Ada sejumlah filsuf dan pemikir muslim yang menaruh perhatian pada isu ekologi, melalui paradigma Ekosufisme. Di antara filsuf yang mengusung Ekosufisme adalah Imam Al Ghazali.
Meski pemikiran ekologisnya tak terdokumentasikan dalam satu buku, tapi pandangannya tentang etika ekologi tersebar pada sejumlah karya seperti; Al-Hikmah fî Makhlûqȃtillah, Ihyȃ Ulûmiddîn, Mi’raj al-Salikin, Risalah al-Thuyur, dan al-Tibr al-Masbûk fi Nashîhat al-Mulûk.
Abu Hamid Al Ghazali (1058 – 1111) merupakan filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat. Kontribusinya cukup besar di dunia Islam. Karya dan pemikiran Al Ghazali menyebar di berbagai bidang keilmuan. Termasuk etika ekologis berbasis pandangan sufistik (Ekosufisme).
Etika ekologi merupakan relasi nilai (moral timbal balik) antara manusia dengan lingkungan alam. Sementara relasi yang terkait dengan manusia, lingkungan alam, dan Tuhan; dikenal dengan istilah tasawuf ekologi (ekosufisme).
Karena etika adalah cabang utama dari filsafat, maka etika memiliki dua jenis; pertama, etika filosofis yang berasal dari kegiatan berpikir yang dilakukan manusia. Dan kedua, etika sufistik yang bertitik tolak dari presuposisi atau pengalaman sufistik. Ekosufisme Al-Ghazali memiliki basis filosofis-sufistik.
Farid Ar-Rifai dalam Al Ghazali (1936), menyebut bahwa Imam Al-Ghazali adalah filsuf yang berpandangan bahwa problem lingkungan harus ditangani dengan pendekatan sufistik-etis. Alam lingkungan harus dipahami sebagai realitas spiritual, yang tidak terlepas dari yang sakral.
Mengenai etika, Al-Ghazali mengintegrasikan wahyu dan
tindakan moral-etis. Al-Ghazali berpandangan, alam adalah subjek dalam kehiduan manusia, dan bukan objek. Ia menganggap keberadaan makhluk Tuhan yang lain, adalah bagian dari partner hidup.
Dari sini tampak bahwa sesama ciptaan Tuhan, seyogyanya diikat dengan etika yang menghubungkan dengan Tuhan. Dan ini, adalah gambaran umum dari apa yang disebut ekosufisme (Gufron dan Hambali 2022).
Problem lingkungan hadir sebagai
krisis yang mengancam akibat andil manusia. Padahal, Islam hadir
sebagai agama universal, pemberi rahmat, kedamaian dan
harmoni untuk semesta alam, yang sepatutnya dapat memberi gagasan menyeluruh dan terukur tentang bagaimana korelasi harmonis antara manusia, alam, dan Tuhannya.
Islam tak hanya mengizinkan manusia untuk memanfaatkan SDA, tapi
juga mengajarkan bagaimana aturan main, sehingga kesejahteraan bersama
yang sustainable hingga turun-temurun. Etika Islam menekankan agar umat manusia dapat menjaga dan melestarikan lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom).
Etika Ekologi Al Ghazali
Al-Ghazali mengajarkan pentingnya membangun relasi harmonis antara manusia dengan ekosistem lain. Al-Ghazali mengilustrasikan relasi manusia dengan ekosistem yang lain seperti bangunan rumah, yang di dalamnya ada langit-langit rumah, tembok, lampu rumah, perabotan rumah, makanan, dan minuman. Kesemuanya harus dijaga dan digunakan sebagaimana mestinya.
Semua makhluk memiliki peran masing-masing. Merusak alam berarti merusak rumah sendiri. Berarti juga merusak diri sendiri. Eksploitasi yang berlebihan tanpa mempedulikan kerusakan yang ditimbulkan berarti telah membunuh dirinya dan generasi berikutnya secara perlahan-lahan. Karena itu, diperlukan etika menjaga alam, sebagai bentuk kewajiban dengan tujuan untuk mempertahankan hidup di bumi.
Menurut Al-Ghazali, hutan adalah paku planet bumi. Menjadi tiang pancang berdiri dan kokohnya bumi. Bumi dijadikan sebagai tempat tinggal manusia dan binatang.
Bentuknya menghampar agar manusia dapat tinggal dengan nyaman sehingga manusia dapat berteduh dan terhindar dari terik matahari dan hujan.
Dalam Hikmah al Maqlukotillah, Bumi menjadi tempat tumbuhnya manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bumi tercipta dengan dataran yang rata dan gembur, tidak seperti tekstur gunung-gunung yang keras.
Kemakmuran bumi akan sulit dilakukan jika tekstur bumi keras. Tekstur bumi yang gembur menjadikannya mudah untuk digunakan mendirikan bangunan, mengolah susu, membuat perkakas tembikar, dan lain-lain.
Tanah gembur menjadi sarang bagi hewan-hewan. Di atas bumi terdapat gunung. Sekiranya bumi tidak memiliki gunung, ia akan diombang-ambing oleh angin dan kering oleh terik matahari. Akibatnya manusia tidak memperoleh air. Gunung dapat dikatakan sebagai tempat penyimpanan air. Di beberapa tempat Tuhan menurunkan salju.
Di beberapa tempat terdapat sungai dan danau yang berfungsi untuk menampung air untuk keperluan hidup penduduk bumi. Bumi mengeluarkan air untuk dapat dimanfaatkan kebutuhan makhluk hidup di atasnya. Di bumi manusia bisa membangun rumah untuk
ditempati.
Tuhan menjadikan tempat berhembusnya angin utara lebih tinggi daripada angin selatan, supaya air bisa mengalir di atas permukaan bumi sehingga dapat menyirami dan menyegarkan bumi, dan akhirnya bermuara di lautan.
Gunung juga menyimpan makanan dan obat-obatan. Di gunung tempat tumbuhnya pohon-pohon besar. Bagi para pelaut, gunung berfungsi sebagai petunjuk bagi orang-orang yang melakukan perjalanan laut.
Di dalam dasar bumi dan gunung tersimpan beragam mutiara seperti
emas, perak, yakut, zamrud, dan lainnya. Bahan tambang tersimpan di bumi
seperti besi, tembaga, melamin, timah, belerang, warangan, seng, batu pualam
(marmer), gipsum, minyak, dan lainnya. Ini pun boleh dipakai oleh manusia,
namun harus dalam kadar yang wajar.
Ekosufisme Al-Ghazali adalah pandangan etika lingkungan untuk membangun relasi yang harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Kecintaan pada Tuhan, harus dimanifestasikan pada bentuk cinta pada alam, karena alam
adalah manifestasi ciptaan Tuhan di muka bumi.
Manusia harus menjadikan alam
sebagai subjek dalam menjalani kehidupan ini, dan bukan objek. Sebagai
subjek, tentu manusia harus saling bekerjasama dalam membangun dan
menjaga alam.
Alam diibaratkan sebagai bangunan rumah besar untuk penduduk bumi, yang pemiliknya adalah Tuhan. Merusak alam berarti merusak amanat yang diberikan Tuhan kepada manusia.