Hari ini Disha meminta Riki untuk mengantarnya ke rumah salah satu pamannya. Disha memang ada perlu dengan saudara kandung dari Ibunya tersebut.
Setelah jam kerja selesai, mereka berdua pun langsung melaju ke rumah sanak famili Disha yang letaknya cukup jauh dari perkotaan tersebut. Tak sampai setengah jam, motor yang mereka gunakan akhirnya sampai ke tujuan.
Kediaman dari Paman Disha ini memang cukup unik. Di samping rumah terdapat kebun yang cukup luas. Kebun tersebut ditanami dengan berbagai macam sayuran dan juga buah-buahan, mulai dari kentang, wortel, kubis, jeruk, pisang hingga semangka.
Bagi anak yang tinggal dan besar di perkotaan, pemandangan ini tentu menjadi sesuatu yang tak biasa bagi Riki dan Disha.
“Rumah pamanmu unik juga ya Sha,” ucap Riki yang tak bisa melepaskan pandangannya dari luasnya kebun pinggir rumah itu.
“Aku juga baru tahu kalo sekarang rumahnya bisa jadi seperti ini. Terakhir kesini kebun itu belum ada lho,” jelas Disha yang tentunya juga masih keheranan.
Riki yang terlihat masih takjub dengan apa yang dilihatnya kemudian mendekat ke kebun yang luas tersebut. Sementara Disha mendekati pintu rumah untuk kemudian mengetuknya dan mengucapkan salam berkali-kali.
Nampaknya penghuni rumah sedang tidak ada di tempatnya karena tak ada yang menjawab ketukan pintu maupun salam yang diucapkan. Disha pun menyusul Riki yang berjalan-jalan di sekitar kebun yang penuh dengan buah dan sayur mayur.
“Van, kayaknya pamanku lagi keluar rumah nih, dari tadi nggak ada yang jawab salam,” ujar Dhisa kepada Riki.
“Sha, enak juga ya punya rumah yang di sekelilingnya ada kebun kayak gini. Kalau mau masak sayur tinggal metik-metik sendiri. Kalau mau bikin jus juga tinggal ngambil buahnya langsung. Besok kalau aku udah nikah, aku pengen tinggal di rumah seperti ini sama istriku. Aku bakal nanam tomat, ketimun, sawi, melon, jambu kalau perlu buah naga. Pokoknya aku bakal hidup bahagia sama istriku di tempat seperti ini,” khayal Riki yang tak menghiraukan penjelasan Disha tadi.
“Emang kamu mau nikah sama siapa?” timpal Disha.
“Sama siapa ya? Kamu mau nggak nikah sama aku?” ujar Riki.
“Ogah!” teriak Disha.
***
Hampir setengah jam berlalu dan Disha belum juga bisa menemui pamannya. Dicoba untuk hubungi lewat telfon pun tak bisa.
“Rik, gimana nih?”
“Apanya yang gimana?”
“Nggak ada tanda-tanda kehidupan nih. Apa balik aja ya?”
“Tunggu aja dulu, sambil santai-santai di sini. Enak. Adem,”
“Yaudah deh, kita tunggu setengah jam lagi ya. Kalau tetap nggak ada kita pulang,”
Disha dan Riki pun akhirnya hanya bisa menunggu. Mereka duduk di teras rumah sambil memandangi kebun luas. Bagi dua muda-mudi perkotaan seperti mereka, pemandangan kebun disertai hawa sejuk adalah sesuatu yang sulit didapatkan.
“Eh Sha, kamu mau jeruk nggak?”
“Mana ada jeruk?”
“Itu,” kata Riki sambil menunjuk pohon jeruk yang sudah berbuah.
“Ambil dari situ? Ngawur aja!”
