Mendung bergelantung, menutupi rembulan yang hendak menguningi bumi, sebelum datang matahari buat bekerja merangkaki kaki menuju kaki kembali.
Di sela-sela itu, Wira masih terduduk tanpa kantuk di bawah pohon jeruk. Termangu memandangi bulan malam, sembari bergumam “agaknya, bulan hendak menjadikannya aku kawan”. Penuh harap, karena sekarang Wira merasa nasib yang Ia alami tak jauh beda dengan bulan yang sedang dipandangi.
“Kalaupun tidak, apakah kau tak sudi merela? setidaknya untuk malam ini saja” lagi, ucap wira pada bulan. Walaupun Ia mengetahui, kalau Bulan juga tak harus mengiyakan permintaan yang Ia ingini.
Bulan dan Wira, sama-sama harus melawan mendung—Nahas mendung yang mendatangi wira tak nampak secara kasat mata bakal seperti apa rupa jadinya. Wira hanya menafsir isi hati saja, yang tengah gulana hidup di Kota Bifonara. Kota yang dulu dianggapnya begitu penuh warna—hingga sekarang, jadi kelabu seakan kehilangan segala warna lebih-kurangnya.
Kalut membalut, Wira semakin seram untuk sekedar memejam. Tak sudi menghampiri kasur yang biasa disukai, walau hari ini, Ia cukup lelah, setelah penuh sehari mengedari jalan-jalan penuh Cor dan Besi yang membaluti Bumi.
Di bawah pohon jeruk dan di atas kursi, Wira mulai mencerabut segala isi pikiran dan hati. Ia teringat, sewaktu pergi ke Alun-alun Kota Bifonara bersama Pacar pertamanya, Nuri.
Penuh kenangan romansa dan abadi di diri Wira, soal bagaimana Wira yang panas dingin karena tak tahu harus apa saat melakukan kencan pertama. Tentang ia, yang gagap menyusun kosa kata karena gugupnya. Pun, juga tentang tangan beruntusan Wira yang perlahan telah ada pada genggaman Nuri— Perempuan yang menamui hati.
Satu jam berlalu, suasana sudah tak lagi membeku. Wira dan Nuri mulai asyik membicarakan diri, sambil memakan jajanan yang lebih dulu di beli sewaktu perjalanan menuju alun-alun tadi. Di sana, mereka juga melihat berbagai peristiwa.
Mulai dari anak kecil yang berlari bersama teman sebayannya, Mas-mas yang menjajakan berbagai jenis makanan, Bapak-bapak yang menawarkan parfum penuh harga diskonan, Ibu-ibu yang menggendong buat hatinya. Juga, Sejoli yang sedang berkencan seperti Wira dan Nuri.
Hingga, Bapak-bapak yang membawa gitar sambil menyayikan berbagai lagu yang di tahu. Perlahan mulai menghampiri dan bernyanyi.
“Jangan salahkan pahamku kini, tertuju huuu uuu. Siapa yang tahu siapa yang mau, Kau di sana Aku di seberangmu”
Tak di sangka, Bapak-bapak tadi mulai menyayikan lagu andalannya. “Mangu” milik Fourtwnty, band yang saat ini tengah hiatus dari riuh-piuh dunia musik industri. Di sela-sela itu pula, Dia mulai memperkenalkan diri. sebut saja Jacki, namanya.
“Ahoyyy, bagusnya! Pak Jacki ternyata selera lagunya tak mau kalah sama yang muda”
“Hahaha, iya, Mas. Kebetulan kami di sini juga menyesuaikan selera lagu anak-anak muda, soalnya yang ramai datang ke Alun-alun juga orang-orang kaya Mas dan Mbaknya”
“Oalah, gitu ya pak. Ngomong-ngomong, kaya Njenengan ini sudah lama kah ngamen begini? atau barangkali, Bapak juga mengenal orang-orang yang ngamen di sini?”
“Jelas tentu, Mas. Mulai dari anak-anak itu, sampai yang udah tua kaya Aku. Kita semua saling bertautan, sebab kami merasakan satu nasib yang sama. Sama-sama jadi orang yang di pinggirkan, sama-sama jadi orang yang ingin diberi keadilan”.
Pak Jacki, juga menceritakan kalau di 2 tahun lalu. Sekelompok Mahasiswa di Befonara, mereka tergerak buat bikin Perpustakaan dan Sekolah Jalanan buat pengamen setiap hari minggu. “Penuh sabar dan tak takut bergaul dengan orang seperti kami”, Pak Jacki Menceritakan dengan penuh riang hati.
“Tapi, sepertinya pemerintah tak cukup memedulikan, sampai Anak-anak mahasiswa itu tadi lulus, Mas. Pemerintah sepertinya lupa kalau orang miskin bukan hanya tinggal di desa. Orang-orang seperti kami ini, malah terkesan tak di anggap keberadaannya”
Seketika, Wira berperang dengan pikirannya dan telah lupa gelagat salah tingkah dengan Nuri di awal tadi. Ia, merasa ironi saat bercakap dengan Pak Jacki. Merasa dibenturkan dengan realita yang sedemikian peliknya, di mana Kota Bifonara yang memiliki Anggaran Pendapatan yang cukup besar.
Punya hasil bumi berupa minyak gas dari tanah yang begitu melimpah, dengan tega menelantarkan masyarakatnya sendiri. Walaupun terhitung, orang-orang yang mengais pendapatan dari mengamen dan mengemis.
Ialah, orang-orang yang setiap hari melihat pembangunan gedung-gedung pemerintahan, Orang yang setiap hari melihat lalu lalang para pejabat dengan kerendaan hatinya (ekhem, branding 5 tahunan sih kalau ini).
“Oh, Terimakasih ya, Pak. Besok kalau Aku dan Nuri Ke sini lagi, Tak perlu sungkan untuk langsung menghampiri”
Pak jacki yang mulai pergi, meninggalkan Wira dan Nuri berdua lagi.
“Mas, kamu enak banget ngobrol sama Bapaknya tadi, besok boleh ajarin aku begitu?”
“Boleh, dengan senang hati, Dik”
Wira yang tak menyadari telah berada di bawah pohon jeruk sampai jam menunjukkan pukul 12 malam. Mulai memandangi bulan kembali, sembari membayangkan pendar mata yang tak lagi bisa dinikmati, juga kelembutan tutur kata Nuri ketika meminta di ajari banyak hal selagi masih bisa membunuh waktu dengan diri ini.
Hingga, sebelum beranjak pergi. Wira, menatap bulan sekali lagi dan pada bulan, Ia berterimakasih telah membantu menguraikan kemendungan hati. Sedemikian rupa, Wira mulai melayatkan keikhlasan. Tentang, Ia yang telah jauh juga tak lagi bersama Nuri. Pun, Dengan segala Kenangan di tiap sudut kota Bifonara ini.