilan tomboi yang menjadi ciri khasnya. Tepat, namanya Avril Lavigne.
Memasuki usia SMA di kota besar, di usia 14 tahun, tentu aku mengalami cultural gap yang cukup kentara. Yang tentu mencolok sekali adalah terkait fashion dan style. Baik dalam urusan pakaian, kendaraan, penggunaan teknologi, dan selera musik.
Merek-merek seperti Spyderbilt, Planet Surf, Ocean Planet, dan style sejenis. Begitu juga untuk sepatu merek Adidas, Nike, Reebok, dengan segala varian dan keluaran terbaru dari Planet Sport.
Tidak kalah adalah telepon genggam berbagai merek dan selalu update keluaran terbaru menjadi tolok ukur kekayaan. Selera musik begitu asing bagiku, pada awalnya.
Slipknot, Limp Bizkit, Linkin Park, Blink 182, System of a Down, di antara nama-nama grup band yang populer. Nada dering telepon genggam mayoritas diambil dari lagu-lagu band tersebut.
Jujur saja, telingaku tidak begitu ramah dengan musik yang menghentak dan cadas seperti itu. Pada mulanya. Lama-kelamaan suara lengkingan Chester Bennington begitu akrab di telinga. Satu-persatu lagunya Linkin Park menjadi kesukaan.
Belum lagi My Generation, My Way, dan Rollin’ dengan melodi dan hentakan drum ala Limp Bizkit masuk ke dalam katalog lagu yang dapat diterima oleh telingaku.
Berturut kemudian beberapa lagu dari Blink 182 serta Green Day dengan American Idiot, Basket Case, serta Boulevard of Broken Dreams. Kalau Slipknot, jujur, telingaku tidak mampu mencerna dan menerima dengan baik.
Grup-grup band yang juga mulai akrab di telingaku saat itu adalah Hoobastank, Red Hot Chili Peppers, Creed, Incubus, Goo Goo Dolls, Matchbox Twenty, Audioslave, U2. Tidak ketinggalan irama muaik khas dari Muse, Coldplay, Radiohead, the Cranberries enak didengar.
Dan, Avril Lavigne menjadi pembeda: Penyanyi solo wanita dengan gaya-gaya punk. Apalagi dengan hit lagunya Sk8ter Boi. Masih jadi pertanyaan, kenapa judul lagunya “boi”, dan bukan “boy”.
Lingkungan, sekali lagi, memberi dampak besar bagi perkembangan seseorang dalam berbagai bentuknya. Baik yang menuju interaksi resiprok positif ataupun negatif.
Gegar budaya, gap kebudayaan, selalu terjadi setiap ada perjumpaan antarbudaya. Langkah yang tepat tentu adaptif dan bukan adoptif. Penyesuaian secara evolutif, bukan penerimaan serta-merta tanpa reserve.
Sebelum sampai rumah, radio yang sama memutar lagu Simple Plan yang menyentuh: Perfect. “I am sorry i cant be perfect,” anakku Ibrahim menirukan lirik lagu ini. Ya, Nak, menjadi anak dan bapak yang sempurna itu mustahil.
Saat anak dibiasakan untuk berucap “minta tolong”, “maaf”, dan “terima kasih”, orang tua sebenarnya adalah teladan untuk mempraktikkan “kata-kata sakti” itu tanpa ego di depan anak. Ya, kan?