“Lho, kan kebun pamanmu sendiri,”
“Eh jangan Rik, belum izin, nunggu pamanku aja,”
“Nggak apa, ambil dua buah cukup kok,”
Seakan tak menghiraukan Disha, Riki langsung beranjak dari tempat duduknya dan menuju pohon jeruk yang sudah berbuah lebat. Disha yang tahu kalau Riki adalah seorang yang keras kepala hanya bisa geleng-geleng kepala.
Riki dengan berani mengambil dua buah jeruk yang warnanya sudah menguning. Setelah memetiknya, Riki kembali menuju teras rumah. Satu buah jeruk diberikan kepada Disha.
“Nih, coba,” kata Riki.
Disha yang tadinya melarang niat Riki akhirnya menerima pemberian jeruk berwarna kuning keemasan tersebut.
“Katanya, jangan. Pas dikasih kok mau?” goda Riki.
“Ya udah dipetik, masak iya mau dibalikin ke pohonnya. Dasar tutup panci!” jawab Disha.
“Bisa aja pinggiran dandang!”
Setelah saling mencela, Disha dan Riki mengupas buah jeruk tadi dan kemudian memakannya.
“Enak ya jeruknya,” kata Disha.
“Iya, baru kali ini makan buah hasil dari metik sendiri, fresh from the oven,”
“Tapi tetap aja metiknya nggak izin,”
“Iya juga sih, jadi inget ceritanya nabi Adam,”
“Ha? kok nabi Adam?”
“Aduh Disha, masak nggak pernah denger tentang nabi Adam dan buah kuldi,”
“Kalau itu mah tahu. Eh bentar-bentar, maksudmu kita ini kayak Adam dan Hawa yang lagi makan buah kuldi gitu?”
“Ya kurang lebih begitu,” balas Riki sambil cekikikan.
“Ngawur!”
“Abis ini kita mungkin diusir, dipisahkan, untuk dipertemukan lagi di bukit yang indah dan berbunga,”
“Auk ah, gelap!”
Tiba-tiba telepon genggam Disha berbunyi. Ada panggilan masuk, yang ternyata adalah dari Paman Disha. Terjadi percakapan yang cukup serius antara Disha dan pamannya tersebut. Setelah menutup telepon, wajah Disha berubah jadi pucat penuh kecemasan.
“Rik, ayo pergi dari sini,” ujar Disha yang langsung menarik tangan Riki.
“Eh, eh, kenapa Sha?” Riki yang sedang bersantai tak bisa berbuat banyak dan mengikuti tarikan tangan Disha.
Kedua muda-mudi itu pun bergegas menuju ke motor Riki yang terparkir di pinggir jalan. Disha yang masih terlihat panik menyuruh Riki untuk memacu motornya meninggalkan rumah tersebut. Disha dan Riki pergi menjauh.
“Ada apa sih, Sha sebenernya?” tanya Riki.
“Aduh gimana ya jelasinnya,”
“Ya jelasin aja, bikin panik dan penasaran aja,”
“Jadi tadi aku ditelfon pamanku. Ternyata kita tadi salah alamat. Rumah pamanku ternyata masih sekitar 1 kilometer lagi. Terus kujelasin tentang rumah yang kita datangi. Ternyata itu rumah mantan kepala desa yang sudah lama nggak berpenghuni,” jelas Disha yang nampak masih panik.
“Ha? Kalau udah lama nggak berpenghuni gimana tanaman dan buah-buahan itu bisa tumbuh?”
“Itu dia, nanti dijelasin pamanku. Kita tadi disuruh cepat-cepat keluar dari rumah itu sama pamanku,”
Mendengar penjelasan Disha, Riki hanya bisa terdiam. Kombinasi rasa khawatir, takut dan penasaran bercampur jadi satu.
“Sha, terus tadi gimana jeruk yang kita makan?”
“Ya nggak tahu. Mungkin abis ini kita dibuang, dipisahkan, untuk kemudian dipertemukan,”
“Dasar sendok sayur! Kondisi gini masih aja becanda,”
Disha dan Riki pun terus melaju. Meninggalkan rumah dengan kebun luas yang tadi sempat mereka singgahi.