Saat web Jurnaba terancam mati karena masa domainnya telah habis, kalimat “ditakdir hidup saja sudah cukup” benar-benar terasa jadi doa dan mantra yang sangat menguatkan.
Hemat pangkal kaya dan berharap pangkal kecewa, tentu jadi kalimat yang lumrah dijumpai di sejumlah konten Jurnaba. Sebab memang, ada indikasi bahwa kekecewaan lahir dari harapan.
Meski begitu, bukan berarti kita tak boleh berharap. Berharap itu penting agar kita tetap tampak seperti manusia biasa. Manusia yang memang memiliki fasilitas pengharapan.
Sialnya, menjadi manusia di zaman post-truth dan era post-industrial society seperti saat ini, mendorong kita jadi makhluk yang lihai berkompetisi dan saling berpengharapan lebih.
Dan karena budaya berpengharapan lebih tersebut, kita jadi rentan kecewa. Kenapa? Ya karena ada indikasi bahwa dalam hidup ini, kekecewaan lahir dan hadir karena sebuah harapan.
Coba kalau mau tak berharap, kita tak mungkin kecewa. Kalaupun kecewa ya kecewa yang biasa-biasa saja. Tapi memang bisa, nggak berpengharapan blas? Nggak bisa dong. Manusia, Je.
Saya tumbuh dalam sebuah tradisi keluarga yang unik. Orang tua saya mengajarkan pada saya untuk tak melabeli cita-cita secara berlebihan. Bercita-cita ya sewajarnya saja biar tampak seperti manusia pada umumnya, tapi cita-cita jangan terlalu dipikirkan. Biar tak terbebani.
Kata Ibuk, kalau punya cita-cita yang benar-benar ingin digapai, cukup ucapkan dalam hati, sholawati, lalu biarkan diurus sama Tuhan. Yang diulang-ulang sholawatnya, bukan apa cita-citanya. Jangan sering-sering mengingatkan Tuhan. Itu jelas tidak sopan. Lha wong Tuhan tidak bisa lupa kok diingatkan terus.
Praktis. Sejak kecil saya tak terlalu memikirkan cita-cita. Karena bagi saya, ia cukup ditaruh di dalam hati saja. Dulu kalau ditanya cita-cita saya apa, saya akan bilang “membahagiakan orang tua”. Hhe ~
Bagi saya, jawaban itu sangat menyelamatkan, meski sesungguhnya klise dan tidak jelas. Tapi setidaknya si penanya tak akan bertanya lebih jauh tentang cita-cita.
Saat memasuki usia remaja dan sedang senang-senangnya menghimpun banyak angan-angan, saya pernah dipanggil dan dipeseni Kiai saya untuk tak terlalu berangan-angan. Angan-angan, kata Kiai, memang baik sebagai motivasi hidup, tapi hakekatnya buruk karena membebani dan memicu kecewa.
“Besok itu ghaib, kamu tak tahu entah masih hidup atau tidak. Kalau bisa jangan terlalu punya angan-angan berlebihan.” Kata beliau.
Kalimat itu saya dengar saat saya duduk di bangku SMP. Dan hingga kini, rasanya masih terngiang-ngiang di telinga. Terlebih, saat kami sowan ke ndalem, beliau masih sering berpesan: sesok iso mangan wae kui wes jagoan (besok masih bisa makan saja sudah jagoan).
Saya mengingat, masa kecil saya dipenuhi banyak wasiat tentang standar hidup minimal. Tentang hidup yang esensial. Dan saya baru sadar jika tujuan wasiat itu sangat jelas: agar saat diberi anugerah berlebih bisa syukur, dan saat keinginan tak tercapai, tak terlalu kecewa.
Saya pernah menyimpulkan, ditakdir pernah hidup di dunia saja sudah merupakan anugerah besar. Sebab dari hidup itu; kita bisa mengenal orang lain, mengenal hobi, mengenal tempat wisata, hingga tentu saja, mengenal rasanya jatuh cinta. Coba bayangkan andai kita tak pernah dihidupkan, apakah kita akan merasakan itu semua?
Kematian Jurnaba, Mantra dan Doa-doa
Di akhir September, kawan baik saya mengingatkan jika pertengahan Oktober ini, Website Jurnaba akan mati. Sebab, masa kontrak domain hosting telah selesai satu tahun. Kawan itu bertanya, apakah saya akan memperpanjangnya? Mumpung masih ada waktu.
Tak butuh waktu lama bagi saya untuk menjawab pertanyaan kawan saya itu: Tidak, tidak diperpanjang, jawab saya. Biarkan masa aktif Jurnaba mati. Ini masa pandemi dan masa sulit. Sehingga orang-orang akan memaklumi kalau Jurnaba tak bisa diaktifkan lagi.
Saya memang sempat menyesal menjawab seperti demikian. Karena bagaimanapun, Jurnaba harus tetap hidup sebagai wasilah energi positif. Tapi mau gimana lagi, kenyataan juga harus diterima. Tepat tanggal 25 dan 26 dinihari, Jurnaba wafat.
Saya merasa sangat sedih sekali. Sebuah kesedihan khas lelaki yang hanya bisa digambarkan dengan sikap diam. Lalu tiba-tiba saya ingat wajah Ibuk, ingat pesan Kiai, dan ingat kalimat: ditakdir hidup saja sudah cukup. Ditakdir pernah hidup saja sudah cukup.
Ya, Jurnaba pernah hadir di dunia saja, itu sebuah anugerah. Saya tak perlu muluk-muluk. Saya tak perlu berharap lebih. Setidaknya Jurnaba sudah pernah hadir dan pernah memberi manfaat, itu sudah cukup.
Bukankah sejak kecil saya sudah terbiasa diajari menggunakan standar hidup yang minimal dan esensial?
Menyadari hal itu, hati saya tiba-tiba bisa tenteram begitu saja. Ya sedikit cemas sih tapi banyak tentramnya. Dan kalimat “ditakdir hidup saja sudah cukup” bisa memperlebar ruang diafragma dada saya.
Tanggal 26 siang, kawan saya memberi kabar jika Jurnaba sudah bisa hidup lagi. Katanya, ada gerombolan energi positif yang bahu-membahu menghidupkan Jurnaba. Tak tahu entah dari mana asalnya.
Mendengar degup kebahagiaan itu, saya tak tahu harus berkata apa. Yang jelas, rasa syukur terasa meleleh dan merembes di tiap pori-pori tubuh saya.