Hari Guru Sedunia diperingati tiap 5 Oktober. Di era digital, peran guru tak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan, tapi juga menanam nilai moral kehidupan.
Hari Guru Sedunia diperingati setiap 5 Oktober sejak 1994. Tujuannya, untuk memberi dukungan pada para guru di seluruh dunia dan meyakinkan mereka bahwa keberlangsungan masa depan, ditentukan peran seorang guru.
Sesuai keterangan UNESCO, Hari Guru Sedunia mewakili sebuah kepedulian, pemahaman, sekaligus apresiasi yang ditampilkan demi peran vital guru, yakni mengajarkan ilmu pengetahuan dan membangun generasi.
Namun, era digital memicu dampak yang tak sederhana. Guru tak lagi hanya mengajarkan ilmu pengetahuan. Proses belajar mengajar tak lagi sekadar transfer of knowledge. Namun juga transfer of value atau character.
Transfer of knowledge adalah mentransfer ilmu pengetahuan dan pemahaman. Sedangkan transfer of value atau character adalah mentransfer nilai-nilai moral dan kebaikan. Dua hal itu, tentu punya tempat yang berbeda.
Jika guru tetap berpegang pada prinsip transfer of knowledge, rasa-rasanya peran guru bakal mudah tergeser oleh kehadiran mesin pencari serupa google. Karena itu, satu-satunya perkara yang tak mungkin tergeser mesin pencari adalah value dan karakter.
Kemajuan teknologi, diakui atau tidak, memicu kemudahan akses akan ilmu dan informasi. Kini, ilmu pengetahuan dan informasi tak lagi menjadi barang mewah. Tanpa bersekolah — asal bisa calistung — seseorang bisa mengakses informasi secara mudah.
Karena itu, mau tidak mau, peran guru harus bergeser. Harus ada sesuatu yang dimiliki guru, namun tak bisa diduplikasi oleh teknologi. Yakni value dan karakter. Tanpa prinsip transfer of value, peran guru bisa punah.
Staf pengajar SMP Plus Ar-Ridwan Bojonegoro, Ahmad Burhan Faishol mengatakan, guru di era digital memang serba mudah. Terutama dalam hal mencari informasi sekaligus medium mentransfernya. Namun, di saat yang sama, perannya bertambah.
Jika yang digeber hanya urusan pemahaman dan informasi, pasti ada bagian yang hilang. Yakni nilai-nilai kehidupan dan karakter. Baik dalam hal kesantunan, tenggang rasa hingga sikap toleransi.
“Tak hanya mendistribusikan informasi, tapi juga memberi pemahaman tentang nilai kehidupan,” ucap Faishol.
Pendidikan karakter, kata dia, memberi pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup. Seperti keimanan, kejujuran, kepedulian, kecerdasan, tanggung jawab, kebenaran, kebaikan, hingga keindahan.
“Dan sebenarnya pendidikan karakter sudah lama diterapkan di lembaga pendidikan berbasis pesantren,” imbuhnya.
Sementara itu, praktisi pendidikan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Ika Nur Indah Sari menjelaskan, secara umum, era digital mempermudah guru mendapat media pembelajaran yang menarik. Tapi, perlu menambah 1 hal yang wajib dipelajari. Yakni literasi digital.
Ika mencontohkan, saat ini, banyak wali murid yang berkeluh kesah tentang anaknya yang sulit terpisah dari mainan gadget. Tentu ini permasalahan baru. Sebuah masalah yang mungkin, sepuluh tahun lalu belum terlalu terasa dampaknya.
“Nah, sampai di situ, pemahaman akan literasi digital juga sangat penting, sehingga guru harus membekali diri dengan pemahaman tersebut” kata Ika.
Di tengah mudahnya akses informasi yang didapat, literasi digital sangat penting dipelajari. Terutama bagi guru sehingga mudah menjelaskan kepada para siswa. Sebab, literasi berhubungan dengan melek atau kesadaran. Maksudnya, kesadaran menggunakan teknologi yang sesuai fungsinya.
Ika menambahkan, yang paling penting bagi guru di era digital adalah kemampuan untuk mempertebal proses persinggungan karakter atau akhlak siswa. Dan itu, harus dicontohkan secara langsung oleh gurunya.
“Untuk urusan karakter dan akhlak, saya rasa teknologi tak bisa menggantikan,” tuturnya.