Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Hardiknas dan Spirit Belajar

Usman Roin by Usman Roin
02/05/2025
in Cecurhatan
Hardiknas dan Spirit Belajar

Hardiknas dan Spirit Belajar

2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Tak ayal flyer ucapan selamat, opini bagaimana pengejawantahan era kekinianpun bermunculan. Semua dalam rangka ikut menyemarakkan hadirnya peringatan tersebut.

Bicara Hardiknas, ada sisi semangat belajar yang perlu ditingkatkan. Mengapa? Kecanggihan teknologi jangan lantas menjadikan kita “malas” untuk belajar. Seperti membaca, menulis, serta hadir di majelis ilmu adalah sarana belajar non formak penambah sisi kognitif diri.

Telah banyak disaksikan, oleh sebab asyik dengan teknologi –smarphone, gadget serta aneka sebutan yang lain, waktu yang dijalani menjadi tidak produktif. Tahu-tahu siang. Tahu-tahu sore. Tahu-tahu malam dan kembali lagi pagi.

Jika siklus waktu dibuat dan diperankan seperti itu, lalu kapan kita meluangkan waktu untuk tetap belajar!

Sepanjang Hayat

Perlu disadari belajar itu kudu dilakukan sepanjang hayat. Sehingga, yang “hanya” belajar kala menjadi siswa-mahasiswa, kemudian menjadi purna bangku formal, belajar menjadi perilaku tidak tentu (unkonsisten). Alhasil, kita tidak “cinta” mengamalkan semangat belajar sepanjang hayat.

Seiring dengan Hardiknas ini, kudunya belajar bisa tetap dilakukan. Fathurrohman (2020:27), memberi penegasan tersendiri bila belajar adalah proses yang terus menerus. Hal itu berdasar asumsi, sejauh manusia hidup, ia akan senantiasa dihadapkan pada masalah serta tujuan yang ingin dicapai.

Pada proses untuk mencapai tujuan itulah, ia akan senantiasa dihadapkan pada rintangan. Bila rintangan satu telah dilalui, ia akan dihadapkan dengan tujuan dan masalah baru. Begitu seterusnya.

Guna menyukseskan tujuan dan masalah itulah, belajar tetap kudu dilakukan. Tanpa ada batas –purna sekolah-kuliah. Hanya saja, spirit untuk bisa mengamalkan belajar sepanjang hayat nyata menjadi tidak ringan.

Perspektif Keliru

Rasa berat belajar –khususnya pasca mengenyam bangku formal, bagi penulis karena ada perspektif yang keliru.

Pertama, tanggung jawab “aktif” belajar masih dipahami kala berseragam. Menjadi siswa-mahasiswa. Sehingga selepas lulus, belajar menjadi tidak kunjung dilakukan atau non aktif.

Perspektif ini, akan menjadikan diri sepi dari update pengetahuan secara mandiri. Terhadap buku, juga tidak ada niat membeli. Terlalu eman untuk dibelanjakan kepada sumber pengetahuan. Sehingga, cara melakoni hidup, ya dengan pengetahuan yang “pas-pasan”.

Perlu diingat, lingkungan belajar itu tidak sekadar jenjang formal. Jenjang non formal inilah yang perlu diciptakan untuk melakukan penambahan pengetahuan secara mandiri baik dari ruang privat maupun sosial.

Kedua, budaya belajar yang tidak dibentuk dari ruang keluarga. Artinya, contoh terdekat “belajar” jauh panggang dari api. Mudahnya, teladan belajar nampak “nihil” diimplementasikan di keluarga.

Yang terlihat justru, anggota keluarga terlalu asyik scroll gadget –atas-bawah, jadi pemandangan nyata keseharian. Sehingga, keberadaan pendidikan di keluarga meminjam bahasa Asmani (2024:23) “dianaktirikan”, dan tidak dipandang urgen sebagai penyiap kader penerus berkualitas.

Ketiga, informasi perihal keluarga inspiratif juga “jarang” diangkat sebagai pemberitaan. Yang marak justru, perselingkuhan, korupsi, pembunuhan, menghiasi jagad media sosial.

Padahal, bila inspirasi keluarga pembelajar mendapatkan pemberitaan yang konsisten di media, tentu hal itu akan mengedukasi pasutri untuk tergerak membangun keberhasilan keluarganya masing-masing.

Semoga, renungan kecil di Hardiknas Tahun 2025 ini, menyadarkan kepada kita pentingnya belajar –ya membaca, menulis, hingga nimbrung di majelis-majelis taklim atau bentuk yang lain.

Terlebih, B. R. Hergenhahn dan Matthew H. Olson dalam bukunya “Theories of Learning” (2008:11) menyatakan, manusia yang senantiasa belajar, akan bertahan hidup lama (survive). Sebab, ia senantiasa beradaptasi dengan perubahan global sebagai pemenuhan kebutuhan dasar kehidupa manusia.

*Penulis adalah Dosen Prodi PAI Fakultas Tarbiyah Unugiri.

Tags: HardiknasSpirit Belajar
Previous Post

Sedemikian, Melayatkan Keikhlasan

Next Post

Isu-Isu Perempuan, Tantangan dan Harapan di Era Modern

BERITA MENARIK LAINNYA

Membudayakan Menghadiahi Buku
Cecurhatan

Membudayakan Menghadiahi Buku

24/05/2025
Serabi, Perhatian Pembangkit Kenangan
Cecurhatan

Serabi, Perhatian Pembangkit Kenangan

21/05/2025
Ekoteologi: Saatnya Belajar dari Pohon
Cecurhatan

Ekoteologi: Saatnya Belajar dari Pohon

20/05/2025

Anyar Nabs

Membudayakan Menghadiahi Buku

Membudayakan Menghadiahi Buku

24/05/2025
KOPRI PC PMII Bojonegoro Ajak Generasi Muda Lindungi Anak Dari Penikahan Dini

KOPRI PC PMII Bojonegoro Ajak Generasi Muda Lindungi Anak Dari Penikahan Dini

23/05/2025
Suluk Geobiculta: Kearifan Lokal sebagai Pilar Pendidikan

Suluk Geobiculta: Kearifan Lokal sebagai Pilar Pendidikan

22/05/2025
Serabi, Perhatian Pembangkit Kenangan

Serabi, Perhatian Pembangkit Kenangan

21/05/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Penerbit Jurnaba
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • PUBLIKASI
  • JURNAKOLOGI

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: