“Kenapa kita harus mandi pagi?” Adalah pertanyaan yang benar-benar mengganggu bagi Kinar. Ia harus menghadapi ocehan ibunya setiap pagi hanya untuk mandi.
Seperti pagi ini, ibu membangunkan Kinar tepat pukul 6. Sedangkan kerja baru akan dimulai pukul 8. Kinar harusnya masih punya waktu 2 jam dan itu sangat berarti jika ia tak harus mandi.
Dua jam, atau katakanlah 1 jam jika memang harus terpotong aktivitas sarapan dan siap-siap, bisa ia gunakan untuk berlama-lama di atas tempat tidur, melanjutkan mimpinya yang benar-benar menegangkan.
Enam puluh menit untuk menuntaskan pertarungannya dengan seekor gagak raksasa di padang pasir. Benar-benar enam puluh menit yang bisa ia gunakan untuk menebas leher burung gagak itu dengan pedang kristalnya. Tapi si ibu terlanjur menyibak selimutnya dan memaksanya kembali ke dunia nyata.
“Bangun! Udah jam 6. Cepet mandi, nanti telat!” ujar si ibu.
“Arghh, kenapa harus mandi coba?” gerutu Kinar sembari menutup kembali tubuhnya dengan selimut.
“Heh! Bangun! Udah jam 6 ini. Mau kerja, nggak?” kembali Ibu Kinar memastikan putrinya sudah beranjak dari tempat tidur.
“Kerjanya kan jam 8, Buk. Kinar masih punya 2 jam lagi. Nanggung ini mau selesai.” Kinar memelas, berharap ibunya tersentuh dengan muka melasnya.
“Selesai apa? Ayo cepetan mandi!” sekali lagi si ibu menarik selimut Kinar. Kali ini, selimut itu tak dibiarkan kembali ke tangan Kinar.
Sambil merengek, Kinar masih berupaya mendapatkan kembali selimutnya dari tangan ibu.
“Enggak usah mandi, Buk. Kata Ibuk yang penting inner beauty. Kinar mau menumbuhkan inner beauty saja.”
“inner beauty apaan kalau kamu saja males bangun pagi? Ayo bangun!”
Kinar akhirnya bangkit dan mengambil posisi duduk. Kali ini, dia tidak mau tinggal diam. Dia tidak mau lagi melakukan apa-apa yang tak dia kehendaki.
Ini yang dinamakan pemberontakan, ketika kamu sudah lelah menoleransi apa yang tak kamu kehendaki dan memutuskan untuk berkata ‘tidak’.
“Memangnya kenapa Kinar harus mandi? Beri Kinar alasan kenapa Kinar harus membuang waktu pagi yang berharga ini untuk mandi?”
Gadis itu menatap tajam ibunya. Jika dengan cara memelas tidak bisa, maka cara selanjutnya adalah berkeras.
“Memang kamu mau berangkat kerja dengan muka ileran begitu?”
“cuci muka cukup.”
“bau keringatmu?”
“Nggak jadi masalah buat Kinar.”
“temanmu yang bakal bermasalah.”
“Kalau begitu, itu masalah mereka.”
Dan perdebatan pagi itu diakhiri dengan tetap mandi. Kenapa manusia harus mandi di pagi hari? Bukankah keringat mereka akan kering dan baunya akan hilang dengan sendirinya?
Kenapa manusia harus merepotkan diri untuk memenuhi standar bau orang lain? Mandi adalah contoh kecil. Begitu gerutu Kinar.
Misal lagi, kenapa perempuan harus tertipu dengan iklan deodoran yang mampu membuat kulit ketiak putih dan berbau harum. Ketiak seharusnya berbau dan berwarna seperti ketiak.
Atau, pembersih daerah kewanitaan yang menawarkan bau semerbak wangi. Siapa juga yang mau repot-repot mencium daerah kewanitaan?
Atau, katakanlah jika memang ada, kenapa ia harus tercium wangi? Bukankah vagina haruslah berbau seperti vagina? Selama tidak menimbulkan bau tidak sedap, maka itu sudah cukup. Tidak ada masalah.
