Tiba-tiba kota hujan. Air akan menggenang di mana-mana. Sebuah fragmen kecil di tempat berteduh. Tempat itu semacam ruko, debu menempel di seluruh bangunannya. Seperti lama tak ditempati jadi kumuh, lusuh, dan hampir rubuh.
Perempuan itu berkaca pada spion motornya. Ia membenahi rambutnya yang acak-acakan. Bedaknya sedikit luntur. Lipstiknya, meski tetap merah, tapi ia seperti seseorang setelah memakan buah naga. Baunya wangi sampai kepadaku. Aku menyalakan sebatang rokok, Surya. Dengan tangan yang sedikit basah. Kujelaskan, sebelumnya aku menerobos hujan, sampai akhirnya menemukan tempat berteduh yang cocok ini.
Kulit tanganku sedikit sakit ketika menggores roda pemantik korek api. Pada hisapan yang pertama, aku begitu menikmatinya. Bau wangi itu muncul kembali. Kali ini melati, aku merinding sebentar. Akhirnya aku tahu, di bawah pohon mangga yang hampir mati itu, setangkai melati telah mekar, putih.
Wangi melati, bercampur wangi perempuan itu telah menyegarkan hariku. Setelah ia beres mempercantik parasnya kembali, ia duduk di ujung kursi kayu, dan ujung yang lain telah kududuki. Sebelum ia duduk, aku menahan keseimbanganku, atau kursi itu akan terjungkir karena berat sebelah.
Aku saksikan dia membersihkan tempat duduk yang berdebu itu sebelum memasrahkan tubuhnya duduk dengan nyaman di sana. Ia berdehem, aku menghisap rokok ke sekian kali. Ia mendehem lagi. Kemudian kusadari, ia terganggu dengan aroma asap rokokku.
Aku tak menghiraukan deheman perempuan itu. Bagiku, kita sama-sama tak kenal, bahkan aku telah lebih dulu duduk di kursi ini. Ia kemudian memakai maskernya. Terus terang, aku tak lagi bisa memandangi wajahnya. Persetan, aku teruskan merokok. Suasana sunyi sejenak. Dia semakin tak tahan dengan aroma asap rokok yang tetap masuk ke dalam lapisan maskernya.
“Mas, bisakah rokok itu dimatikan?”
“Ya, tentu. Sebentar lagi juga akan habis dan mati.”
“Maksudku segera dimatikan! Aku terganggu dengan aromanya.”
“Kenapa harus duduk di situ kalau mbak terganggu?”
“Iih…… Mbok ya mengalah… Dasar laki-laki.”
Sewaktu perempuan itu berkata agar aku sedikit mengalah untuknya, aku mematikan rokok, yang sesungguhnya juga tinggal filternya. Aku pura-pura tetap bergaya seolah-olah menurutinya mematikan rokok, dibanding harus berpindah tempat. Tentu jika hal itu terjadi, maka akan semakin membuatku jauh dan kehilangan moment yang begitu hangat ini.
Perempuan itu diam, aku ingin sekali kembali memulai percakapan dengannya.
“Sudah aku matikan, Mbak.” Dia hanya diam saja. Matanya sedikit melirik, dan saat itu aku kembali jatuh cinta.
Setelah Dina memilih meninggalkan aku empat tahun yang lalu, aku benar-benar belum menemukan perempuan yang membuat aku jatuh cinta lagi. Mala, dia hanya menganggapku abangnya, dan aku juga menganggapnya adik.
Sebelum nanti aku jatuh cinta padanya, aku telah membuat batasan. Aku dan Mala hanya akan selesai sebagai Abang dan adik. Alasan yang lain, aku juga sangat dekat dengan pacarnya, Satrio. Aku yang mencomblangkan mereka dulu.
****
Kemudian, aku sengaja mengambil sebatang rokok lagi dan hendak menyalakan korek untuk memancing perempuan itu berbicara lagi.
Pada akhirnya, hujan reda. Ia menyalakan motornya dan melaju ke jalanan kota yang masih basah. Aku tetap menyalakan sebatang rokok lagi, mengamati perempuan itu pergi dan kota yang putih.