Branding Bojonegoro sudah jadi pembahasan sejak zaman hape Nokia 3315. Tapi, sampai saat ini, masih belum ditemukan.
Saat sedang berkunjung ke luar daerah, dan diminta bercerita tentang Bojonegoro, apa yang pertama kali kamu ucapkan? Sebagian masyarakat Bojonegoro mungkin bingung, sebagian lain mencoba memilih kata yang tepat, lainnya mengucapkan kata sekenanya, mungkin ada juga yang diam.
Tapi diam lebih baik, dari pada nggak ngaku, hanya demi ingin dihormati. Ada lho yang ngakunya dari Surabaya, Lamongan, Tuban, atau malah Cepu! Padahal orang Bojonegoro.
Baca juga: Sejarah Singkat Bojonegoro, Ibu Kota Pemerintahan Hingga Nama Bupati dari Masa ke Masa
Sejatinya nama Bojonegoro adalah identitas. Tapi nama saja tidak cukup. Selain nama, identitas harus punya gambaran visual dan cerita yang melingkupi keduanya.
Cerita inilah yang membangun identitas sesungguhnya. Cerita yang utuh dan terus-menerus, adalah proses branding. Jika identitas yang ingin dibangun itu wilayah, kabupaten, atau daerah tertentu, maka diistilahkan place branding. Atau lebih umum untuk kota, yang disebut city branding.
Apakah Bojonegoro butuh identitas? Apakah Bojonegoro harus dikenal? Apa perlunya untuk masyarakat?
Bojonegoro butuh identitas agar tak hanya dikenal sebagai daerah lumbung banjir dan panas yang ngeri. Bojonegoro harus dikenal sebagai kota yang tak melulu soal minyak. Sebab minyak itu licin dan rentan membuat orang terpleset pada kerakusan hidup.
Masyarakat Bojonegoro butuh identitas yang tidak banjir dan panas. Bojonegoro harus dikenal bukan karena minyak-minyakan. Tapi minyak beneran. Minyak yang wangi. Biar kayak Banyuwangi. Atau Bandung. Atau Barcelona. Atau Auckland.
Nabs, branding bukan hanya untuk pamer, atau cuma ingin dikenal. Branding punya tujuan. Nah dalam konteks city branding, setidaknya minimal tiga tujuan yang bisa dicapai.
Pertama, menciptakan ekonomi tangguh (resilience economy). Meningkatkan ekonomi masyarakat melalui investasi, pariwisata, ekosistem UMKM, dan lain-lain.
Kedua, menciptakan kota sehat melalui paradigma sustainable communities. Konsep Kota Sehat sejatinya tidak hanya berlaku untuk kota, tapi juga semua wilayah yang ingin menciptakan kondisi masyarakat dan lingkungan yang in harmonia progressio. Living in harmony.
Ketiga, berkontribusi terhadap upaya perubahan iklim global. Artinya, reputasi baik sebuah daerah tidak berdiri sendiri. Kita harus menyadari bahwa ia adalah bagian dari ekosistem bumi yang mempengaruhi satu sama lain.
Ketika ingin memulai membangun identitas daerah, Bojonegoro harus memulai dengan menentukan tujuan-tujuan tersebut. Target yang relevan dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Karena menciptakan cerita baik tentang Bojonegoro, tentu tidak bisa instan seperti mengubah wajah hanya dengan operasi plastik.
Branding memang tidak menghindari kosmetik, tapi subtansi lebih diutamakan. Membangun sebuah narasi utuh mulai dari kepala hingga ujung kaki (top to toe).
Banyuwangi bisa dijadikan contoh kabupaten yang sukses dengan upaya brandingnya. Dulu, kabupaten paling timur di Pulau Jawa itu dikenal dengan santet dan tempat istirahat bus malam. Sekarang, Banyuwangi terkenal wangi.
Pariwisata dan ekonomi kerakyatannya berkembang. Meski perjalanan cerita itu masih panjang, namun kepemimpinan Azwar Anas di sana diakui sangat signifikan dalam proses place branding Banyuwangi.
Setidaknya ada 20 jurus yang diceritakan Anas dalam bukunya “Anti Mainstream Marketing”. Dari semua itu, secara garis besar bertumpu pada tiga kata: visi, kolaborasi, dan manusia.
Visi Anas tidak muluk-muluk, dia hanya ingin membangun cerita baik. Visi ini dia rajut dalam semangat kolaborasi multi-stakeholder. Mengedepankan harmonisasi dan kerja sama. Menghindari konflik di level pimpinan hingga warga.
Dan seperti yang dilakukan Shelley Watson dalam membangun Kota Auckland, manusia menjadi sumber penggeraknya. Memanusiakan manusia sebagai bagian dari alam semesta.
Beberapa bulan yang lalu, pernah beredar sebuah buku berjudul “Mendesain Bojonegoro Modern”. Bahkan ada yang menggelar acara khusus untuk membedah buku ini. Para akademisi, praktisi, aktivis, dan Pemerintah rame-rame mendiskusikannya.
Mungkin buku yang konon katanya dibuat Pemkab ini merupakan wujud upaya dalam membangun Bojonegoro. Sayangnya, buku yang dipersembahkan sebagai hadiah ulang tahun Bupati tersebut sangat fantastis dalam judul namun minimalis dalam substansi.
Saat membuka buku ini, mulanya berharap di dalam ada konsep pembangunan di kabupaten Bojonegoro. Memuat gambar besar desain kabupaten yang memiliki APBD terbesar ketiga se-Indonesia ini. Mulai dari desain lanskap hingga peta ekonomi. Tapi tidak ada. Wqwqwq ~
Jika kita sudah punya itu, orang Bojonegoro tidak akan bingung cerita tentang daerah kelahirannya. Bahkan orang sudah tau cerita kita, dan mereka akan selalu penasaran dengan cerita selanjutnya. Cerita yang menarik memang selalu bikin penasaran ya. Ibarat seri drama korea. Heuheu ~
Nabs, tulisan ini dibuat untuk menjadi pengantar kuliah #kelasbebas Kampus Terbuka yang dihelat pada Sabtu (9/10/2021) besok. Kuliah Minggu kelima semester gasal, 2021.
Kalau ingin lebih banyak inspirasi, literasi, dan kopi, datanglah ke sana. Utarakan ide dengan argumen, bukan sentimen. Serap ilmunya, seruput kopinya.
Niat pengen pinter, bukan pengen dilihat pinter. Kampus tanpa sekat ini isinya mahasiswa semua, tanpa dosen. Semua belajar, semua pembelajar. Berbuatlah sesuatu untuk orang lain, meski sedikit. Sedikit tapi bermanfaat. Semangat!