Negeri ini sedang menuju titik kritis. Di balik gemerlap janji kampanye dan proklamasi “kemajuan”, akar kehidupan bangsa justru sedang dipangkas habis-habisan. Apa yang disebut “efisiensi” tak lebih dari eufemisme penghancuran sistematis terhadap pondasi negara.
Betapa menggelikan ketika melihat slide presentasi pemerintah yang menempatkan pendidikan hanya sebagai “prioritas pendukung”. Kenyataannya lebih mengerikan: 663.821 mahasiswa penerima KIP-K terancam putus kuliah. Bayangkan, 663.821 masa depan yang
dirampas, 663.821 mimpi yang dimatikan, dan 663.821 keluarga yang harapannya dihancurkan demi apa yang mereka sebut “efisiensi anggaran”.
Lebih menyakitkan lagi, 21.131 calon mahasiswa baru yang sudah mendaftar KIP-K tahun 2025 harus menelan pil pahit: tidak ada penerimaan baru. Sementara itu, 12 mahasiswa program doktoral terancam gagal melanjutkan studi di luar negeri. Ini bukan sekadar angka, ini adalah pembunuhan massal terhadap potensi anak bangsa.
Lebih jauh lagi, Pemotongan 50% anggaran BMKG sebagai bentuk efisiensi anggaran adalah bukti nyata bahwa pemerintah sedang bermain-main dengan nyawa rakyatnya sendiri.
Bagaimana mungkin lembaga vital yang bertanggung jawab atas deteksi gempa dan tsunami dipaksa bekerja dalam kondisi minim? Ketika bencana datang dan sistem peringatan dini gagal berfungsi, siapa yang akan bertanggung jawab?
Tidak hanya pendidikan dan nyawa rakyat yang dipermainkan, sektor kesehatan juga terdampak. Menempatkan kesehatan sebagai “prioritas pendukung” di tengah berbagai ancaman kesehatan global adalah bentuk pengabaian terhadap hak dasar rakyat.
Seperti yang tersirat dalam komentar sarkastis warganet: “yang sakit pakai BPJS pelayanannya besok aja.” Apakah nyawa rakyat begitu murah?
Kebijakan ini memaksa banyak mahasiswa keluar dari kampus, menghancurkan mimpi calon mahasiswa miskin, dan semakin menutup akses pendidikan bagi daerah tertinggal.
Di luar itu, sistem deteksi bencana melemah, meningkatkan risiko bagi masyarakat, sementara layanan publik terancam lumpuh akibat ketidakmampuan sistem yang kian rapuh.
Solusi efisiensi anggaran pemerintah ini dinilai kurang efisien. Seperti yang dicatat oleh Greenpeace Indonesia, ada banyak cara untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa harus memangkas sektor-sektor vital. Namun yang terjadi justru sebaliknya: pemangkasan brutal yang mengancam masa depan bangsa. “Hemat sih hemat, tapi mohon maaf nih nggak tepat sasaran karena malah berpotensi merugikan kesejahteraan kita,” sebuah kritik tajam yang menggambarkan absurditas kebijakan ini.
Ketika sebuah negara mulai menggadaikan masa depan generasinya, mengorbankan keselamatan rakyatnya, dan mengabaikan kesehatan warganya demi apa yang disebut “efisiensi”, maka sesungguhnya negara tersebut sedang menggali kuburannya sendiri. Pertanyaannya sekarang: sampai kapan rakyat harus menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan bangsa ini?