Orang seringkali mempersulit diri mereka sendiri dengan hal-hal remeh-temeh, dan itu benar-benar menyebalkan bagi Kinar.
Di tengah waktu istirahat siang, Kinar terpikirkan untuk membuat sebuah gerakan. Gerakan penolakan atas apa-apa yang tak dikehendaki banyak orang, namun tetap dilakukan.
Ia berpikir, berapa banyak orang yang sebenarnya menolak mandi di pagi hari namun terpaksa melakukannya? Ya, itu ide yang bagus.
Ia akan membuat petisi dan menyebarkannya. Gerakan itu akan membuat banyak orang mempertanyakan kembali apa-apa yang selama ini mereka lakukan karena terpaksa.
Ia membayangkan betapa dunia akan berubah setelah orang-orang mulai menyuarakan keinginanannya dan ya…bayangan itu benar-benar membuat Kinar bersemangat.
Sesampai di rumah, Kinar begitu bersemangat membuat sebuah tulisan singkat. Sebuah gugatan tentang hal-hal yang dimaklumkan. Tentang kehendak yang dipaksakan.
Dengan kemampuan menulis seadanya, namun rasa percaya diri yang luar biasa, ia mulai menuliskan semua unek-unek. Matanya berbinar, tangannya begitu bersemangat.
Ia merasakan ada hal luar biasa mengalir di tubuhnya. Kekuatan untuk mengubah dunia. Ya, ia merasa telah sampai di gerbang sebuah perubahan. “Sudah saatnya mengatakan tidak,” gumamnya.
Tak butuh waktu lama untuknya mempublikasikan petisi yang diajukan.
“hah!” Kinar menghela nafas panjang. Ia tersenyum puas sekali. Malam ini, ia akan tidur nyeyak dan besok pagi, ia akan melihat betapa orang-orang menyambut baik idenya.
Keesokan harinya, Kinar membuka sosial media. Ia begitu bersemangat. Ia bisa merasakan darahnya mendidih, menyambut hari-hari kemerdekaan. Hari-hari setelah sekian panjang siksaan dan perjuangan.
“wait…” ia menggeser kursornya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Tidak ada jempol maupun reaksi apapun. Ia lantas mengecek ke akun sosial media lainnya. Hasilnya sama, tidak ada reaksi apapun.
Ada lebih dari 30 menit yang ia habiskan untuk menilik ulang unggahannya, membaca kembali tulisannya, dan ia merasa tak ada yang salah dengan itu semua. “what’s wrong?” ia terus bertanya-tanya.
Di meja makan, ia melihat ke arah ibunya dengan muka kesal, sedang ibunya tak tahu-menahu apa yang menjadikan anaknya semuram itu di pagi hari.
Kinar merasa belum menang melawan ibunya. Ia tak akan menyerah begitu saja… dan pagi ini dia masih mandi seperti biasa.
“Ayah?” Kinar memanggil.
“hmm?”
“kenapa ayah mandi pagi?”
“biar nggak bau.”
“kan bisa disemprot minyak wangi, atau cukup pake deodoran.”
“karena udah kebiasaan mandi.”
“karena ayah terbiasa melakukan yang ayah nggak mau lakukan.”
Si ayah melirik dari balik koran, dari balik kacamatanya, lalu membetulkan letak koran yang sebenarnya tak pernah salah. “kamu nggak telat kerja?”
Kinar melirik jam dinding yang tergantung di atas televisi. Ia mengembalikan letak kursi searah dengan meja, lalu menyantap nasi goreng di hadapannya.
Masih dengan hati yang patah, ia menghabiskan sarapan itu dan meminum teh hangatnya.
Barangkali, memang hanya dia di dunia ini yang berambisi menghilangkan kebiasaan mandi di pagi hari. Ia sudah berusia 25 tahun dan sudah seharusnya paham bahwa dunia tak selalu berjalan sesuai maunya.
Ia, seharusnya, juga sudah cukup dewasa untuk sadar bahwa ia tak bisa mengubah dunia.
Hal yang bisa ia lakukan adalah mengubah dirinya sendiri. Mengubah pandangannya soal mandi pagi atau menyingkir dari lingkungan yang tetap memaksanya untuk mandi pagi.
“Aku berangkat.”