Dakwah dalam Sunyi, Cahaya dalam Diam
“Ya Allah, limpahkan kasih sayang-Mu kepada mereka yang hadir di Masjid Al-Jabbar hari ini.” Entah kenapa, gumam demikian itu meluncur pelan dari bibir saya, seakan bisikan hati yang tiba-tiba teringat pada sesuatu atau seseorang.
Pada awal bulan ini. Saat itu, di hadapan saya yang diminta untuk memberikan sambutan, ribuan pengajar Alquran duduk rapi, dengan wajah-wajah penuh kesungguhan. Mereka datang dari berbagai wilayah Banten, Jakarta, dan Jawa Barat. Namun, entah mengapa, seakan kedua mata saya tak melihat mereka.
Pikiran saya melayang jauh, menerobos lorong waktu: kembali ke suatu masa di mana dua sosok kiai mengajari saya arti ketawadhu’an tanpa kata.
1974-1976, Krapyak, Yogyakarta.
Sebagai pesantren besar, pesantren yang berada di ujung paling selatan jalan dari arah Beteng Selatan, Yogyakarta itu kerap menerima banyak tamu. Utamanya untuk bersilaturahmi dengan KH Ali Maksum (1915 -1989), mantan Rais ‘Am PBNU, yang juga guru besar Tafsir Alquran di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Kala itu, tamu-tamu yang datang ke pesantren tidak hanya para orang tua santri. Namun, juga para kiai dan pejabat. Di antara para pejabat, yang kerap bersilaturahmi adalah seorang menteri agama yang pernah menjadi murid Pak Ali ketika menjadi santri di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur: Prof. Dr. A. Mukti Ali (1923 – 2004).
Tokoh terakhir tersebut, seingat saya, setiap Hari Idul Fitri, senantiasa sowan kepada Pak Ali. Hingga pun ketika tokoh yang asal dari Cepu, Jawa Tengah itu sedang menjabat sebagai Menteri Agama. Saya lihat, setiap kali sowan, Prof. Dr. A. Mukti Ali senantiasa mencium tangan gurunya itu. Lama dan penuh hormat: sikap sangat menghormat yang biasanya dilakukan oleh para santri kepada para kiai. Indah sekali!
Sebagai pengurus pesantren, kami (saya dan para pengurus pesantren kala itu) senantiasa diberitahu tentang para tamu yang akan bersilaturahmi. Bagi saya pribadi, ada dua “tamu” yang senantiasa saya nantikan kehadiran mereka: Mbah KH Abdul Hamid Pasuruan (1914 – 1982) dan Mbah KH Arwani Amin Kudus (1905 – 1994).
Mbah KH Abdul Hamid (dari Pasuruan, Jawa Timur) adalah seorang kiai yang senantiasa berbusana putih dari ujung rambut hingga ujung kaki. Serbannya selalu rapi, sarungnya bersih, dan wajahnya, oh, wajahnya, bagaikan bulan purnama yang memancarkan cahaya teduh.
Setiap kali beliau datang, Pak Ali Maksum — Rais ‘Am PBNU yang juga guru saya — langsung menyambutnya dengan hangat. Usai melaksanakan shalat Subuh, mereka berdiri di depan mihrab, dan para santri berbaris rapi, antri untuk bersalaman, mencium tangan mereka yang lembut.
Dalam situasi yang demikian itu, saya selalu memilih menjadi yang terakhir.
Bukan karena enggan. Namun, karena saya ingin menikmati momen itu lebih lama. Saat tangan kanan saya menyentuh tangan beliau, terasa bagaikan menyentuh sutra yang dirajut dari ketulusan. Hal itu saya lakukan perlahan, mencium tangan beliau dalam-dalam, seakan ingin menyerap setiap tatap ketenangan yang memancar dari telapak tangan beliau. Pada saat demikian, ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata: sebuah ketenangan yang meresap hingga ke tulang.
Lalu, ada Mbah K.H. Arwani Amin dari Kudus, Jawa Tengah. Jika Mbah Abdul Hamid adalah keteduhan, maka Mbah Arwani adalah kebeningan. Wajahnya bening, bicaranya lembut, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti madu yang menetes pelan: meresap ke dalam hati. Beliau adalah ahli tahfizh, guru para penghafal Alquran, dan tak pernah sekalipun saya mendengar suaranya meninggi.
Yang paling saya ingat, beliau selalu berbicara dengan bahasa Jawa halus. Malah, kepada anak kecil sekalipun. Bukan sekadar hafalan, beliau mengajarkan akhlak Alquran. “Seorang hamil Alquran harus menjadi cerminannya,” begitu pesannya. Dan ribuan muridnya tumbuh bukan hanya sebagai penghafal Alquran. Namun, sebagai manusia yang hidup dalam naungan adab.
Di sisi lain, dua kiai itu tak pernah terjun ke gemerlap politik. Tak pernah berteriak di mimbar, tak pernah mengejar popularitas. Dakwah mereka mengalir bagaikan sungai: tenang, tapi menghidupi. Dalam diam, dalam sunyi, mereka menanam benih-benih kebaikan yang tumbuh menjadi pohon rindang.
Kini, mereka telah kembali ke haribaan-Nya. Namun, warisan mereka tetap hidup: dalam setiap santri yang rendah hati, dalam setiap hafizh yang menjaga adab, dan dalam setiap kalbu yang mereka sentuh.
“Ya Allah, peluklah mereka dengan rahmat-Mu. Dan hadirkanlah di bumi ini penerus merek: manusia-manusia yang membawa damai, seperti mereka dulu menghadiahkannya untuk kami. Âmîn yâ Mujîbas Sâ’ilîn.”