Mudik dan pulang kampung tak ada bedanya. Tapi mudik dan pulang kampung juga sangat berbeda. Tergantung di mana letak kepentingan yang ingin kita ruwetkan bersama.
Ahmad Nazwar, kawan saya selama mondok di Sidoarjo, tiba-tiba mengirimi saya pertanyaan: apa beda mudik dan pulang kampung? Lalu disusul emot tertawa di bawahnya.
Pertanyaan itu, dia ungkap dengan rasa abai sekaligus biasa-biasa saja. Mengingat, dia berpotensi besar tak pulang ke rumah lebaran tahun ini. Apalagi kalau bukan karena pandemi.
Tapi jelas pertanyaan itu tak berhenti sebagai pertanyaan belaka. Melainkan ada unsur mengingat kembali sekaligus ngajak diskusi untuk ngoceki makna mudik dan pulang kampung secara hakikat.
Nazwar dan saya dulu amat hobi berdiskusi. Baik tema sepele ataupun berat, di hadapan kami bisa jadi masalah yang amat berat, untuk kemudian disepelekan begitu saja.
Untuk membahas beda mudik vs pulang kampung ini, kami bisa menggeret nama-nama aneh macam Paul Theroux atau Eric Weiner atau Karma Ura — untuk kemudian kami lupakan begitu saja.
Jangankan tema mudik vs pulang kampung. Tema jodoh, rezeki dan mati saja bisa Nazwar poles jadi pembicaraan yang asyik untuk kemudian disepelekan bersama-sama.
Sejak kami tinggal sekamar di Sidoarjo beberapa tahun silam, sesungguhnya mudik dan pulang kampung sudah menjadi perihal filosofis yang sering kami diskusikan bersama.
Karena itu, saat ada ramai-ramai pembahasan mudik vs pulang kampung, Nazwar langsung terbersit untuk melakukan diskusi perihal keramaian tersebut.
Ramai-ramai itu disulut pertanyaan Najwa Shihab pada Jokowi: apakah mudik itu dilarang atau tidak, karena sudah banyak orang yang mudik sampai saat ini. Jokowi lantas menjawab:
“Kalau itu bukan mudik, itu namanya pulang kampung.” Sebuah jawaban yang memicu rentetan deskripsi perbedaan mudik dan pulang kampung.
Bagi Nazwar dan saya, barangkali perselisihan antara beda mudik dan pulang kampung bukan hal yang penting. Hanya, masalah itu amat asyik untuk didiskusikan.
Diskusi kami, tentu tak akan melibatkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai wasit. Sebab serupa wasit plontos asal Italia, Pierluigi Collina, KBBI kadang amat membingungkan.
Sejak dulu, kami percaya bahwa mudik dan pulang kampung itu berbeda sejak dalam niat. Mudik terjadi dalam proses pulang yang berniat untuk kembali. Sedang dalam pulang kampung, tak ada niat untuk kembali lagi.
Istilah awamnya, mudik adalah tilik omah, lalu kembali ke rantau. Sedangkan pulang kampung, adalah boyong ke rumah untuk tak kembali lagi ke tanah rantau.
Sampai di sini, terlepas mana yang boleh pulang atau tidak boleh pulang di tengah pandemi ini, itu tidaklah penting. Sangat tidak penting.
Seperti yang dikatakan pemikir Bhutan, Karma Ura: sangat penting untuk menempatkan segala sesuatu pada perspektif yang tidak penting. Sebab kadang, perasaan telah melakukan sesuatu yang penting, hanya ada di pikiran kita saja. Sebab nyatanya, tak berdampak apapun bagi orang lain.
Karena itu, sesungguhnya, mudik dan pulang kampung, bagi kami sama saja. Tak berbeda. Mudik adalah pulang ke udik (desa). Sedangkan pulang kampung adalah mbalik ke kampung (desa). Sama kan?
Yang jelas, mudik dan pulang kampung mengandung unsur bias kelas. Ada polemik kasta di dalamnya. Kasta kota dan kasta desa. Tanpa adanya dua kasta yang terlibat, tak ada mudik dan tak ada pulang kampung.
Mudik dan pulang kampung, dialami oleh mereka yang berasal dari desa, belajar atau bekerja di kota, lalu kembali pulang ke desa — untuk kembali atau tidak kembali ke kota lagi.
Tapi, pernyataan di atas masih bisa kita ruwetkan lagi. Ya, kan kalau masih bisa diruwetkan, kenapa dibikin sederhana?
Yuk, mari kita ruwetkan seperti yang dilakukan Eric Weiner. Berkeliling ke sejumlah negara di dunia demi mencari kebahagiaan. Yang sialnya, kebahagiaan itu justru dia temukan di rumahnya sendiri. Ruwet sekali.
Misal nih ya, Nazwar lahir di Kota Bandung atau Jakarta, lalu dapat tugas kerja di Bojonegoro. Apakah saat Nazwar pulang ke Bandung atau Jakarta dianggap sebagai mudik atau pulang kampung? Padahal, Bandung atau Jakarta jauh lebih kota dibanding Bojonegoro.
Jika saat Nazwar pulang ke Bandung atau Jakarta dianggap sebagai mudik atau pulang kampung, berarti definisi KBBI tentang mudik dan pulang kampung patut kita pertanyakan.
Sebab, KBBI mendefinisi mudik atau pulang kampung sebagai pulang ke udik atau pulang ke kampung. Tampak bias kasta di dalamnya. Nah, atas alasan itulah, sejak awal kami tak melibatkan KBBI sebagai wasit.
Hakikatnya, mudik dan pulang kampung tak ada bedanya. Tapi mudik dan pulang kampung juga sangat berbeda. Tergantung di mana letak kepentingan yang ingin ditonjolkan.
Bagi kita yang memaknai hidup sebagai perjalanan, mudik atau pulang kampung adalah niscaya. Karena segala yang berasal, pasti akan kembali. Tapi proses kembali tak bisa disamakan. Sebab semua punya makna yang nafsi-nafsi.
Seperti apa yang dikatakan novelis Amerika, Paul Theroux: “perjalanan itu bersifat pribadi. Kalaupun aku berjalan bersamamu, perjalananku bukanlah perjalananmu”.
Karena itu, hakikatnya mudik dan pulang kampung tak ada bedanya. Tapi mudik dan pulang kampung juga sangat berbeda. Tergantung di mana letak kepentingan yang ingin kita ruwetkan.