Daripada mengutuk ketidakbahagiaan, lebih baik menjaga dan merawat degup kebahagiaan. Bersama-sama, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, Nabs, Nyo!
Sore tadi, istri mengirimkan sebuah foto kepadaku. Foto itu menggambarkan potret anak kami yang belum genap empat tahun sedang bermain di taman depan rumah kami sambil menikmati rintik-rintik air hujan.
Sebuah senyum tampak jelas di foto itu sebagai penanda wujud kebahagiaan. Tanpa semiotika ndakik-ndakik diperoleh kesimpulan: bermain hujan-hujanan adalah sumber kebahagiaan bagi anak-anak.
Lain lagi cerita sepasang remaja sekolah menengah bernama Rangga dan Cinta. Melly Goeslaw menggambarkan sumber kebahagiaan lewat lirik sebuah lagu tema dari film yang mengisahkan kisah dua anak manusia itu.
“Ingin kulukis semua hidup ini dengan cinta dan cita yang terindah, masa muda yang ‘tak pernah ‘kan mendung, ku bahagia.” Cinta dan cita-cita yang tumbuh di masa muda adalah energi kebahagiaan.
Beberapa hari lalu aku membaca buku tulisan dosen paikologi UGM. Di dalam salah satu bagian buku itu ada kalimat yang menunjukan indikator kecemasan dan ketakutan yang dibayangkan akan dialami ketika tua.
Kesendirian adalah hal yang paling ingin dihindari saat usia tua. Dikelilingi orang-orang tersayang, adalah sumber kebahagiaan di usia tua.
Deskripsi di atas tentu bukan bermaksud untuk membatasi konsep kebahagiaan dalam setiap tahapan usia. Setiap orang, berapapun usianya, dan bagaimana keadaannya memiliki konsepsi dan sumber kebahagiaan sendiri.
Berusaha memberi konsepsi dan batasan, tentu akan menjadikan kebahagiaan tidak lagi sederhana. Kebahagiaan berada dalam kausalitas yang terbatas.
Bahagia itu sederhana, begitu jargon beken kekinian. Bisa jadi, tidak perlu alasan dan teori rumit untuk merasakan kebahagiaan. Namun, petuah da Vinci ini penting diresapi: “Kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi.”
Justru karena sederhana, orang tidak merasa itu adalah kebahagiaan. Memaknai kebahagiaan secara sederhana tidaklah sesederhana jargonnya. Perlu keinsafan untuk bisa meresapi jargon.
Karena jika tidak, “bahagia itu sederhana” menjadi tidak sederhana.
Petang ini, Mas Rizky menghadirkan kebahagiaan sederhana: Ditakdir hidup saja sudah cukup. Sebuah konsep sikap hasil tirakat tingkat dewa. Menerima jalannya hidup sebagaimana harus dijalani. Tanpa beban ekspektasi yang memberatkan.
Kebahagian adalah nerimo sembari mengupayakan. Bukan nerimo yang sekadar nerimo. Kebahagiaan adalah merintis jalan, sebagaimana takdir menuntun, asal terus cekelan Rahmat Tuhan. Tak peduli bagaimana ujungnya.
Kebahagiaan sebagaimana nyala, apapun tantangan dan kerumitannya, harus bersama-sama dijaga agar tidak padam. Energi kebahagiaan sudah seharusnya dijaga elan-nya agar kita tidak menyesal dan mengutuk ketidakbahagiaan.
Daripada mengutuk ketidakbahagiaan, lebih baik menjaga degup kebahagiaan. Bersama-sama, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, Nabs, Nyo!