Gudeg memang identik Yogyakarta. Namun, di tangan dingin Bu Anna, Gudeg yang kental akan rasa manis pun bisa menjadi gurih dan mampu diterima lidah masyarakat Bojonegoro.
Perihal kuliner, memang tidak pernah ada titik. Yang ada hanya jeda. Saat ini, bagi sebagian orang, urusan maem jadi satu kegiatan rekreatif tersendiri. Di sela padatnya hari, ada kalimat yang cukup menenteramkan hati: “mau makan apa ya hari ini?”
Ini yang kemudian membikin bisnis kuliner semakin berkembang. Apalagi, saat ini tidak ada batasan ruang dalam mengembangkan bisnis tersebut. Pelaku bisnis bisa membawa resep dari tempat yang jauh untuk ditawarkan pada pelanggan.
Hal itu menginspirasi Anna Ekowati. Sosok perempuan multitalenta di balik bisnis kuliner Gudeg Lumintu Bu Anna. Meski identik makanan khas Yogyakarta, perempuan yang akrab disapa Bu Anna ini mampu membikin gudeg yang bisa dinikmati lidah masyarakat Bojonegoro.
Siang, 15 Januari 2019 kemarin, pesanan Bu Anna cukup banyak. Sejumlah pemesan hilir mudik di kediamannya. Namun begitu, ia masih menyempatkan diri menemui redaksi Jurnaba. Tentu dengan semangat yang vibrant— senada dengan bajunya yang merah-merah buah naga.
Dengan senyum ramah sambil menawarkan kopi, ia berkisah tentang perjalanan awal menjajakan gudeg di Bojonegoro. Dia memulai usaha kuliner gudeg karena memang dulunya suka makan masakan gudeg.
“Awalnya, saya memiliki ide untuk jualan gudeg karena saya pribadi suka makan gudeg,” ia memulai. Kesukaan ini timbul karena ia sering berkungjung ke Yogya dan Solo.
Pada saat bersamaan, ia juga memiliki usaha kantin di Rumah Sakit Umum Daerah Sosodhoro Jatikusumo, Bojonegoro. Kala itu, RSUD masih berada di bangunan lama. Di jalan Dr Wahidin, Kepatihan, Bojonegoro.
Ia mendengar desas-desus bahwa kantin di RSUD baru akan dikelola koperasi. Oleh karenanya, ia memutuskan mulai merintis usaha baru pada 2014. Selang satu dua tahun sebelum kontrak dengan RSUD habis.
Perjuangan ini tentu tidak mudah. Awal membuka usaha, sempat ada momen ketika hanya ada satu dua pelanggan yang datang membeli gudeg. Tidak hanya itu, Bu Anna juga mengisahkan bahwa tidak banyak orang yang tahu tentang menu gudeg.
Dulu, kata dia, banyak yang mengira gudeg itu jangan (sayur) blegudeg, sayur olahan dari masakan lodeh. Bahkan, ada juga yang mengira sayur jantung pisang.
Kala itu, ia menjelaskan pada pelanggan. Bahwa gudeg berbeda dengan jangan (sayur) blegudeg. Dan bahan dasarnya bukan jantung pisang, melainkan nangka muda. Proses masaknya pun menghabiskan waktu yang lama. Yakni sekitar 10 jam.
Gudeg memang makanan khas Yogyakarta. Bintang utama dalam menunya adalah sayur berbahan dasar nangka muda, krecek, serta lauk baceman. Sedangkan karakter utamanya rasa manis. Menyesuaikan selera wong kulonan, Yogya — Solo, yang menyukai makanan manis.
Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Bu Anna dalam proses pengenalan gudeg di Bojonegoro. Sebab, masyarakat Bojonegoro lebih menyukai makanan pedas dan asin.
Demi menyesuaikan selera lidah masyarakat Bojonegoro, Bu Anna melakukan penyesuaian dalam segi rasa. Jika gudeg pada umumnya berasa manis, Gudeg Bu Anna lebih gurih. Menunya juga ditambah sambal lombok ijo, kacang tholo, dan, yang paling khas, tumis daun pepaya.
Lauknya juga bervariasi. Mulai dari telur yang dibacem, ayam suir yang dibumbu opor, serta ayam kampung bacem. Gudeg Bu Anna tidak terlalu kering laiknya gudeg di Yogya.
Sensasi guyuran kuah opor yang kental dan aroma kaldu ayam yang gurih, berpadu dengan kuah krecek yang sedikit pedas. Makin ciamik karena ada kejutan kacang tholo yang memperkaya euforia kecapan lidah.
Sayang, bagi pecinta pedas ekstrem seperti saya masih belum terpuaskan oleh sambalnya. Tapi tenang, ada sebiji dua biji cabai utuh yang meningkatkan level kepedasan gudeg. Bagi Nabsky yang doyan pedas, bisa pesan sambal mercon, atau tambah cabai utuhnya.
Cita rasa yang ditawarkan Gudeg Bu Anna tentu memberi kesan yang berbeda. Menurut pengalaman lidah saya, Gudeg Bu Anna telah berhasil menciptakan racikan gudeg yang khas Bojonegoro. Tugas berikutnya adalah soal mengabarkan cita rasa ini pada khalayak Bojonegoro.
Titik balik usaha Gudeg Bu Anna adalah tahun ketiga. Saat Bojonegoro ramai didatangi orang dari luar kota —khususnya para pekerja tambang minyak. Kala itu, mulai banyak pelanggan yang ingin mencicipi gudeg. Kemudian didukung getok tular, alias pengenalan dari mulut ke mulut.
Penggunaan sosial media untuk promosi. Melayani pesanan dari ojek online. Serta turut berdagang pada saat Car Free Day di Alun-Alun Bojonegoro juga memicu popularitas Gudeg Bu Anna meningkat. Sampai saat ini, di tahun keempatnya, Gudeg Bu Anna kian digemari khalayak.
Tidak hanya dari Bojonegoro, namun juga Babat, Cepu, hingga Jakarta. Banyak di antara pelanggannya yang membawa Gudeg Bu Anna sebagai oleh-oleh saat pergi ke luar kota.
Bu Anna sempat berkisah, pengalaman unik tentang pelanggan yang memesan gudeg. Ada seorang pelanggan yang istrinya sedang hamil. Kemudian ngidam gudeg yang diwadahi kendil seperti yang digunakan untuk display.
Dia mengaku kesulitan memenuhi permintaan tersebut. Karena, kendil yang berukuran kecil dan berkualitas bagus sangat sulit ditemui. Sedangkan bungkus atau packaging yang selama ini ia pakai adalah besek bambu atau kotak kertas.
Saat ini, dia fokus mengenalkan gudeg khasnya. Salah satunya, dengan rencana membuka kedai baru di foodcourt seberang Kelenteng Hok Swie Bio. Ia berharap gudeg buatannya akan semakin memperkaya khasanah kuliner di Bojonegoro.
Pada akhir obrolan, dia sempat berpesan pada pelaku bisnis kuliner untuk selalu tekun dan yakin. Tak lupa terus meningkatkan pengetahuan dan riset tentang menu serupa. Dia sendiri mengaku selalu menyempatkan diri untuk mencicipi gudeg di berbagai kota.
“Kebetulan saya memang suka kulineran, apalagi gudeg. Jadi bisa sekalian icip-icip gudeg di kota lain,” pungkasnya.