Kurikulum Global Berbasis Kearifan Lokal (KGBL) merupakan manhaj pendidikan di Madrasah Alternatif Guratjaga.
Di Indonesia pernah diberlakukan berbagai macam jenis kurikulum. Ada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), kurikulum 2013 (K-13), dan lain sebagainya.
Saking banyaknya kurikulum yang pernah dibuat uji coba hingga diberlakukan, membuat kepala beberapa siswa muncul burung-burung alias bingung.
Wajah pendidikan di Indonesia, ibarat kera, kucing, kambing, ikan, dan sapi yang dijadikan robot untuk bisa memanjat pohon di pucuk tertinggi. Padahal tiap karakter punya hak untuk mengembangkan potensi diri. KGBKL, salah satu di antaranya, lahir karena fenomena tersebut.
Belajar secara Seimbang
Belajar secara radikal. Eits, radikal bukan yang aneh-aneh lho!. Radikal di sini maknanya adalah “akar”, atau sesuatu yang mendalam. Di Madrasah Alternatif Guratjaga, secara dhohir dan bathin, diajak menjadi manusia yang berpikir secara mendalam.
Kawan belajar akan diberi kebebasan. Mau jadi harimau pendiam namun lihai menerkam, buaya yang diam-diam nyaplok, kera yang ahli memanjat, kura-kura yang ahli menyelam, atau ikan yang ahli berenang, silakan. Asal keahlian itu kontekstual bagi kebermanfaatan pada masyarakat di mana kita berada.
Sebagai madrasah alternatif, Guratjaga menerima berbagai kalangan untuk belajar. Tidak mandang usia, suku, ras, agama, dan golongan. Atas nama ilmu pengetahuan, semua punya hak untuk belajar dan berkembang.
Guratjaga mentradisikan pembelajaran barat dan timur. Belajar sosiologi bukan hanya pada the father of sociology Auguste Comte, melainkan juga ngaji kitab Mukaddimah karangan Mbah Ibnu Khaldun.
Sebagai madrasah, Guratjaga tak lupa tradisi ngaji dan khataman Al-Qur’an. Agar kawan-kawan muslim yang ngangsu kaweruh bersama di Guratjaga memiliki pandangan antroposentrisme, ekosentrisme, dan teosentrisme sekaligus.
Berbasis Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau local wisdom, akan digunakan Guratjaga untuk landasan tumbuh dan berkembang kurikulum. Guratjaga menjadikan sebuah tempat sebagai modal membangun kurikulum.
Karena yang namanya kurikulum tidak akan pernah ada, tanpa adanya alam tempat ia berada. Alam dulu, baru kurikulum. Dimana Guratjaga berpijak, disitulah kurikulum berlandaskan kearifan lokal akan bergerak.
Misalnya tentang sosiologi pedesaan. Juga akan menjadi suatu hal yang didiskusikan. Dimana diharapkan, apabila kawan-kawan sudah menjadi alumnus Guratjaga semoga bisa berkarya untuk desa atau kampung halamannya.
Itulah, sedikit gambaran ihwal KGBKL. Sifat KGBKL itu dinamis, bukan statis. Artinya bisa berubah. Bukan mutlak, melainkan subjektif konstruktif.