Cukup banyak filsuf muslim menaruh perhatian pada isu ekologis. Selain Ibnu Arabi dan Imam Al Ghazali, Sayyed Hossein Nasr merupakan filsuf kontemporer yang mengusung konsep Ekosufisme dalam penanganan potensi kerusakan lingkungan.
Sayyed Hossein Nasr merupakan filsuf kontemporer abad 21 yang mengusung metode Tradisionalisme Islam. Pemikirannya fokus silang pengetahuan antara dunia Barat dan Timur. Sementara Pusat kajiannya, berkutat pada moral, politik, dan sains.
Sayyed Hossein Nasr dipandang punya pengaruh besar di Dunia Barat. Di antara karyanya meliputi; Knowledge and The Sacred, Living Sufism, The Trancendent Theosophy of Sadr ad-Din Shirazi, Islamic Life and Thought, Science and Civilization in Islam, Sufi Essay in World Spirituality, serta Theology, Philosophy and Spirituality.
Profil Sayyed Hossein Nasr
Sayyed Hossein Nasr adalah filsuf Muslim kontemporer asal Iran. Ayahnya, Sayyed Valiallah, adalah dokter pribadi raja Iran Shah Mohammad Reza Pahlavi. Melalui ayahnya, nasab Sayyed Hossein Nasr bersambung pada seorang alim dari Dinasti Safavid bernama Mullah Sayyed Muhammad Taqi.
Ia figur yang getol mengenalkan khazanah Islam klasik pada dunia kontemporer. Bukunya, Science and Civilization in Islam (1968), mengupas paradigma sains dan Islam, serta prestasi para tokoh Ilmuwan Muslim abad Keemasan Islam.
Hossein Nasr membuka bab satu Science and Civilization in Islam dengan pembahasan mengenai “orang bijak” yang merujuk pada profesi keilmuan dokter, sastrawan, astronom, pakar matematika, dan guru.
Nasr mengibaratkan sains sebagai cabang-cabang dari pohon. Sementara batang pohonnya adalah kebijaksanaan (sapientia). Pada zaman peradaban Islam Klasik, para ilmuwan Muslim ahli dalam lebih dari satu bidang. Nasr memandang ini wajar karena mereka mengambil peran sebagai “orang bijak”.
Ekosufisme Hossein Nasr
Kajian ekosufisme berawal dari karya Nasr berjudul The Ecounter of Man and Nature. Nasr melihat manusia telah dilanda krisis spiritual dan krisis lingkungan. Ketamakan yang dilakukan manusia berdampak buruk terhadap lingkungan. Ini diperparah gaya hidup yang berlebihan.
Dalam memahami krisis lingkungan, Nasr menjelaskan kerusakan alam tak serta-merta disebabkan faktor alam itu sendiri. Ada faktor intervensi manusia dan arogansi sains yang turut menjadi penyebab degradasi lingkungan. (Nasr, 1968).
Faktor intervensi manusia, menurut Nasr, adalah penebangan hutan secara liar dan pembuangan sampah sembarangan. Sementara, arogansi sains bisa dilihat dari pola kerja sains yang memandang alam sebagai objek yang berada di bawah manusia.
Untuk mengatasi problem itu, Nasr menawarkan solusi dengan cara me-rekontekstualisasikan kembali nilai-nilai Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan kearifan moral. Dan ini ditujukan untuk merawat dan melakukan konservasi alam.
Sains, menurut Nasr, harus diintegrasikan dengan nilai keagamaan yang pada titik kulminasinya, mengkristal pada akar kesadaran ilahbbersifat Qur’anik. Menurut Nasr, kosmologi tasawuf tradisional memungkinkan manusia untuk menganggap alam sebagai sesuatu yang sakral.
Alam dianggap sebagai cara pandang ilmu Ilahi berbasis kejernihan mata hati (intuisi). Proses seperti ini, menurut Nasr, memunculkan kesadaran bahwa alam adalah representasi Tuhan; mencerminkan bentuk ciptaan Tuhan.
Sufisme Ekologis dapat berarti tasawuf ekologis, kesadaran spiritual yang
diperoleh melalui penjelasan tentang bagaimana sistem eksistensial berinteraksi satu sama lain, terutama dalam konteks lingkungan, keberadaannya mampu membantu orang untuk berdzikir dan mencapai wushul di sisi Allah.
Karena alam memberi kita kearifan, kita harus memanfaatkannya dengan hati-hati. Dalam konteks ekologi, merusak alam berarti menghancurkan diri sendiri dan generasi berikutnya. Merusak alam dalam tasawuf ekologis sama dengan menghancurkan kehidupan dan kendaraan ma’rifah.