Dua senjata keramat ini terbukti amat mujarab memaklumi orang lain dan meredam-teduhkan kemarahan.
Setiap kali menemui atau berkomunikasi dengan orang baru dikenal, secara otomatis pikiran saya akan mengidentifikasi orang itu dengan dua pertanyaan mendasar; dibesarkan melalui cara apa? dan di lingkungan seperti apa dia tumbuh? sehingga dia menjadi sosok yang terlihat di depan mata saya, seperti saat ini.
Dua pertanyaan mendasar itu yang membikin hati saya adem, kala berhadapan dengan sosok makhluk hidup, dalam hal ini manusia, yang cukup menyebalkan dan mengecewakan dan membuat mood positif agak menurun. Dua pertanyaan itu adalah senjata peredam amarah saya.
Saat menemui orang yang hobi marah-marah, yang karena perkara sepele saja sudah marah, tentu rasanya ingin mengirim misil balistik ke arahnya, agar tak ada lagi kemarahan yang keluar darinya.
Tapi saya berpikir, bisa jadi, semasa kecil dia sering banget dimarahin orang terdekatnya. Dia dibesarkan dengan kemarahan. Dan lingkungan masa kecilnya mengajari itu. Sehingga, tabiat itu menjadi satu-satunya keahlian alami yang dia miliki. Menyadari itu, saya pun jadi kasihan. Dan saya gak jadi marah.
Saat menemui orang ngeyelan, kolot, dan jarang mau dengar ucapan orang lain. Tentu saja, berhadapan dengan orang macam itu rasanya pengen ngantemke asbak ke mukanya. Lha wong sudah terbukti gak kompeten, kok masih mbantah pakai argumentasi yang lemah dan gak jelas.
Tapi saya berpikir, bisa jadi, semasa kecil, orang macam ini jelas kerap diperlakukan orang terdekatnya seperti itu. Dia sering dieyel sama orang terdekatnya. Dikoloti dan tak diberi kesempatan berbicara oleh orang terdekatnya. Menyadari itu, saya ngga jadi marah, saya justru kasihan.
Saat menemui orang sombong yang kerap meremehkan dan menyepelekan orang lain, yang sok-sokan keren — tapi cuma perasaan dia aja, sebab orang lain enggak merasa — tentu rasanya pengen menaruh tembok tepat di mukanya, biar dia bisa berkaca, itu pun kalau bisa.
Tapi, saya berpikir, bisa jadi, semasa dia kecil, dia sering disombongi orang terdekatnya, sering diremehkan dan disepelekan orang lain. Dengan cara itu dia tumbuh menjadi manusia. Sehingga dia menyimpan keinginan untuk melakukan hal yang sama, kelak ketika dewasa. Saya pun jadi kasihan. Tak jadi marah berhadapan dengannya.
Saat menemui orang yang tak bisa dipercaya. Yang tiap diberi kepercayaan selalu mbleset dan ember bocor kemana-mana, misalnya, tentu rasanya pengen ngecos rokok tepat di mulutnya. Biar mulutnya kembali normal.
Tapi saya langsung berpikir, bisa jadi, semasa kecil dulu, dia sering melihat dan diperlakukan semacam itu oleh orang-orang terdekatnya. Sehingga dia tumbuh dalam lingkungan semacam itu. Dan ketika dewasa, tabiat itu menempel alami dalam tubuhnya. Saya tentu kasihan. Dan saya tak jadi marah karena itu.
Saat menemui orang dewasa yang manja, yang saat mengerjakan kewajiban harus diminta dan diingatkan terus menerus, tentu rasanya pengen nggoyang kopi panas tepat di kepalanya, biar kepalanya mudah sadar akan kewajiban.
Tapi, lagi-lagi, saya kembali berpikir, bisa jadi, semasa kecil yang bersangkutan kurang mendapat perhatian dari orang-orang terdekatnya. Sehingga ketika dewasa, diperhatikan adalah tujuan yang amat mulia. Tentu saya jadi kasihan. Tak tega memarahinya.
Dua senjata keramat ini terbukti amat mujarab memaklumi orang lain dan meredam-teduhkan kemarahan. Dua senjata keramat peredam kemarahan ini amat sepele. Tapi ia terbukti mujarab meneduhkan perasaan sebal akibat metabolisme sosial yang kerap memancing amarah.